aaron-pm

Pendidikan Karakter menurut Martin Buber

Pemikiran Martin Buber tentang pendidikan, teristimewa pendidikan karakter, tak dapat kita pisahkan dari gagasan besar beliau tentang prinsip dialogis. Buber memilah dua corak relasi fundamental manusia: yang pertama, relasi dengan benda-benda, yang kita kenal sebagai Aku–Itu; dan yang kedua, relasi dengan sesama manusia dan Sang Pencipta, yang beliau namakan Aku–Engkau.1 Dari kerangka inilah, Buber membangun pemahaman akan pendidikan karakter, sebab bagi beliau, pendidikan yang sejati pada hakikatnya adalah pendidikan karakter itu sendiri.2

Pada sebuah Konferensi Nasional Guru Palestina di Tel Aviv tahun 1939, Buber menyampaikan buah pikirnya tentang pendidikan karakter. Artikel tersebut kemudian dibukukan dengan judul “The Education of Character” dalam karya agungnya Between Man and Man pada tahun 1947. Dalam tulisan ini, Buber menjelaskan dengan terang benderang apa saja asumsi dasar yang melandasi pendidikan karakter, batasan-batasan dalam pelaksanaannya, hingga puncaknya, tujuan mulia dari pendidikan karakter itu sendiri.

Asumsi Dasar: Melampaui Fungsi, Menjangkau Potensi

Menurut Buber, seorang guru yang sejati, yang tulus (genuine), tidaklah memandang murid semata dari fungsi-fungsi individualnya. Seorang murid memang memiliki kemampuan untuk mengetahui, namun bukan berarti tugas guru hanya sekadar menyuapkan pengetahuan agar ia dapat melakukan ini dan itu. Guru yang tulus selalu memandang murid secara utuh, sebagaimana adanya saat ini, dan yang terpenting, apa saja potensi yang bersemayam di dalamnya. Buber menggambarkan hal ini dengan indahnya, melalui pikiran seorang guru muda yang baru pertama kali mengajar:

“Anak-anak ini—aku tidak mencari mereka; aku ditempatkan di sini dan harus menerima mereka sebagaimana adanya—tetapi bukan sebagaimana mereka sekarang berada di saat ini, tidak, melainkan sebagaimana mereka benar-benar adanya, sebagaimana mereka dapat menjadi.”3

Memandang murid sebagai keseluruhan dan potensi juga berarti memahami bahwa manusia itu terdiri dari kepribadian dan karakter. Kepribadian, menurut Buber, adalah “bentuk spiritual-fisik yang unik dengan semua kekuatan yang ada di dalamnya.”4 Sementara itu, karakter didefinisikan sebagai “hubungan antara individu dan rangkaian sikap perilakunya.” Pembedaan ini amatlah penting, sebab di antara keduanya, Buber melihat perbedaan yang fundamental. Kepribadian, pada hakikatnya, berada di luar jangkauan pengaruh pendidik, tetapi karakter tidak. Maka, bagi Buber, membantu pembentukan karakter adalah tugas terbesar seorang pendidik.5

Dengan demikian, asumsi dasar Martin Buber mengenai karakter, yakni bahwa karakter masih berada dalam jangkauan pengaruh seorang pendidik, memungkinkan adanya suatu kegiatan pendidikan yang kita sebut “pendidikan karakter.” Inilah yang membuat seorang murid dapat dilihat sebagai potensi. Guru melihat murid sebagai potensi berarti ia menyadari adanya kemungkinan dirinya untuk menyumbangkan pengaruh, ikut ambil bagian, atau membimbing dalam pembentukan dan perkembangan karakter murid.

