Teori Pendidikan Jean-Jacques Rousseau Dalam Buku "Emile, or On Education"
Jean-Jaqcues Rousseau, Émile: or On Education, trans. Allan Bloom, (USA: Basic Books, 1979). Selanjutnya, acuan pada karya ini akan ditulis dengan ‘EM’ diikuti dengan nomor halaman dan nomor paragraf. Kata-kata yang ditambahkan penulis dalam kutipan langsung akan diapit oleh tanda ‘[’ dan ‘]’. Semua terjemahan bahasa Indonesia merupakan terjemahan bebas penulis.
Riwayat Hidup dan Konteks Zaman
Jean-Jacques Rousseau lahir di Jenewa (Geneva), Swis, tahun 1712 dalam keluarga Prancis Protestan. Ibunya, Suzanne Bernard, adalah anak dari seorang roué1 yang meninggal saat ia berusia 9 tahun. Suzanne kemudian diadopsi oleh seorang pastor yang kaya. Ayahnya, Isaac Rousseau, adalah pembuat arloji keturunan Huguenot Prancis kelahiran Jenewa. Ibu Rousseau meninggal dunia beberapa hari setelah kelahiran Rousseau, dan dia kemudian dibesarkan oleh tante dan ayahnya yang cukup berpendidikan, tetapi tidak bertanggung jawab. Ayahnya lari dari Jenewa saat Rousseau baru berusia 10 tahun karena terlibat cekcok dengan seorang tentara Prancis. Sementara itu, Rousseau dititipkan oleh ayahnya kepada Gabriel Bernard, yang pada gilirannya menitipkan Rousseau kepada pastor Lambercier di daerah perkampungan Bossey. Karena kenakalannya, Rousseau kecil sering dihukum oleh anak wanita pastor yang cantik, yang ditugaskan untuk mengawasinya. Ibarat menuang minyak ke api, kenakalan Rousseau diperparah dengan ketertarikan seksual yang tidak biasa.2
Di tahun-tahun selanjutnya, ia mulai berkelana ke mana-mana. Tahun 1740 ia bekerja sebagai sekretaris duta besar Prancis di Paris dan Venisia. Di Prancis ia berkenalan dengan tokoh-tokoh besar Zaman Pencerahan seperti Diderot, d’Alembert, Voltaire dan juga David Hume yang saat itu berada di Paris. Ia juga sempat menjadi guru musik. Tahun 1745, ia berkenalan dengan Therese Levasseur, seorang gadis pencuci pakaian yang tidak berpendidikan. Hubungan di luar nikah dengan Levasseur ini memberikan lima orang anak yang semuanya dimasukkan Rousseau ke panti asuhan.3, 4 Mereka menikah setelah 20 tahun menjalin hubungan.
Tahun 1749, ia menjadi terkenal di seluruh Prancis setelah memenangkan sayembara mengarang di kota Dijon, dengan tema “Apakah kemajuan ilmu-ilmu dan seni telah memperbaiki kesusilaan?” Dalam karangannya, ia menjawab dengan tegas: Tidak. Suatu jawaban kontroversial karena di masa itu ilmu pengetahuan diagungkan sebagai yang mendorong majunya peradaban. Karangan ini menjadi titik mulai perkembangan pemikiran-pemikiran Rousseau. Dua karyanya yang terbesar, Émile ou de l’Education (Émile, atau tentang Pendidikan, 1762) dan Le Contrat Social (Kontrak Sosial, 1762) sangat kontroversial dan membuat marah Raja dan Gereja. Buku-bukunya dibakar, dan Rousseau dikejar-kejar. Ia lari ke Swis, kemudian ke Inggris, lalu kembali ke Prancis. Di sana ia tinggal sendirian di desa Ermenonville, dan meninggal di sana tahun 1778 (saat usianya 66 tahun).5
Rousseau hidup di zaman yang disebut-sebut sebagai ‘puncak peradaban dunia Barat.’ Rasionalisme, ilmu pengetahuan, dan teknik menguasai setiap bidang kehidupan. Akan tetapi, seperti yang kita lihat dari perjalanan hidupnya, bukan itu yang dilihat dan dialami Rousseau. Di balik kemegahan zaman, ada banyak ketidakberesan. Di Prancis, Kaum Burgeois terbebas dari pajak, sementara petani kecil terus diperas. Ditambah juga epidemi yang terjadi di mana-mana. Dengan begitu, Rousseau melihat bahwa kebudayaan yang selama ini dikagumi dan dibanggakan oleh banyak orang di Eropa ternyata bukanlah puncak, melainkan wujud kebusukan peradaban manusia. Menurutnya, kebudayaan, seni, dan ilmu pengetahuan hanya membuat manusia menjadi korup dan bobrok kesusilaannya.6
Zaman Pencerahan memandang bahwa mitos-mitos dan emosi-emosi subjektif manusia merupakan apa yang membelenggu manusia, sehingga harus dipatahkan dengan rasio. Rasio membawa kepada perkembangan teknologi, yang selanjutnya mendukung perkembangan kebudayaan dan peradaban. Tetapi, Rousseau melihat justru kebudayaan yang dihasilkan rasio itulah yang membelenggu manusia. Pandangan itulah yang kemudian menjadi dasar suatu gerakan yang dinamakan Romantisisme. Suatu gerakan yang mengutamakan segi-segi emosional dan kepekaan afeksi serta ‘petualangan fantasi’ manusia dari pada segi-segi kerasionalannya saja. Gerakan tersebut mempengaruhi bidang sastra, kebudayaan, seni, dan juga filsafat abad ke-18. Jean-Jacques Rousseau, yang memulai gerakan ini kemudian mendapatkan sebutannya yang layak, yaitu sebagai Bapak Romantisisme.7
Riwayat kehidupan yang jauh dari ideal memberikan pengaruh besar kepada pemikiran Rousseau. Pemikirannya penuh dengan kritik dan diselimuti nuansa pesimis terhadap peradaban zamannya, sekaligus masyarakat dan manusia-manusia di dalamnya. Kritik pendidikan Rousseau dalam buku Emile terutama berkaitan tentang bagai mana mendidik anak dengan baik dan praktik-praktik pengasuhan anak di zamannya.
