Heidegger, Martin. The Basic Problems of Phenomenology. Translated by Albert Hofstadter. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, 1988.
Dalam upaya memahami hakikat keberadaan, filsafat kerap menempuh jalan berliku, menelusuri pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tak kunjung usai. Martin Heidegger, dalam karyanya Basic Problems of Phenomenology (1988), mengajak kita untuk menengok kembali akar-akar pemikiran fenomenologis, bukan sekadar sebagai metode, melainkan sebagai cara menyingkap makna Ada itu sendiri. Buku ini bukan sekadar telaah atas fenomenologi Husserl, melainkan juga usaha Heidegger untuk menyingkap problematika ontologis yang tersembunyi di balik pengalaman sehari-hari manusia.
Ringkasan ini berupaya menghadirkan pokok-pokok pemikiran Heidegger sebagaimana ia menelusurinya: dengan ketekunan seorang peziarah intelektual, yang tak puas dengan jawaban-jawaban dangkal. Marilah kita menelusuri masalah-masalah dasar fenomenologi menurut Heideggerâdari pertanyaan tentang makna Ada, struktur eksistensi manusia (Dasein), hingga relasi antara subjek dan dunia. Semoga ringkasan ini dapat menjadi pintu masuk bagi pembaca untuk merenungkan kembali, dengan kesadaran kritis, persoalan-persoalan mendasar yang menjadi inti dari filsafat keberadaan.
§1. Pemaparan dan Pembagian Buku
Tujuan pokok buku ini bukanlah sekadar menelusuri sejarah gerakan fenomenologi, melainkan mengajukan, mengelaborasi, dan menapaki jalan pemecahan persoalan-persoalan dasar fenomenologi itu sendiri. Yang hendak dicari bukanlah definisi apriori tentang fenomenologi, melainkan penyingkapan isi dan jalinan sistematis persoalan-persoalan yang menjadi inti fenomenologi, sehingga para peserta didorong untuk sungguh-sungguh berfilsafat, bukan sekadar menjadi penonton sejarah pemikiran.
Pendekatan terhadap persoalan-persoalan dasar ini bersifat tidak langsung. Alih-alih memulai dari batasan yang sudah jadi, kuliah ini memilih menelusuri dan menapis persoalan-persoalan pokok melalui pembahasan kasus-kasus konkret, agar tampaklah keterkaitan sistematis di antara persoalan-persoalan itu. Dengan demikian, kebutuhan hakiki filsafat sebagai ilmu dapat terungkap dari dalam, bukan dipaksakan dari luar.
Struktur buku dibagi dalam tiga bagian besar:
- Penyelidikan fenomenologis konkret yang menuntun pada penemuan persoalan-persoalan dasar.
- Penelusuran sistematis atas persoalan-persoalan dasar fenomenologi, baik urutan maupun fondasinya.
- Pembahasan tentang cara ilmiah menangani persoalan-persoalan tersebut, serta penegasan gagasan pokok fenomenologi.
Salah satu tujuan sentral kuliah ini ialah memperlihatkan bahwa penelitian fenomenologis, dalam tendensi dasarnya, merupakan pemahaman yang lebih eksplisit dan radikal atas filsafat ilmiahâsebuah usaha yang telah digarap para filsuf Barat sejak zaman kuno hingga Hegel. Dengan kata lain, memperjelas gagasan fenomenologi berarti sekaligus merumuskan hakikat filsafat sebagai ilmu.
Perlu dibedakan secara tegas antara filsafat sebagai “ilmu murni” dan filsafat sebagai “pandangan hidup” (Weltanschauung). Sejarah memang pernah memahami filsafat sebagai ilmu yang mencakup segalanya, namun kini istilah “filsafat ilmiah” digunakan untuk menegaskan watak teoretis filsafat, menentang kecenderungan yang mereduksinya menjadi sekadar petunjuk praktis atau kebijaksanaan hidup.
Akhirnya, segala pembahasan tentang konsep filsafat di sini bersifat sementara dan terbuka. Sebab, konsep filsafat itu sendiri adalah hasil tertinggi dan paling otentik dari penelusuran filsafat, dan kemungkinannya hanya dapat ditentukan oleh filsafat itu sendiri.
§2. Filsafat vs. Pandangan Hidup
Bagian kedua dari pembahasan ini menyoroti secara tajam perbedaan antara filsafat sebagai ilmu yang sungguh-sungguh ilmiah dan filsafat yang sekadar menjadi “pandangan hidup” (Weltanschauung).