Batasan dalam Pendidikan Karakter: Jujur dan Terbuka

Dari uraian di atas, kita dapat melihat betapa seorang guru dimungkinkan untuk memengaruhi (mendidik) karakter murid. Namun, Martin Buber juga mengingatkan kita agar tidak menaksir terlalu tinggi sejauh mana pengaruh pendidik dalam perkembangan karakter murid.6 Menurut beliau, jika dibandingkan dengan bidang pendidikan lainnya, pendidikan karakter memiliki batasannya sendiri. Batasan ini muncul dari kenyataan bahwa semua bentuk pendidikan merupakan usaha guru untuk memberikan pengaruh secara sadar (conscious influence) kepada murid. Untuk pendidikan lainnya, hal ini tidak menjadi masalah. Namun, khusus dalam pendidikan karakter, hal ini menjadi batasan yang fundamental.

Dalam bidang pendidikan lainnya, seorang guru dapat mengumumkan tujuan pendidikannya secara terbuka, dan itu tidak akan menghambat proses pendidikan. Namun, dalam pendidikan karakter, ketika murid sadar bahwa guru ingin mendidik karakternya, saat itu juga akan muncul suatu penolakan. Mereka tidak suka jika ada yang ingin mendikte karakter mereka. Penolakan terbesar berasal dari murid yang memiliki karakter paling independen dan mengakar, juga dari mereka yang serius merenungkan pertanyaan tentang yang baik dan yang jahat. Mereka akan memberontak ketika seseorang memberikan arahan, seolah-olah masalah apa yang baik dan jahat sudah lama diselesaikan dan ditemukan jawabannya. Mereka memberontak karena mereka sudah mengalami sendiri betapa sulitnya menemukan jalan yang benar.7

Lantas, apakah ini berarti seorang guru harus tetap diam tentang niatnya untuk mendidik karakter, dan bertindak secara sembunyi-sembunyi? Tidak. Menurut Buber, dunia pendidikan tidak dapat mentolerir “aksi politik” semacam itu.8 Buber menuliskan:

Bahkan jika murid tidak menyadarinya, motif tersembunyi itu akan memiliki efek negatif pada tindakan guru. Motif tersebut akan merampas kekuatan utama guru, yaitu keterusterangan. Hanya dalam keseluruhannya, dan dalam semua spontanitasnya, seorang pendidik dapat benar-benar memengaruhi keseluruhan muridnya. Untuk mendidik karakter, Anda tidak membutuhkan seseorang dengan kejeniusan moral, tetapi Anda membutuhkan seseorang yang sepenuhnya hidup dan mampu berkomunikasi secara langsung dengan sesama. Gairahnya mengalir, dengan kuat dan murni, dan akan memengaruhi justru saat dia tidak berpikir untuk memengaruhi muridnya.9

Dari pernyataan Buber di atas, dapat kita pahami bahwa batasan fundamental pendidikan karakter terletak pada kemampuan guru untuk berkomunikasi secara langsung dengan sesama, dan tidak menyembunyikan motifnya. Seorang guru memang ingin memengaruhi murid dengan sadar. Namun, kesadaran itu justru tidak boleh membawanya untuk menyembunyikan motif. Ketika berhadapan dengan penolakan yang muncul dalam pendidikan karakter, guru berisiko kehilangan kekuatan utamanya, yakni keterusterangan. Hilangnya keterusterangan ini akan membuka jarak antara guru dan murid, dan membuat guru kesulitan untuk dapat berelasi secara langsung dan menyeluruh dengan muridnya.

Akses Menuju Murid: Membangun Kepercayaan

Setelah kita memahami batasan fundamental dalam pendidikan karakter, lantas bagaimana sebenarnya pendidikan karakter ini dapat terwujud? Menurut Buber, dalam perjalanan hidupnya, banyak sekali faktor yang memengaruhi pembentukan karakter seorang murid. Salah satu faktornya adalah kehadiran seorang pendidik, tetapi apa yang secara fundamental membedakan seorang guru dari faktor-faktor lainnya? Perbedaan fundamental ini penting, sebab dari situlah seorang guru bisa menemukan akses untuk mulai memengaruhi karakter muridnya.