Gambaran Umum Buku Emile
Rousseau membagi Emile menjadi lima buku, berdasarkan lima tahap perkembangan kehidupan seorang manusia. Tahap-tahap tersebut adalah: lahir–2 tahun, 5–12 tahun, 12–15 tahun, 15–20 tahun, dan terakhir 20–25 tahun. Di buku terakhir, Rousseau juga akan berbicara mengenai pendidikan untuk Sophie, seorang anak perempuan yang kelak akan menikah dengan Emile. Pendidikan untuk anak perempuan berbeda dengan pendidikan untuk anak laki-laki. Tetapi, pembedaan ini berkaitan dengan kenyataan bahwa memang ada perbedaan mendasar antara keduanya, dan bukan merupakan bentuk diskriminasi.8
Emile merupakan buku setengah teori, setengah novel. Rousseau memasukkan dirinya sendiri menjadi bagian cerita, dengan mengambil peran sebagai tutor pribadi anak laki-laki bernama Emile. Dalam buku ini, Rousseau terus bersama Emile, membimbingnya melewati tahap demi tahap hidup Emile. Interaksi yang terjadi antara Emile dan Rousseau penuh anekdot-anekdot dan cerita, dan di antara narasi-narasi tersebut, terdapat pemikiran mengenai prinsip-prinsip pendidikan.9
Di keseluruhan buku ini, Rousseau memaparkan suatu ideal pedagogis yang berdasarkan prinsip “Retournous a la nature!—Marilah kembali ke alam!”. Seperti yang sudah tertulis di atas, Rousseau melihat bahwa kebudayaan membuat korup masyarakat secara umum. Tetapi, Rousseau juga melihat dengan lebih spesifik, yaitu bahwa kebudayaan juga membuat korup anggota masyarakat di tingkat individual, bahkan sejak individu itu baru di lahirkan. Itulah kiranya apa yang Allan Bloom maksud dengan tulisannya pendahuluan buku Emile:
Musuh Rousseau bukanlah ancien régime, takhtanya, altarnya, atau kehormatannya. Dia yakin bahwa semua itu sudah selesai, revolusi akan menggusur semua itu dan menyediakan ruang baru untuk dunia yang baru, yang berdasarkan prinsip egalitarian filsafat baru. Perjuangan sesungguhnya ialah terletak pada manusia-manusia seperti apa yang kelak akan menghidupi dunia tersebut. (EM 4:2)
Dalam tulisan ini, penulis akan berusaha merumuskan inti-inti teori pendidikan Rousseau yang ada dalam buku Emile. Untuk membantu penulis memahami pemikiran Rousseau, penulis menggunakan sumber-sumber seperti ensiklopedia, buku sekunder, dan juga artikel jurnal yang membahas tentang teori pendidikan Rousseau. Teori pendidikan Rousseau akan penulis bahas menurut lima tahap perkembangan manusia.
Pendahuluan
Di sini Rousseau pertama kali menyebutkan istilah “Nature”, suatu istilah yang penting dan terlihat dalam keseluruhan buku Emile. Rousseau menggunakan term ‘Nature’ bergantian dengan bentuk sifatnya ‘Natural’, tetapi ia tidak pernah mendefinisikannya secara pasti.10 Di bagian ini, Rousseau menyempitkan arti Nature sebagai “perkembangan-perkembangan internal dari bagian tubuh dan organ-organ kita” (Dengan begitu, makna Nature di sini lebih dekat dengan ‘kodrat’ seseorang sebagai manusia). Rousseau memulai pendahuluannya dengan membahas tiga (3) aspek yang paling berperan dalam pendidikan seseorang selama hidupnya, yaitu “Nature”, manusia, dan benda-benda (EM 38:3). Dari manusia, kita belajar “kegunaan [bagian-bagian] yang didapat dari perkembangan itu”, dan hasil pendidikan dari benda-benda adalah “pengalaman mengenai berbagai benda yang mempengaruhi kita.” (EM 38:3). Tentang seberapa jauh manusia punya kendali atas ketiga aspek pendidikan itu, Rousseau menjelaskan:
Dari ketiga [aspek] pendidikan ini, yang datang dari nature berada di luar kendali kita; yang datang dari benda-benda berada dalam kendali kita hanya dalam beberapa hal; yang datang dari manusia ialah satu-satunya yang ada dalam kendali kita secara penuh. Tetapi, kendali yang kita miliki itu hanya ada dalam hipotesis. Memang siapa yang dapat berharap untuk punya kendali penuh terhadap semua kalimat-kalimat dan perbuatan-perbuatan yang ada di sekeliling anak? (EM 38:5)
Jika ketiga aspek tersebut saling berlawanan atau ada yang kurang, maka pendidikan anak dikatakan gagal. Anak yang dibesarkan dengan baik adalah yang memperoleh pelajaran dari ketiga aspek tersebut secara penuh dan proporsional. Rousseau menuliskan, “Hanya dia, yang dalam dirinya [ketiga aspek tersebut] tertuju kepada titik yang sama, akan sampai pada cita-citanya dan hidup secara konsisten. Hanya dialah yang dibesarkan dengan baik.” (EM 38:4)
Buku I: Kelahiran–2 Tahun
Menurut Rousseau, tahap ini merupakan tahap pendidikan yang paling penting, dan merupakan tanggung jawab seorang ibu. Ia menuliskan: “Jika Sang Pencipta menginginkan [tanggung jawab] itu ada pada laki-laki, Ia akan memberikannya susu yang dengannya ia akan merawat sang anak” (EM 37: catatan kaki *). Itulah awal dari kritik Rousseau terhadap kebiasaan buruk para ibu di zamannya, yaitu praktik menyerahkan bayinya kepada seorang suster atau pembantu. (EM 44:1)
Rousseau memberikan ilustrasi mengenai praktik membedung bayi.11 Tubuh bayi seharusnya terbebas dari bedungan karena itu akan membatasinya dalam berinteraksi dengan lingkungan, benda-benda, dan orang-orang di sekitarnya (tiga aspek pendidikan). Rousseau bertanya, “Dari mana asalnya praktik yang tidak masuk akal ini?” Oleh Rousseau, praktik membedung bayi disebut praktik yang denatured—yang tidak natural.