Masalah dari istilah “Filsafat Ilmiah”: Istilah “filsafat ilmiah” tampak berlebihan, sebab jika filsafat memang sungguh-sungguh ilmu, ia sudah seharusnya ilmiah. Namun, penekanan pada “ilmiah” muncul karena dalam sejarah, filsafat kerap disalahpahami: ia dianggap sekadar penuntun hidup praktis, atau sekadar membentuk Weltanschauungâpandangan hidup yang menyeluruh. Pandangan-pandangan ini, justru, kerap mengaburkan watak ilmiah filsafat.
Asal-usul dan makna “Weltanschauung”: Kata Weltanschauung berasal dari bahasa Jerman, pertama kali muncul dalam karya Kant, Critique of Judgment, dengan makna lebih dekat kepada “intuisi dunia” atau permenungan atas dunia inderawi. Goethe dan Humboldt memakai istilah ini dalam arti serupa. Namun, di tangan para Romantik dan Schelling, maknanya bergeser: Weltanschauung menjadi hasil dari kecerdasan (bahkan kecerdasan tak sadar), suatu cara kreatif dan sadar dalam menafsirkan semesta. Contoh-contoh pergeseran makna ini antara lain:
- “pandangan hidup moral” (Hegel)
- “pandangan hidup puitis” (Gorres)
- “pandangan hidup religius dan Kristen” (Ranke)
- “pandangan hidup demokratis” atau “pesimistis”.
- dst.
Weltanschauung selalu memuat baik gambaran tentang dunia alam maupun tafsiran atas makna dan tujuan Dasein manusia serta sejarahnyaâdengan kata lain, selalu mengandung “pandangan hidup”.
Pandangan umum melihat bahwa filsafat adalah pembentuk pandangan hidup: Banyak orang mengira tugas utama filsafat adalah membentuk Weltanschauung itu sendiri. Maka, “filsafat pandangan hidup” dianggap sesuatu yang wajar, dan “filsafat ilmiah” tampak seperti pengulangan yang tak perlu. Dalam pandangan ini, filsafat harus merangkum hasil-hasil ilmu dan tunduk pada aturan berpikir ilmiah. Jika gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan Weltanschauung, filsafat dianggap tak berguna.
Sikap Kant terhadap filsafat dan pandangan hidup: Kant sendiri, meski menekankan watak ilmiah filsafat, juga berbicara tentang filsafat sebagai Weltanschauung filosofis. Ia membedakan filsafat dalam arti “skolastik” (ajaran tentang keterampilan akal budi, pengetahuan rasional yang teratur) dan dalam arti “kosmopolitan”. Namun, menurut Heidegger, “arti kosmik” pada Kant bukanlah membangun Weltanschauung faktual tertentu, melainkan penentuan a priori dan ontologis atas hakikat Dasein manusiaâmisalnya, “Manusia adalah makhluk yang ada demi dirinya sendiri”. Pada dasarnya, bagi Kant, filsafat tetaplah ilmu, bukan konstruksi Weltanschauung tertentu.
Menurut Heidegger filsafat bukanlah pembentuk pandangan hidup: Heidegger menegaskan, membentuk Weltanschauung bukanlah tugas filsafat. Sebab, Weltanschauung bersifat “positif”âia selalu berurusan dengan hal-hal tertentu, dengan “yang-ada” tertentu. Filsafat, sebaliknya, tidak berpijak pada “yang ini” atau “yang itu”. Filsafat memang dapat menunjukkan bahwa Weltanschauung adalah bagian dari hakikat Dasein manusia, dan dapat menguraikan strukturnya secara umum, tetapi ia tidak dapat dan tidak boleh menetapkan Weltanschauung tertentu.
Bagi Heidegger, tema sejati dan satu-satunya bagi filsafat adalah Ada itu sendiri. Maka, filsafat adalah ilmu tentang Adaâontologi dalam arti seluas-luasnya. Gagasan tentang “filsafat pandangan hidup” menjadi mustahil dan bahkan keliru, sebab itu berarti filsafat (sebagai ilmu tentang Ada) harus mengambil sikap dan menetapkan sesuatu tentang “yang-ada” tertentu.
Akhirnya, kata sifat “ilmiah” bagi filsafat menjadi tidak perlu, sebab keilmiahan sudah terkandung dalam hakikat filsafat itu sendiri. Sepanjang sejarah, filsafat-filsafat besar, meski sering gagal, pada dasarnya selalu berusaha menjadi ontologi.