Buber menjelaskan, segala yang ada di sekitar murid dapat memengaruhi karakter. Entah itu alam, konteks sosial, bahasa, budaya, sejarah, impian, bahkan berita dan rumor yang beredar di koran, semuanya menyumbang pengaruh dalam pembentukan karakter seorang murid. Semua itu memengaruhi karakter murid dengan membangkitkan pertanyaan, keraguan, perasaan benci, dan penolakan. Buber mengatakan bahwa karakter sebenarnya terbentuk dari interpretasi seseorang terhadap semua faktor-faktor yang beragam dan berlawanan tadi.

Kini kita dapat melihat bahwa seorang guru, dalam usahanya untuk memengaruhi karakter muridnya, hanyalah satu di antara faktor-faktor yang tak terbatas jumlahnya. Jadi, apa sebenarnya yang bisa memungkinkan seorang guru untuk dapat menjadi faktor yang berperan lebih dalam pembentukan karakter muridnya? Menurut Buber, perbedaan fundamental seorang guru dari faktor-faktor lainnya terletak pada kesadaran (consciousness) dan kehendaknya (will). Dari keduanya, seorang pendidik mendapatkan dua hal.

Pertama, kerendahan hati, perasaan bahwa dia hanyalah satu hal di tengah penuhnya kehidupan murid, hanya satu eksistensi di tengah keseluruhan murid. Kedua, kesadaran diri, perasaan bahwa dirinya ada dan menjadi satu-satunya yang ingin memengaruhi keseluruhan diri muridnya. Dengan kehendaknya, seorang guru ikut ambil bagian dalam pembentukan karakter murid, dan dengan kesadarannya muncul rasa tanggung jawab.10

Dari situ, menurut Buber, dapat dilihat bahwa satu-satunya akses menuju murid adalah kepercayaannya (confidence). Ketika kepercayaan murid sudah dimenangkan oleh pendidik, akan terbuka jalan bagi guru untuk mulai memengaruhi murid. Jalan ini terbuka bersamaan dengan hilangnya penolakan murid terhadap didikan gurunya. Kepercayaan ini juga berarti murid mulai menerima guru sebagai seseorang yang bisa dipercaya. Murid melihat usaha gurunya bukanlah bisnis belaka, tetapi ia dengan tulus ingin ikut ambil bagian dalam hidupnya. Dengan begitu, murid mulai berani untuk bertanya.11

Di sinilah, peran pemikiran Buber tentang prinsip dialogis Aku-Engkau dalam pendidikan karakter mulai terlihat jelas. Agar pendidikan karakter itu dimungkinkan terjadi, hubungan yang ada di antara guru dan murid adalah hubungan Aku-Engkau. Seperti yang di awal dikatakan, guru tidak melihat murid hanya dari fungsi-fungsi individualnya saja, melainkan secara keseluruhan. Lalu sebaliknya, kepercayaan pada guru yang tumbuh dalam diri murid, akan membuatnya melihat guru sebagai seseorang.12 Keduanya melihat satu sama lain sebagai suatu Engkau.

Tujuan Pendidikan Karakter: Menjawab Pertanyaan Konkret, Bukan Instruksi Universal

Menurut Martin Buber, guru harus melihat murid secara menyeluruh, dan walaupun terjadi penolakan, guru tidak boleh menyembunyikan motifnya, melainkan harus berterus terang dan berhubungan secara langsung dengan murid. Akses menuju murid akhirnya ditemukan dalam hubungan Aku-Engkau yang diawali dengan kepercayaan dari murid terhadap pendidik. Lantas, apa sebenarnya tujuan dari pendidikan karakter menurut Martin Buber? Untuk menjawabnya, beliau pertama-tama memaparkan apa yang menjadi kesalahan fatal dalam pendidikan karakter, dan apa yang bukan merupakan tujuan pendidikan karakter:

Tetapi sehubungan dengan pendidikan karakter, saya akan bertemu dengan banyak masalah. Saya mencoba menjelaskan kepada murid-murid saya bahwa iri hati itu tercela, dan langsung saya merasakan perlawanan diam-diam dari mereka yang lebih miskin di antara rekan-rekan mereka. Saya mencoba menjelaskan bahwa menindas yang lemah itu jahat, dan langsung saya melihat mereka yang kuat berusaha menyembunyikan senyumannya. Saya mencoba menjelaskan bahwa berbohong itu menghancurkan kehidupan, dan sesuatu yang mengerikan terjadi: pembohong yang paling ulung di kelas menghasilkan esai yang sangat baik tentang kekuatan destruktif tindakan berbohong. Saya telah membuat kesalahan fatal dengan memberikan instruksi dalam etika, dan apa yang saya katakan hanya diterima sebagai koin pengetahuan; tidak ada yang menjadi substansi pembentukan karakter.13

Jadi, kesalahan fatal dalam pendidikan karakter menurut Buber adalah memberikan instruksi. Hal ini juga berkaitan dengan penolakan murid yang sebelumnya sudah dijelaskan. Buber menuliskan:

“Mendikte apa yang baik dan jahat secara umum bukanlah urusan seorang pendidik karakter. Urusannya adalah untuk menjawab pertanyaan konkret, untuk menjawab apa yang benar dan apa yang salah dalam menghadapi situasi tertentu.”14

Maka, tanggung jawab ada di tangan guru untuk memberikan pilihan-pilihan pada seorang murid yang mulai percaya dan berani bertanya kepadanya. Pilihan-pilihan tersebut berkaitan tentang apa yang baik dan benar, dan tentang apa yang seharusnya dilakukan pada situasi tertentu. Akhirnya, seperti yang dikatakan Buber sebelumnya, pendidikan karakter ini hanya bisa terjadi jika ada kepercayaan dari murid. Kepercayaan itu tentunya tidak dimenangkan dengan usaha-usaha sadar sang guru, melainkan dengan partisipasi yang tulus dalam hidup muridnya.

Dengan begitu, juga dapat kita lihat bahwa menurut Buber, dalam pendidikan karakter yang terjadi bukanlah pertama-tama berupa suatu kalimat (saran, perintah, atau pemberitahuan) dari seorang pendidik, melainkan suatu contoh perilaku saat menanggapi suatu masalah. Saat murid bertanya, pendidik tidak bisa memberikan solusi berupa satu perilaku saja. Solusi tersebut hanya mungkin dalam bentuk pilihan-pilihan, karena apa yang dialami murid tidak mungkin sepenuhnya sama dengan apa yang pernah dihadapi pendidik. Akhirnya, pilihan-pilihan yang pendidik berikan pada muridnya itu, juga bukan suatu solusi yang berasal dari konsep universal (satu solusi yang ditarik dari solusi-solusi terhadap masalah lain yang mirip), melainkan harus berasal dari pengalaman konkret sang pendidik.

Catatan-catatan Kritis: Keutuhan dan Kesepakatan dalam Pendidikan

Dengan mengingat kembali perkataan Buber, yakni bahwa “Pendidikan yang layak disebut pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan karakter,” dapat kita pahami betapa Buber menganggap pendidikan karakter merupakan bentuk pendidikan yang paling penting untuk dilaksanakan. Tidak hanya berhenti pada pernyataan saja, tetapi akhirnya beliau berhasil menjelaskan bagaimana pendidikan karakter itu mungkin dilaksanakan, bagaimana seharusnya ia dilaksanakan, dan apa sebenarnya tujuannya. Akan tetapi, sama seperti pemikiran tentang apa dan oleh siapa saja, pemikiran Buber ini juga perlu kita hadapi secara kritis. Catatan-catatan kritis ini perlu diberikan, mengingat pendidikan karakter di Indonesia sekarang ini juga sedang hangat dibicarakan.

Yang pertama, Buber kurang memperhatikan bagaimana peran orang tua atau lingkungan keluarga dalam pendidikan karakter anak. Mungkin untuk menyangkal kritik ini, bisa dikatakan bahwa ‘pendidik’ atau ‘guru’ yang dimaksud Buber tidak hanya terbatas pada suatu profesi, melainkan merupakan sebutan universal untuk siapa pun yang ingin ikut ambil bagian dalam pembentukan karakter anak. Dengan begitu, sebenarnya Buber sudah memperhatikan peran orang tua, walaupun tidak secara langsung disebutkan kata ‘orang tua’. Namun, dari situ dapat muncul suatu masalah, yaitu: bagaimana jika apa yang diajarkan oleh satu pendidik, berbeda dengan pendidik lainnya?