(…) Para ibu yang meremehkan tugas pertama mereka, yang tidak lagi ingin memberi makan anak-anak mereka, akan menyerahkan anaknya kepada wanita-wanita bayaran, yang menemukan diri mereka sebagai ibu dari anak-anak asing, dan alam (nature) tidak pernah mengajarkan apa-apa [tentang kewajibannya terhadap anak-anak tersebut]. Karena itu, wanita-wanita tersebut hanya berusaha untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka harus selalu waspada atas [seorang anak yang bebas bergerak]. Tetapi, ketika bayi itu terikat dengan baik, ia dapat membiarkannya di sudut tanpa terganggu oleh tangisannya. (EM 44: 1)
Menyusui, merawat, dan mengurus bayi secara langsung adalah tugas pertama (first duty) ibu, dan dengan begitu seorang bayi harus disusui oleh ibunya, bukan wanita lain. Menurut Rousseau, kebaikan yang didapat jika seorang ibu melaksanakan tugasnya, tidak hanya berkaitan dengan hubungan kasih antara ibu dan anak, tetapi juga keharmonisan keluarga secara keseluruhan:
“Biarkanlah para ibu berkenan untuk menyusui anak-anak mereka, [pada gilirannya] moral akan mereformasi dirinya sendiri, sentimen alam [(nature)] akan terbangun di setiap hati, dan membawa semuanya kembali bersama. (…) dari koreksi satu kesalahan ini akan muncul suatu reformasi; alam akan mendapatkan kembali semua haknya. Biarkan wanita sekali lagi menjadi ibu, [dan] pria akan segera menjadi ayah dan suami lagi.” (EM 46:1)
Rousseau juga mengkritik ayah-ayah yang menggunakan bisnis, kantor, dan pekerjaan-pekerjaan sebagai alasan untuk tidak ikut mengurus anak secara langsung bersama dengan ibunya. Mereka sibuk bekerja, dan malah membayar wanita dan lelaki lain untuk merawat anaknya. Mereka jarang berada di rumah, dan tidak membangun relasi dengan anak-anaknya sendiri. Dengan uangnya ia mengirim anaknya ke sekolah-sekolah, ke tangan orang lain. Bahkan dengan saudaranya sendiri saling terpisah, dan saat bertemu bersama di rumah, mereka akan berperilaku sopan, tetapi melihat satu sama lain sebagai orang asing. Konsekuensinya adalah “… segera setelah lingkungan keluarga kehilangan manisnya kehidupan, [seorang anak] akan menjadi buruk moral [dalam usaha untuk mendapatkannya kembali]. Manusia mana yang begitu bodohnya sampai tidak dapat melihat rangkaian [sebab-akibat] ini?” (EM 48:5)
Mengurus anak, menurut Rousseau, bukan hanya merupakan tuntutan yang muncul karena ia adalah ayah dari anak tersebut. Seorang anak kelak akan menjadi seorang pribadi (person) lingkungan sosialnya, dan warga dari negaranya (citizen). Karena itu, mengurus dan membesarkan anak juga merupakan tuntutan dari sesama manusia, lingkungan sosial, sekaligus masyarakat. Mengurus anak bagi seorang ayah menurut Rousseau adalah ‘kewajiban berlipat-tiga,’ dan yang tidak dapat memenuhinya tidak pantas menjadi seorang ayah. Dengan begitu, kemiskinan, pekerjaan, ataupun opini publik sebenarnya bukan halangan bagi seorang ayah untuk langsung menyuapi dan membesarkan anaknya. (EM 49:1)
Menurut Rousseau, seluruh pendidikan di tahap ini masih melalui pengalaman fisik (tubuh), dan persepsi seorang bayi sifatnya afektif. Jadi, ekspresi-ekspresi yang dikeluarkan adalah berdasarkan suka atau tidak suka; nyaman atau tidak nyaman. Saat tubuh mereka nyaman, mereka menikmati dalam diam. Saat tubuhnya tidak nyaman atau kesakitan, mereka menangis. Rousseau melihat inilah awal perkembangan bahasa seorang anak. Bahasanya belum jelas, tetapi memiliki penekanan, nyaring, dan dapat dipahami. (EM 65:1)
Bagian pertama dari masa kecil (childhood) anak dihabiskan dengan menangis. Saat anak menangis, orang tua segera menghampiri dan mencari-cari cara supaya mereka berhenti menangis, dan ketika berhasil, orang tua merasa lega. Entah mereka membelainya supaya ia tenang, atau memukulnya supaya diam; Entah orang tua tunduk kepada keperluan anak, atau orang tua membuat anak tunduk kepada keinginannya. Dari situ Rousseau melihat bahwa ide pertama yang didapat oleh anak adalah dominasi (domination) dan pelayanan (servitude).