§3. Penegasan Ontologis Filsafat sebagai Ilmu tentang Ada
Filsafat, dalam babak ini, menampakkan wajah aslinya: bukan sekadar perenungan tentang segala sesuatu, melainkan penyelidikan yang menukik pada satu-satunya tema yang layak disebut filsafatâyakni Ada itu sendiri. Sejak zaman Yunani kuno hingga Hegel, benang merah ini tak pernah putus: filsafat adalah ontologi, ilmu tentang Ada, bukan sekadar ilmu tentang yang-ada.
Tema Tunggal Filsafat ialah Ada: Filsafat, dalam pengertian yang sejati, tidak meneliti “yang-ada” sebagaimana ilmu-ilmu positif, melainkan menelusuri Ada itu sendiri. Adaâbukan sekadar kumpulan benda, peristiwa, atau faktaâadalah medan permenungan yang tak pernah habis. Filsafat, dengan demikian, adalah ontologi dalam arti seluas-luasnya. Ia bertanya: apa makna Ada? Bukan sekadar “apa yang ada”, melainkan “bagaimana Ada itu sendiri menyingkapkan diri”.
Perbedaan dengan Ilmu-ilmu Positif: Ilmu-ilmu positifâfisika, biologi, sejarah, matematikaâselalu berangkat dari “yang-ada” tertentu, dari objek yang sudah ditentukan dan diposisikan di muka. Mereka mengajukan proposisi-proposisi positif, membangun pengetahuan atas dasar yang-ada yang telah tersedia. Filsafat, sebaliknya, menolak untuk berhenti pada yang-ada. Ia menuntut penyingkapan Ada itu sendiri, yang justru sukar ditangkap, seolah-olah “tak berbentuk”, namun selalu hadir dalam setiap ujaran dan pemikiran manusia.
Pertanyaan Dasar tentang Ada: Pertanyaan yang menjadi inti seluruh filsafat adalah: “Apakah makna Ada secara umum?” Inilah pertanyaan yang menuntun seluruh penyelidikan ontologis. Ia bukan sekadar soal teknis, melainkan soal yang menggetarkan akar eksistensi manusia. Di sinilah filsafat menemukan medan aslinyaâbukan di pinggiran, melainkan di pusat segala pengetahuan.
Pemahaman Ada dan Dasein: Pemahaman tentang Ada bukanlah sesuatu yang melayang di awang-awang. Ia berakar pada Dasein, eksistensi manusia yang selalu sudah berada di dunia. Hanya karena manusia memahami Ada, maka Ada itu sendiri menjadi mungkin untuk dipertanyakan. “Ada hanya diberikan sejauh ada pemahaman tentang Ada, dan itu berarti: sejauh ada Dasein.” Maka, analisis ontologis atas Dasein menjadi syarat mutlak untuk menyingkap struktur pemahaman tentang Ada.
Temporalitas sebagai Cakrawala Ada: Heidegger menegaskan: struktur asli dari Dasein adalah temporalitas. Artinya, pemahaman tentang Ada hanya mungkin jika ditopang oleh waktu. Waktuâbukan sekadar jam dan kalender, melainkan temporalitas eksistensialâadalah cakrawala dari mana Ada menjadi dapat dimengerti. Penyelidikan ontologis, pada akhirnya, adalah penyelidikan tentang temporalitas sebagai penentu makna Ada.
Perbedaan Ontologis: Salah satu penemuan pokok Heidegger adalah “perbedaan ontologis”: perbedaan mutlak antara Ada dan yang-ada. Ada selalu adalah Ada dari yang-ada, tetapi Ada sendiri bukanlah suatu yang-ada. Menyadari dan menegaskan perbedaan ini adalah syarat mutlak untuk memasuki wilayah filsafat yang sejati. Filsafat, sebagai ilmu tentang Ada, adalah ilmu kritis, ilmu transendental, yang melampaui sekadar pengumpulan fakta tentang yang-ada.
Metode Fenomenologis dalam Ontologi: Bagaimana filsafat menempuh jalannya? Di sinilah fenomenologi tampil sebagai metode. Fenomenologi bukan sekadar teknik, melainkan cara menyingkap Ada sebagaimana ia menampakkan diri. Metode ini berbeda secara radikal dari metode ilmu-ilmu positif. Tidak ada “fenomenologi Katolik” atau “matematika Protestan”âfilsafat, dalam keilmuannya, bersifat universal.