Pertanyaan itu sebenarnya ingin menegaskan bahwa, Martin Buber dalam pemikirannya tentang pendidikan karakter, tidak atau kurang memperhatikan adanya kesepakatan antar pendidik. Keluarga merupakan pihak penting yang ikut ambil bagian dalam pendidikan maupun pembentukan karakter anak. Namun, seperti yang sudah disebutkan, pendidikan oleh guru di sekolah dengan orang tua di rumah belum tentu sama. Jika ternyata dalam suatu kasus tertentu, didapati apa yang diajarkan orang tua malah bertolak belakang dengan apa yang diajarkan guru, maka pendidikan karakter itu akan sia-sia, atau setidaknya berjalan dengan tidak baik. Buber sendiri mengakui bahwa semua hal dapat memengaruhi karakter anak, dan itulah yang membuat unsur kesepakatan menjadi vital dalam pendidikan karakter. Sebab jika di antara pendidik (antara guru dengan guru lainnya, atau antara ayah dengan ibunya), yang menurut Buber merupakan faktor terpenting dalam pembentukan karakter, ternyata tidak ditemukan sebuah kesepakatan, maka pendidikan karakter sebagaimana yang dipikirkan Buber tidak mungkin, atau setidaknya sangat sulit untuk dilaksanakan.

Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan mengenai karakter yang mana atau karakter seperti apa, yang para pendidik ingin tanamkan dalam diri murid. Berbagai institusi pendidikan tentunya memiliki penekanan masing-masing terhadap karakter seperti apa yang ingin diajarkan, dan itu tidaklah salah. Namun, kembali harus diingat, bahwa dalam usaha memengaruhi karakter anak, harus ada kesepakatan mengenai karakter mana yang ingin diutamakan. Entah karakter yang seperti apa, tentunya yang diharapkan adalah suatu karakter yang baik secara moral—karakter yang dianggap baik oleh seluruh umat manusia.

Kesepakatan yang dibahas di atas merupakan kesepakatan antar pendidik, yaitu faktor-faktor yang seperti Buber katakan, menyumbang peran lebih atas pembentukan karakter karena memiliki kesadaran dan keinginan. Namun, kesepakatan ini tidak hanya terbatas pada pendidik-pendidik sadar saja. Agar pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik, juga diperlukan kesepakatan antara karakter apa yang diajarkan, dengan lingkungan di mana anak berada. Jika lingkungan yang mendukung pendidikan karakter hanya ada di sekolah, maka akan muncul masalah yang sama: ada kemungkinan ia akan pulang menuju lingkungan di mana ia mendapat pendidikan karakter yang sama sekali bertolak belakang dengan harapan sekolah. Hal itu berarti, dalam proses pendidikan karakter, anak perlu dilindungi dari faktor-faktor lain selain pendidik. Lingkungan anak di luar sekolah juga harus dikondisikan menjadi lingkungan yang kondusif agar mendukung berlangsungnya pendidikan karakter.

Daftar Pustaka

  • Martin Buber, Between Man and Man, trans. R. G. Smith, (New York: Routledge, 2002).

  • K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris–Jerman. (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2002).

Catatan Akhir

Tulisan ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Filsafat Yahudi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.


  1. K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris–Jerman. (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2002) Hlm. 124 

  2. Martin Buber (auth.) & R. G. Smith (trans.), Between Man and Man. (New York: Routledge, 2002) Hlm. 123 

  3. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 133 

  4. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 123 

  5. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 123 

  6. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 124 

  7. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 125 

  8. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 125 

  9. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 125 

  10. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 126 

  11. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 126 

  12. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 126 

  13. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 124 (terjemahan penulis) 

  14. Martin Buber, Between Man and Man, Hlm. 127 (terjemahan penulis)