“Bahkan sebelum dapat berbicara, dia sudah memerintah, dan sebelum dapat bertindak, dia sudah menurut. Bayi belum mengetahui bahwa apa yang dia lakukan itu salah, tetapi sudah dihukum” (EM 48:2). Dengan selalu mencari cara dan menyesuaikan diri dengan bayi, tanpa sadar kita hanya memperjelas ide atau pelajaran dominasi tadi, dan dia akan terus merasa perlu didengarkan. Seharusnya kita cukup datang, memperhatikan dengan cermat, dan menyediakan apa yang memang ia butuhkan. Yang perlu mengerti adalah si bayi, biarkan dia menebak-nebak ekspresi apa yang kita mengerti; biarkan dia berusaha membuat kita mengerti. (EM 73:2)
Rousseau melihat, banyak orang tua yang terlalu cepat mengajari anaknya untuk berbicara. Anak yang diburu-buru untuk bicara tidak punya waktu untuk belajar melafalkan atau mengerti dengan baik apa yang sebenarnya mereka katakan. Tetapi, anak yang secara alami belajar berbicara akan mulai dari suku kata termudah, dan sedikit demi sedikit memberikan makna bersamaan dengan gerakan. “Pertama-tama bayi memberikan kepada kita kata yang mereka mengerti, bukan kita yang memberikan kata yang hanya kita mengerti. Setelah itu, bayi akan menerima kata-kata kita lewat pengamatan terhadap tindakan yang kita lakukan terhadap mereka ketika kita mengucapkan kata-kata tersebut. Bayi kemudian akan menirunya.” (EM 73:4)
Menurut Rousseau, terlalu cepat mengajari anak untuk berbicara memiliki efek samping yang sangat berpengaruh terhadap cara berpikir anak untuk seumur hidupnya. Efek samping itu adalah anak mempunyai pengertian lain (alternative meaning) terhadap kata-kata. Itulah mengapa anak terkadang menggunakan kata baru dalam konteks yang tidak sesuai dengan makna kata tersebut. Masalahnya, walaupun sewaktu-waktu ia menggunakan kata dalam konteks yang tepat, kita tidak punya cara untuk mengetahui bahwa dia memang memahami makna dari kata tersebut. Kita menganggap mereka sudah mengerti, dan dengan melihat respons kita, anak juga merasa makna yang dia mengerti itu—yang belum tentu benar—memang makna kata yang sebenarnya. (EM 73:5)
Buku II: Usia 2–12 Tahun
Di buku ke-2, Rousseau melanjutkan argumen bahwa pelajaran masa kecil masih didapat melalui pengalaman fisik, dan ia pertama kali memperkenalkan metode pendidikannya, yaitu pendidikan negatif. Rousseau lagi-lagi memulai pembahasannya dengan mengkritik praktik pengasuhan yang sudah berjalan di zamannya. Orang tua selalu ‘melindungi’ anak mereka di rumah, jauh dari penyakit, lingkungan kotor, dan penyakit. Itu hanya akan menghambat pengalaman fisik dari anak. Mereka direbut dari alam dan dikurung di rumah seperti ‘budak dapur’. Seharusnya, anak-anak bermain di luar supaya tubuh dan pikiran dapat bekerja bersama untuk mengalami dunia. “Maka untuk belajar berpikir, kita harus menggerakkan tangan-kaki kita, menggunakan indera-indera kita, dan organ-organ kita … Pendapat yang selama ini mengatakan bahwa perkembangan nalar (reason) terlepas dari tubuh itu jauh dari kebenaran. Keadaan jasmani yang sehat lah yang membuat kegiatan berpikir lebih mudah dan pasti” (EM 125:3).