Tiga gerak utama metode fenomenologis adalah:
- Reduksi fenomenologis: Mengarahkan pandangan dari yang-ada kembali kepada Ada dari yang-ada itu sendiri. Reduksi ini berbeda dari Husserl, sebab di sini tujuannya adalah penyingkapan struktur Ada.
- Konstruksi: Membangun pemahaman tentang Ada secara aktif, bukan sekadar menerima begitu saja.
- Dekonstruksi/Destruksi: Membongkar konsep-konsep tradisional melalui penelusuran historis, bukan untuk menolak tradisi, melainkan untuk mengambil-alih secara positif dan kritis.
Dengan demikian, fenomenologi adalah tata-cara ilmiah filsafat, yang memungkinkan filsafat mendefinisikan dirinya secara konkret sebagai ilmu tentang Ada. Filsafat bukan sekadar menambah pengetahuan, melainkan menajamkan kesadaran akan Ada, menuntun manusia untuk bertanya secara radikal, dan dengan demikian, menjadi sungguh-sungguh manusia.
§4. Empat Tesis tentang Ada dan Masalah-Masalah Dasar Fenomenologi
Bagian keempat ini menandai titik tolak yang menentukan dalam seluruh penyelidikan: di sinilah pokok persoalan filsafat, sebagaimana dipahami Heidegger, dirumuskan secara tajam dan historis. Filsafat, sejak awal, digerakkan oleh satu pertanyaan yang tak kunjung padamâpertanyaan tentang makna Ada secara umum. Inilah “soal pertama dan terakhir, soal dasar filsafatâ: Apa makna Ada itu? Bagaimana mungkin pemahaman tentang Ada?
Untuk menelusuri pertanyaan ini, Heidegger mengajak kita menelusuri empat tesis pokok tentang Ada yang telah mewarnai sejarah filsafat Barat. Keempat tesis ini bukan sekadar pendapat terpisah, melainkan simpul-simpul pemikiran yang saling bertaut dan membentuk medan masalah ontologis yang menjadi inti fenomenologi.
- Tesis Kant: “Ada bukanlah predikat nyata.â Dalam pemikiran Kant, Ada tidak menambah sifat apapun pada sesuatu; ia bukanlah kualitas yang dapat ditempelkan pada suatu yang-ada.
- Tesis Ontologi Abad Pertengahan (Skolastik/Aristoteles): Dalam susunan sesuatu yang-ada, selalu terdapat dua unsur: essentia (apa-nya, hakikat) dan existentia (ada-nya, keberadaan).
- Tesis Ontologi Modern: Ada menampakkan diri dalam dua cara pokok: sebagai ada-di-alam (res extensa) dan ada-di-jiwa atau pikiran (res cogitans).
- Tesis Logika: Segala sesuatu yang-ada dapat dibicarakan dan ditunjuk melalui kata “adalahâ (kopula).
Keempat tesis ini, meski tampak terpisah, sesungguhnya saling mengandaikan dan saling menuntut. Jika diselami secara kritis, kita akan menemukan bahwa di baliknya tersembunyi empat masalah dasar yang menjadi jantung fenomenologi:
- Masalah Perbedaan Ontologis: Apa perbedaan mutlak antara Ada dan yang-ada.
- Masalah Artikulasi Dasar Ada: Bagaimana Ada terartikulasi dalam essentia dan existentia.
- Masalah Modifikasi Ada dan Kesatuan Konsep Ada: Bagaimana Ada dapat mengalami pelbagai modifikasi, dan bagaimana kesatuan makna Ada tetap terjaga dalam segala ambiguitas dan perubahannya.
- Masalah Karakter Kebenaran Ada: Bagaimana Ada itu sendiri mengandung kebenaran, dan apa artinya “kebenaranâ dalam konteks Ada.
Jalan menuju pemahaman tentang makna Ada hanya dapat ditempuh melalui analisis ontologis atas Dasein manusia. Dasein, sebagai eksistensi yang selalu sudah berada di dunia, memikul pemahaman tentang Ada di akar segala sikap terhadap yang-ada. Analisis ini menyingkap bahwa struktur asli Dasein adalah temporalitasâwaktu sebagai cakrawala di mana Ada menjadi mungkin untuk dimengerti. Dengan demikian, temporalitas menjadi medan pokok penelitian ontologis: penentuan makna Ada hanya dapat dilakukan melalui waktu.
