aaron-pm

Selayang Pandang Sejarah Perkembangan Kosmologi

Manusia, sebagai makhluk yang selalu bertanya, tak henti-hentinya menatap langit. Bukan sekadar melihat benda-benda angkasa itu satu per satu, tidak. Hatinya tergerak untuk melihatnya sebagai satu kesatuan, sebuah tatanan yang utuh, indah, dan punya makna. Inilah yang kita sebut kosmologi, sebuah telaah tentang semesta raya ini, bukan sebagai kumpulan bagian-bagian lepas, melainkan sebagai sebuah sistem yang terpadu.

Ketika kita bicara kosmologi, mungkin benak kita langsung melayang pada astronomi, pada teleskop dan perhitungan bintang. Itu memang dekat. Tapi, ada satu lagi kawan karib kosmologi yang tak kalah penting, yang mungkin sering kita lupakan: Sastra. Coba bayangkan, dahulu kala, seorang manusia mendongakkan kepala ke hamparan bintang, keindahan Bima Sakti memukau matanya. Sebuah pertanyaan fundamental pun bergejolak di benaknya: “Dari mana semua ini berasal?” Di sinilah, di persimpangan jalan antara kosmologi dan sastra, lahirlah mitokosmologi, narasi-narasi purba tentang penciptaan dunia.

Yang paling tua, kita temukan jejaknya di Babilonia, dalam kidung agung Enuma Elish sekitar 2000 SM, yang kemudian memengaruhi banyak mitos penciptaan di Asia Barat Daya Kuno. Di tanah air kita sendiri, ada epik terpanjang, La Galigo dari abad ke-19, yang bukan hanya mengisahkan penciptaan, tetapi juga meneguhkan garis keturunan raja-raja Bugis. Semua narasi ini, sejatinya, adalah usaha manusia untuk merangkai pemahaman tentang dunia melalui imajinasi.

Ketika Akal Bekerja: Kosmologi Aristoteles

Namun, manusia tak hanya puas dengan imajinasi. Ada saatnya akal mulai bekerja, mencari keteraturan yang logis-analitis. Inilah yang dimulai oleh Aristoteles sekitar abad ke-4 SM dengan model Geosentris-nya. Bumi, menurut Aristoteles, adalah pusat jagat raya. Benda-benda langit lainnya, bulan, matahari, bintang-bintang, bergerak dalam orbit berbentuk cangkang bola berlapis-lapis, seperti bawang.

Lapisan-lapisan ini terbagi dua: sublunar, di bawah orbit Bulan, adalah dunia fana tempat segala sesuatu bergerak lurus dan mengalami perubahan, layaknya kehidupan kita di bumi. Sementara itu, supralunar, di atas orbit Bulan, adalah alam keabadian, tempat benda-benda langit bergerak sempurna dalam lintasan melingkar, tak berubah, tak lekang oleh waktu. Semakin jauh dari sublunar, semakin murni lapisannya. Dan di antara semua lapisan ini, tidak ada ruang kosong, alam semesta ini plenum, serba terisi.

Model ini mengandaikan dunia itu berhingga, tapi nirbatas. Artinya, ia punya batas, tetapi batas itu sendiri tidak memiliki ujung. Ia juga tertutup, tak ada apa pun di luar kosmos ini; tak ada ruang, tak ada waktu. Kosmos inilah keseluruhan yang ada, abadi, sudah ada dari mula dan akan terus ada. Semuanya berputar teratur pada satu pusat: Bumi. Kosmologi Aristoteles ini begitu kokoh, bertahan hingga Abad Pertengahan, baru mulai goyah ketika terbentur dengan pandangan mistik teologi Kristiani.

Gonjang-ganjing di Abad Pertengahan: Ketika Iman Berjumpa Akal

Ketidaksesuaian itu muncul dari asumsi Aristoteles bahwa di luar kosmos itu tidak ada apa-apa. Pertanyaannya kemudian muncul, sebuah pertanyaan yang mengguncang: “Di mana kosmos ini ‘ada’?” Bukankah ‘ada’ selalu berarti ‘berada-di-suatu-tempat’? Tidak masuk akal jika sesuatu yang ‘ada’ tidak punya tempat. Apalagi jika di luar kosmos tak ada ruang, itu berarti kosmos ini tak bisa digeser ke mana-mana secara linier. Hanya bisa berputar di tempatnya.