Rousseau juga terganggu ketika anak diajari praktik-praktik sopan santun berlebihan, yang menurutnya hanyalah kedok kesombongan dari status kelas mereka. Ia menulis, “Untuk saya sendiri, saya lebih suka Emile berperilaku ‘kasar’ dari pada sombong; Saya lebih suka dia berkata, saat mengajukan perintah misalnya, Lakukan ini! (Do this!), dari pada, Aku mohon Anda (I beg you). Bukan istilah yang ia gunakan yang penting, melainkan makna yang ia kaitkan dengannya.” (EM 86:3)
Indera yang paling penting bagi perkembangan nalar anak menurut Rousseau adalah penglihatan. “Penglihatan adalah indera yang paling berkaitan dengan keputusan yang dibuat pikiran, dibutuhkan waktu lama untuk belajar melihat” (EM 143:1). Jadi, Rousseau menganjurkan anak-anak untuk diajari menggambar, supaya ia dapat mengukur, menilai, memperkirakan jarak, dan tinggi dari benda-benda. Dengan melihat dan menggambar bentuk objek-objek nyata, Alam (Nature) akan masuk menjadi bagian dalam imajinasi anak. Rousseau menekankan menggambar objek nyata dengan menulis, “Aku bahkan akan menghalanginya [Emile] untuk menggambar apa pun dari ingatan … karena ketika gambaran yang aneh dan luar biasa [dari imajinasi] menggantikan kenyataan yang ada pada benda, dia akan kehilangan proporsi dan selera terhadap keindahan Alam.” (EM 144:1)
Di umur 5–12 tahun ini, Rousseau mengkritik pendidikan yang terlalu fokus kepada bahasa dan sejarah. Menurutnya, itu tidak efektif karena kenyataannya anak-anak belum dapat mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan itu dalam pengalaman sehari-harinya. “Apakah orang dapat percaya bahwa hubungan-hubungan antara fakta sejarah itu mudah untuk dipahami, sehingga ide-ide dengan sendirinya terbentuk di dalam pikiran anak?” (EM 110:2) Melihat orang tua yang sering memaksa anaknya membaca buku sejarah, Rousseau berpendapat bahwa seharusnya orang tua membiarkan anaknya membaca apa yang mereka suka, sehingga menumbuhkan kesukaan terhadap membaca, menulis, dan belajar sekaligus. Ia menuliskan, “Tetapi, harus diakui bahwa, anak tentu saja setidaknya harus bisa membaca. Aku setuju. Ia harus bisa membaca saat membaca itu berguna baginya; sebelum itu, membaca hanya membuatnya bosan.” (EM 116: 3)
Rousseau menjelaskan metode pendidikan yang akan digunakannya secara umum di buku ini, yaitu suatu pendidikan negatif: “Bukan terutama mengajarkan keutamaan atau kebenaran, tetapi mengamankan hati dari kejahatan dan pikiran dari kesalahan” (EM 93: 5). Anak dijauhkan dari pengaruh buruk kebudayaan yang biasa masuk melalui tulisan-tulisan dan praktik-praktik sosial. Jika Anak dibiarkan untuk belajar dari Alam, maka ia akan tumbuh dengan sehat tanpa prasangka (prejudice) dan tanpa kebiasaan-kebiasaan (habit). Dengan begitu, ketika ia berumur 12 tahun nalarnya akan terbuka dan tidak akan ada yang menghalangi pelajaran-pelajaran selanjutnya. Di awal buku III, Rousseau memberi penjelasan lebih lanjut tentang metode pendidikan negatif-nya:
Ingatlah selalu bahwa pada intinya, teori pendidikanku bukan tentang mengajari anak banyak hal, tetapi memastikan segala yang masuk ke otak anak adalah ide yang akurat dan jelas. Biarlah dia tidak tahu, itu tidak penting bagiku selama ia tidak melakukan kesalahan. Aku memasukkan kebenaran ke dalam pikirannya hanya untuk memperjelas kesalahan-kesalahan, dan itu baginya akan menjadi pelajaran. Nalar dan keputusan datang perlahan; prasangka datang bergerombol; dari merekalah seorang anak harus dilindungi. (EM 171:4)
Buku III: 12–15 Tahun
Menurut Rousseau, di umur 12 atau 13, kekuatan anak relatif berkembang lebih cepat dari pada kebutuhannya. Dari luar, anak kelihatan sangat aktif, tidak bisa diam. Tetapi itu sebenarnya adalah konsekuensi dari kelebihan kekuatan yang ada di dalam anak. Kekuatan keluar dalam wujud rasa ingin tahu (curiosity) anak, dan rasa ingin tahu ini lah yang sekarang menjadi fokus pendidikan. Kekuatan dan rasa penasaran itu membuat masa ini adalah masa yang penting untuk membimbing anak dalam segi “pekerjaan, perintah, dan belajar” (EM 166: 3). Untuk mendapatkan ketiganya, Rousseau menganjurkan untuk anak dijauhkan dari buku, dan malah membantu bekerja. “Jika saya tidak menyuruh anak untuk melulu membaca buku, dan malah membawanya ke loka karya [workshop], tangannya akan bekerja dan menguntungkan pikirannya; ia akan menjadi filsuf, tetapi merasa dia hanyalah pekerja” (EM 177: 1). Pekerjaan membentuk pikiran anak melalui pengalaman langsung. Perintah-perintah yang ia terima saat bekerja akan membuat anak dapat membedakan kapan saatnya bermain dan kapan saatnya bekerja, sekaligus apa yang berguna dan yang tidak.
Buat muridmu perhatian terhadap fenomena di alam. Tidak lama kamu akan membuatnya penasaran. Tetapi, jangan terburu-buru untuk memenuhi rasa ingin tahu itu. Berikan pertanyaan-pertanyaan yang masih dalam jangkauan kemampuannya dan biarkan dia untuk mencoba memecahkannya sendiri. Biarkan dia mengetahui bukan karena kamu memberitahunya, tetapi karena dia mengerti dengan kemampuannya sendiri. (EM 168:3)
Di tahap ini, Emile juga mulai tahu bahwa dia kelak akan menjadi seorang pria, sama seperti orang-orang di sekelilingnya. Ide-ide yang dikonstruksi oleh lingkungan sosial tentang bagaimana seorang lelaki harus berperilaku, dan pekerjaan-pekerjaan apa yang dipandang lebih layak mulai masuk ke dalam dirinya. Tetapi, dengan metode pendidikannya, Rousseau menjauhkan Emile dari itu semua. Rousseau mengkritik pandangan publik terhadap pekerjaan-pekerjaan. Pekerjaan yang paling berguna seperti pedagang, pembuat kunci, tukang bengkel dipandang rendah. Sementara pekerjaan yang paling tidak berguna seperti pengrajin emas (goldsmith), penyair, pelukis, dipandang tinggi (EM 186:1). Rousseau melihat itu adalah sebuah kontradiksi, dan nilai benda ditaksir dengan semena-mena dan tidak sesuai dengan kegunaannya (utility). Hal seperti ini harus dijauhkan dari Emile karena akan merusak caranya menilai dan membuat keputusan berdasarkan nilai benda-benda.