Akhirnya, perbedaan ontologis antara Ada dan yang-ada kembali ditekankan sebagai syarat mutlak untuk memasuki wilayah filsafat yang sejati. Filsafat, sebagai ilmu kritis dan transendental, melampaui sekadar pengumpulan fakta tentang yang-ada, dan menuntun kita untuk menyingkap Ada itu sendiriâyang selalu adalah Ada dari yang-ada, namun tidak pernah menjadi suatu yang-ada.
Dengan demikian, empat tesis dan empat masalah dasar ini menjadi peta jalan bagi seluruh penyelidikan fenomenologis, dan menegaskan kembali panggilan filsafat sebagai ilmu tentang Ada, bukan sekadar ilmu tentang yang-ada.
§5. Metode Ontologis
Bagian ini akan menguraikan jalan metodis filsafat sebagai ilmu tentang Ada. Di sini, Heidegger menuntun kita menelusuri sendi-sendi pokok yang menjadi dasar pijakan penelaran ontologis.
Pertama-tama, Heidegger menandaskan adanya empat gugus persoalan utama yang akan menjadi medan garapan bagian kedua kuliah ini, yang erat terjalin dengan empat tesis sementara yang telah dibahas sebelumnya:
- Persoalan perbedaan ontologisâyakni perbedaan antara Ada dan yang-ada.
- Persoalan artikulasi dasar Ada.
- Persoalan kemungkinan-kemungkinan modifikasi Ada.
- Persoalan karakter kebenaran dari Ada itu sendiri.
Filsafat, dalam pengertian Heidegger, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia (Dasein), dari temporalitas dan historisitasnya. Maka, sebelum menegaskan sifat ilmiah dari ontologi, kita mesti terlebih dahulu menyingkap fondasi ontisnya dalam eksistensi manusia. Ontologi tidak melayang di awang-awang, melainkan berakar pada pengalaman dan keberadaan manusia yang konkret.
Lebih lanjut, pengetahuan ontologis menuntut cara mengetahui yang khas. Ada dan sifat-sifatnya bersifat a prioriâmendahului segala yang-ada. Namun, hakikat dan kemungkinan dari sifat a priori ini belum pernah sungguh dijernihkan. Justru karena itu, penangkapan terhadap Ada dan strukturnya menuntut sejenis pengetahuan a priori, yang tidak sekadar mengumpulkan fakta, melainkan menyingkap dasar-dasar yang memungkinkan segala pengalaman.
Di sinilah fenomenologi tampil sebagai metode ontologi. Unsur-unsur pokok dari pengetahuan a priori inilah yang disebut fenomenologi. Fenomenologi, dalam pengertian yang sejati, adalah metode filsafat ilmiah. Namun, penting dicatat: fenomenologi sebagai metode tidak boleh jatuh pada penetapan isi tertentu tentang Ada, atau mengambil “sudut pandang” yang sudah ditentukan. Ia mesti tetap terbuka, membiarkan Ada menyingkapkan dirinya.
Perbedaan antara filsafat (sebagai ilmu tentang Ada) dan ilmu-ilmu positif (seperti matematika atau filologi) terletak pada cara dan jangkauan penelaahan. Ilmu-ilmu positif meneliti yang-ada, sedangkan ontologi berusaha menangkap Ada itu sendiri secara konseptual melalui metode fenomenologis. Sejak awal sejarah filsafat Barat, pencarian yang digarap fenomenologi ini telah menjadi benang merah yang tak putus-putus.
Metode fenomenologis sendiri berpijak pada tiga gerak dasar yang saling terkait dan saling menuntut:
- Reduksi: mengarahkan perhatian penelaahan dari yang-ada yang ditangkap secara naif, kembali kepada Ada-nya.
- Konstruksi: membangun dan membentuk konsep-konsep filsafat secara aktif dan bertanggung jawab.
- Destruksi: membongkar konsep-konsep tradisional dengan menelusuri asal-usulnya yang terdalam. Destruksi di sini bukanlah penolakan tradisi, melainkan pengambilan-alih yang positif, sehingga pengetahuan filsafat selalu bersifat historis.
Dengan menelusuri dan menegaskan metode ontologis ini, menjadi teranglah bahwa fenomenologi adalah tata-cara ilmiah filsafat, dan dengan demikian, kita memperoleh pemahaman yang lebih konkret tentang apa itu filsafat sebagai ilmu.