Implikasinya sangat besar, bahkan Tuhan Yang Maha Kuasa pun, menurut logika ini, tak bisa menggeser kosmos secara linier karena tak ada ruang kosong untuk-Nya memindahkan. Ini jelas-jelas bertentangan dengan doktrin potentia Dei absoluta et ordinata dalam Kristiani, yang menegaskan bahwa Tuhan itu Mahakuasa, tak terbatas kekuasaan-Nya. Maka, Dekrit Uskup Paris Etienne Tempier (1277) pun turun, menyatakan bahwa pernyataan bahwa Tuhan tak dapat menggerakkan alam secara linier adalah sebuah bidaah.

Inilah masalah kosmologis Abad Pertengahan: bagaimana menjelaskan konsep tempat dan pergerakan linier bola langit tanpa memerlukan ruang kosong di luar kosmos? Kita bisa melihat, pada titik ini, kosmologi Abad Pertengahan adalah arena pergesekan antara filsafat alam dan teologi Kristiani. Sebuah pergulatan akal dan iman yang mendalam.

Jalan Baru William Ockham: Terbukanya Penyelidikan Empiris

Pergesekan ini, akhirnya, coba diselesaikan dengan menekankan kembali doktrin potentia Dei absoluta et ordinata. Tuhan itu Mahakuasa. Seandainya Ia menghendaki menggerakkan alam semesta, ruang kosong di luar kosmos bukanlah kemustahilan bagi-Nya. Di sinilah William Ockham tampil, membawa perubahan fundamental dalam konsep relasi Tuhan dengan dunia.

Sebelum Ockham, dunia dianggap cerminan hakikat Tuhan, sehingga tak mungkin ada kontradiksi. Namun, setelah Ockham, dunia adalah manifestasi kehendak Tuhan. Artinya, jika Tuhan menghendaki, Ia bisa saja mengintervensi keteraturan hukum alam. Intervensi ini pun tak perlu bersifat universal; Tuhan bisa saja melakukan intervensi hukum alam secara lokal—inilah yang kemudian menjelaskan mukjizat.

Secara praktis, dengan pemikiran Ockham ini, filsafat alam dan teologi bisa berdiri sendiri-sendiri. Dulu, untuk memahami dunia, para filsuf alam tak bisa melepaskan diri dari teologi, mereka adalah filsuf-teolog. Tapi kini, terbukalah jalan bagi penyelidikan empiris, penyelidikan berdasarkan indera, yang lepas dari belenggu teologi. Lepas dari teologi juga berarti bahwa kedudukan Bumi, tempat kita berpijak sebagai ciptaan Tuhan yang istimewa, tidak lagi harus menjadi pusat alam semesta. Sebuah kebebasan pemikiran yang luar biasa!

Pusat Dunia yang Bergeser: Dari Cusanus hingga Copernicus

Kelonggaran ini membuka pintu bagi perkembangan model kosmologi yang sama sekali baru. Pada kosmologi Nicolas Cusanus, misalnya, pusat dunia seolah mengalami krisis eksistensial. Bagaimana tidak, kosmologi Cusanus mengandaikan bahwa dunia ini tidak punya pusat! Implikasi ontologisnya jelas: kosmos selalu berubah, tak ada yang pasti. Implikasi epistemologisnya juga demikian: kosmos tak pernah bisa dipahami manusia secara lengkap.

Pusat dunia yang sempat ‘hilang’ ini, kemudian muncul kembali dalam kosmologi Nicholas Copernicus. Namun, pusat itu kini bukan lagi Bumi, melainkan Matahari. Dengan bekal pengamatan cermat, perhitungan matematika yang presisi, dan daya imajinatif yang tinggi, Copernicus mengembangkan model Heliosentris.

Namun, ingatlah, pengaruh Inkuisisi Gereja kala itu masih sangat kuat. Salah ucap sedikit saja, nyawa taruhannya. Maka, Copernicus tidak secara terang-terangan menyatakan bahwa teorinya adalah kenyataan alam. Ia hanya menuliskan dengan hati-hati bahwa, “Hipotesis-hipotesis ini tidak perlu benar atau bahkan mungkin benar. Sebaliknya, jika mereka menyediakan perhitungan yang konsisten dengan pengamatan, itu saja sudah cukup.” Sebuah pernyataan yang penuh kebijaksanaan dan kehati-hatian, demi keberlangsungan ilmu pengetahuan.

Catatan Akhir

Tulisan ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas pengganti UTS mata kuliah Kosmologi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.