Satu hal yang perlu di catat dari pembahasan Rousseau mengenai pendidikan sampai titik ini, adalah bahwa dia tidak pernah menyinggung persoalan kelas. Mengingat bahwa Rousseau hidup di Prancis yang struktur sosialnya terbagi menjadi tiga, yaitu clergy, nobility dan commoners, hal itu menjadi poin penting. Hal itu menunjukkan bahwa Rousseau juga memikirkan tentang kesetaraan pendidikan. Menurutnya, pendidikan itu sama bagi setiap anak, terlepas dari kelas dan kekayaan. Ia menuliskan:
Hingga titik ini saya belum membedakan status sosial, kelas, dan kekayaan; dan saya tidak akan membedakan mereka untuk seterusnya. Ini karena manusia adalah sama di semua tingkat sosial; Orang kaya tidak memiliki perut yang lebih besar daripada yang miskin, dan juga tidak mencerna lebih baik dari padanya; seorang tuan tidak memiliki tangan yang lebih panjang atau lebih kuat dari budaknya; seorang pria dari keluarga besar tidak lebih besar dari manusia mana pun; dan akhirnya, karena kebutuhan alami manusia di mana-mana sama, sarana untuk menyediakannya juga harus disediakan sama di mana-mana. (EM 194:1)
Buku IV: 15–20 Tahun
Dalam masa ini, Rousseau menekankan pendidikan yang berfokus kepada relasi anak dengan sesama dan lingkungan sosialnya, seperti pendidikan agama dan moral. Rousseau berargumen bahwa di masa ini, mulai tumbuh dalam diri Emile yang disebut self-love, yaitu “suatu keinginan primitif bawaan yang mengatasi keinginan-keinginan lainnya, dan keinginan yang lain tersebut dapat disebut hanya merupakan modifikasi [dari self-love]” (EM 212:5). Self-love ini dari dirinya adalah baik, dan muncul dari kenyataan bahwa setiap manusia selalu mengutamakan keselamatan dirinya sebagai yang utama; sebagai sesuatu yang harus selalu diperhatikan dan dijaga—sebagai sesuatu yang ia cintai. Dari situ, seseorang akhirnya belajar untuk mencintai apa yang memperhatikan dan menjaganya, bagaikan seorang bayi yang mencintai ibu yang menyusuinya.
Namun, Rousseau mengingatkan bahwa pada bayi self-love itu merupakan insting dan sifatnya otomatis. Untuk Emile yang sudah mulai dapat berpikir, cinta pada orang lain tidak datang begitu saja. Dia perlu banyak waktu untuk mengerti bahwa orang-orang tersebut bukan hanya berguna (useful) bagi dirinya, tetapi karena mereka memang ingin menjaga dan memperhatikan dirinya. Hanya saat itulah dia dapat mencintai mereka kembali. (EM 213:3) Proses ini membuka celah masuknya pengaruh buruk dari luar. Seiring dengan perkembangan tubuhnya, relasi, kebutuhan, dan koneksi juga berkembang. Ia mulai mengetahui pendapat-pendapat umum dari lingkungan sosialnya, yang membentuk dalam dirinya suatu sentimen membanding-bandingkan, suka-tidak suka, dan apa yang seharusnya. Di sini, self-love mulai diambil alih fungsinya oleh apa yang disebut oleh Rousseau amour-propre.
“Self-love, yang hanya berkaitan dengan diri kita sendiri, akan merasa puas saat kebutuhan kita dipenuhi. Tetapi amour-propre yang membanding-bandingkan, tidak pernah puas dan tidak akan pernah, karena sentimen ini bukan hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga menuntut orang lain untuk mementingkan diri kita, yang memang tidak mungkin. (…) Dari Self-love lahir keinginan yang lembut dan penuh kasih sayang, dan keinginan yang penuh benci dan meledak-ledak lahir dari amour-prope.” (EM 214:1)
Itulah mengapa, di masa ini penting untuk mengajarkan Emile agama dan moral. Agama dan moral diharapkan dapat mengarahkan self-love ini ke arah kebaikan tertinggi dan universal, dan mencegah amour-propre. Menurut Rousseau, inilah mengapa, bahaya dari kebudayaan harus menjadi perhatian kita, yaitu demi mencegah masuknya kerusakan-kerusakan yang lahir dari kebutuhan-kebutuhan baru mereka, ke dalam hati manusia. “Yang membuat manusia baik adalah memiliki sedikit kebutuhan, dan tidak membanding-bandingkan diri dengan orang lain; yang membuat manusia jahat adalah memiliki banyak kebutuhan dan terlalu berpegang terhadap pendapat orang.” (EM 214: 1)
Buku V: 20–25 Tahun dan Sophie
Di buku terakhir ini, Rousseau membahas tahap usia antara 20 dan 25 tahun, yaitu ketika pria dan wanita mendekati pernikahan. Buku ini Rousseau dedikasikan untuk pendidikan wanita. Menurut Rousseau, perempuan membutuhkan pendidikan sebagaimana laki-laki membutuhkan pendidikan, yaitu pendidikan “yang sesuai dengan konstitusi spesiesnya dan gendernya demi memenuhi tempatnya di dunia fisik dan moral.” (EM 357: 2) Dengan itu, Rousseau mengemukakan suatu gagasan mengenai kesetaraan gender, “Yang kita tahu dengan pasti hanyalah bahwa satu-satunya kesamaan antara pria dan wanita adalah spesiesnya, dan satu-satunya perbedaan adalah dalam hal gender. (…) Dalam hal-hal yang sama, keduanya setara. Dalam hal-hal yang berbeda, mereka tidak dapat dibandingkan.” (EM 358:1)” Tetapi, Rousseau berpendapat bahwa Alam mau tidak mau membuat gender memengaruhi pendidikan, baik itu mengenai tubuh, agama, dan moral seseorang. Ia menuliskan, “Karena itu, mereka tidak boleh memiliki yang pendidikan yang sama persis (…) selaras dengan alam mereka harus bertindak bersama, tetapi tidak melakukan hal yang sama; mereka memiliki tujuan yang sama, tetapi tugasnya berbeda, dan begitu juga hasrat-hasrat yang mendorong mereka.” (EM 363:1)
Menurut Rousseau, pada masa bayi tubuh wanita tidak boleh dikembangkan supaya kuat sebagaimana bayi laki-laki, tetapi untuk mengembangkan ‘pesona’ (attractiveness) (EM 365: 5). Walaupun begitu, dalam perkembangannya anak perempuan masih perlu bermain dan berlari seperti anak laki-laki, dan untuk belajar hal-hal yang menyenangkan seperti bernyanyi, menari, dll. supaya tubuh mereka bertumbuh sehat (EM 366: 1) Rousseau melihat bahwa perempuan memang cenderung lebih banyak bermain dengan boneka karena itu sesuai dengan peran mereka sebagai ibu. Mereka juga belajar menyulam dan jahit-menjahit lebih baik dari laki-laki, karena ini berguna bagi dirinya sebagai perempuan, dan itu merupakan wujud hasratnya untuk mempercantik diri. (EM 366: 3–5) Pendidikan untuk anak perempuan adalah pendidikan yang menekankan “bakat yang membentuk selera (taste).” Selera pada gilirannya membentuk pikiran yang “terbuka terhadap berbagai macam ide-ide keindahan dan konsep moral yang terkait dengannya.” (EM 375: 1)
Demi kebaikan mereka sendiri, anak perempuan harus diajarkan untuk menahan diri dan fokus menjalankan tugas-tugas tertentu. “Mereka harus dilatih untuk menahan diri sampai mereka terbiasa, dan dapat menaklukkan semua keinginan-keinginan mereka untuk tunduk pada keinginan orang lain. Untuk anak perempuan yang selalu ingin bekerja, terkadang harus dipaksa untuk tidak melakukan apa-apa” (EM 369: 2). Rousseau Melihat bahwa hal itu diperlukan karena hampir seumur hidupnya perempuan akan berada di bawah perintah otoritas yang lebih kuat dari dirinya. Waktu kecil, ia diharapkan dapat berperilaku sopan, lemah lembut, dan elegan ‘layaknya seorang wanita’, saat ia dewasa ia diharapkan dapat melayani suaminya dan merawat anak-anaknya. Ini bukanlah suatu kemalangan (misfortune). Melainkan, ini adalah apa yang Alam kehendaki. (EM 358: 2)
Penutup dan Tanggapan Kritis
Penulis melihat ada dua segi keistimewaan dari buku ini. Pertama, yang paling mudah dilihat, adalah gaya presentasinya. Gaya menulis Rousseau yang begitu menarik dan puitis membuat pembaca tenggelam dalam alur cerita. Dengan menjalin pemikiran-pemikirannya di tengah-tengah narasi cerita, pemikirannya tersebut diperkaya dengan suatu konteks yang konkret. Kedua, kritikan Rousseau yang tajam dan kontroversial di zamannya ternyata sampai sekarang masih relevan.
Kritikan pertama Rousseau ditujukan terhadap praktik pengasuhan anak (parenting), di mana orang tua membayar pembantu untuk merawat anaknya. Para ibu tidak lagi merawat anaknya dengan langsung, dan ayah sibuk dengan pekerjaannya. Memang harus di akui, bahwa semua itu merupakan hasil perkembangan peradaban manusia. Struktur industri, perkantoran, dan pekerjaan-pekerjaan yang baru, membuat hubungan keluarga yang dibayangkan Rousseau tidak bisa dilaksanakan. Malahan, semangat persamaan gender yang beberapa dekade ini berkembang membuat wanita-wanita muda memiliki orientasi sebagai wanita karier. Tentu kita memandang ini suatu kemajuan peradaban. Tetapi, Rousseau mungkin akan melihat bahwa gerakan ini sama sekali berlawanan dengan alam, dan akan mengurangi keharmonisan keluarga. Setelah melihat pemikiran Rousseau, semakin terlihat bahwa bukanlah sebuah kebetulan kalau seiring perkembangan zaman, tingkat perceraian semakin meningkat.
Perkembangan yang sudah ada tidak bisa kita kembalikan ke alam seperti apa yang Rousseau inginkan. Namun, pemikiran Rousseau kiranya dapat menjadi pedoman supaya kita tidak terlalu menekankan perkembangan peradaban dan teknologi, dan dengan itu kita lupa akan peran dasar alamiah kita sebagai manusia, pria, wanita, dan orang tua. Memang perkembangan itu diperlukan, tetapi Rousseau mengingatkan bahwa ada tuntutan dan kewajiban yang diberikan alam yang tidak boleh ditinggalkan.
Dalam masa pertumbuhan, Rousseau menekankan pentingnya anak untuk dijauhkan dari opini-opini publik, yang membuatnya malah fokus ke hal-hal yang tidak berguna (menilai tidak berdasarkan usefullness). Hal ini sangat relevan dengan adanya globalisasi dan akses internet yang nyaris tidak terbatas. Banyak tren-tren ‘viral’ yang tidak useful, bahkan berbahaya. Tetapi, sekarang internet sudah masuk sangat dalam dan menjadi bagian vital dari peradaban kita. Internat ada di infrastruktur pelayanan publik, transportasi, perbankan, dll. Internet juga mengubah cara kita bersosialisasi, sehingga memblokir akses internet untuk anak bukanlah solusi yang baik. Jika melihat kepada pemikiran Rousseau, kita diharapkan dapat menyusun suatu pendidikan yang mengedepankan prinsip utility dan usefullness, tetapi tidak boleh jatuh kepada utilitarian. Tren-tren masih perlu sebagai suatu media anak untuk bermain dan bersenang-senang, tetapi semua itu harus mengandaikan hal-hal yang penting (useful) sudah dikuasai terlebih dahulu.
Pendidikan ‘kembali ke alam’ Rousseau, yang ia kembangkan di abad ke-18 ini masih dilaksanakan penerapannya sampai sekarang. Sekolah-sekolah semakin sering mengadakan retreat, live in, kunjungan industri, dll. Dengan kegiatan-kegiatan itu, anak diharapkan dapat belajar dengan mengalami langsung alam di sekitarnya. Jika Rousseau menyusun pemikirannya itu dengan tujuan menyeimbangkan pertumbuhan fisik dengan intelektual dan moralitas anak, di zaman sekarang ada nilai lebih yang didapat, yaitu cinta akan alam itu sendiri. Problem ekologis seperti global warming, cuaca ekstrim, dan pencemaran lingkungan semakin hari semakin kritis. Usaha pencegahan dan restorasi harus dimulai dari generasi kita, tetapi harus diingat bahwa anak-anak kitalah yang akan menghidupi dunia selanjutnya, sehingga mereka juga harus dapat mempertahankan warisan kita.
Catatan Akhir
Tulisan ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Sejarah Filsafat Barat Modern di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Daftar Pustaka
Bloom, Allan. “The Education of Democratic Man: Émile.” Daedalus 107, no. 3, (1978): 135–53.
Grimsley, Ronald. “Jean-Jacques Rousseau” dalam Encyclopedia of Philosophy. Ed. Donald M. Borchert, 2nd edition., vol. 8. (Detroit: Thomson Gale/Macmillan Reference USA, 2006): 507–516.
Hadirman, F. Budi. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011).
Hamersma, Harry. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1983).
Kessen, William. “Rousseau’s Children.” Daedalus 107, no. 3, (1978): 155–66.
O’Hagan, Timothy. Rousseau. (USA: Routledge, 1999)
Oelkers, Jürgen. “Rousseau and the Image of ‘Modern Education.’” Journal of Curriculum Studies 34, no. 6 (November 2002): 679–98.
Rousseau, Jean-Jacques. Émile: or On Education, trans. Allan Bloom. (USA: Basic Books, 1979).
Tjahjadi, Simon Petrus L. Sejarah Filsafat Modern. Manuskrip untuk kalangan terbatas mahasiswa/i STF Driyarkara.
-
Oxford Advanced Learner’s Dictionary: roué (n): a man who drinks too much alcohol, uses illegal drugs, or is sexually immoral, especially a man who is fairly old. ↩
-
O’Hagan, Timothy. Rousseau. (USA: Routledge, 1999), “Introduction,” p.1 ↩
-
Grimsley, Ronald. “Jean-Jacques Rousseau” dalam Encyclopedia of Philosophy. Edited by Donald M. Borchert, 2nd ed., vol. 8. (Detroit: Thomson Gale/Macmillan Reference USA, 2006): 507–516. ↩
-
Setelah Rousseau terkenal, masa lalunya ini diketahui publik dan membuat Rousseau menjadi “… bahan maki-makian. Terlebih lagi setelah penerbitan buku Emile, dia dianggap sebagai lambang karikatur dari kemunafikan, suatu perwujudan nyata dari kegagalan bersatunya teori dan praktek.” Lih. O’Hagan, Timothy. Rousseau, p.2 ↩
-
Tjahjadi, Sejarah Filsafat Modern. “Rousseau”, p.63 ↩
-
Tjahjadi, Sejarah Filsafat Modern. “Rousseau”, p.63 ↩
-
Hardiman, F. Budi. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 97–98 ↩
-
“Dalam hal-hal yang sama, keduanya (laki-laki dan wanita) setara. Dalam hal-hal yang berbeda, mereka tidak dapat dibandingkan.” (EM 358:1) ↩
-
O’Hagan, Timothy. Rousseau, p.41 ↩
-
O’Hagan, Timothy. Rousseau, p.43 ↩
-
KBBI Daring, bedung (n): kain pembalut bayi. ↩