aaron-pm

Analisis Pascakolonial Pergulatan Eksistensi, Identitas, dan Rekognisi Agama Kaharingan

Pendahuluan

Latar Belakang Penelitian

Di masa kolonialisme Belanda, agama pribumi Kaharingan dari Kalimantan Tengah ini mendapat sebutan Helo (dahulu), atau Hiden (heathens, para kafir), dan baru di era kependudukan Jepang, seorang Demang (kepala adat Dayak) bernama Johanes Salilah, memberikan nama khas agama ‘Kaharingan.’ Akan tetapi, di era Orde Baru (1970-an), Kaharingan dipahami oleh masyarakat Indonesia dan Kalimantan sendiri sebagai salah satu anak suku atau turunan dari suku Dayak, dan menyebutnya sebagai Dayak Kaharingan. Pemahaman ini merupakan suatu kemunduran karena menghilangkan dimensi penting dari Kaharingan, yaitu dimensi keagamaan. Kaharingan hanya dilihat sebagai suatu gugus etnis saja, dan bukan sebagai kelompok keagamaan. Hal ini menjadi awal dari perjuangan eksistensi umat Kaharingan. Karena tidak diakui sebagai agama, mereka mengalami berbagai kesulitan dan ketidakadilan dari segi pekerjaan, pendidikan, sosial, dan politik (Baier 2007:174; Etika 2019:3; Klinken 2006:32).

Faktor legalitas, tekanan sosial berupa diskriminasi, maraknya politik keagamaan, serta dorongan internal Kaharingan membawa mereka untuk bertemu dengan tokoh-tokoh agama Hindu dari Bali. Pertemuan yang dikoordinasikan oleh Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI) tersebut menghasilkan surat permohonan untuk bergabung atau berintegrasi dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan supaya agama Kaharingan dapat bergabung dengan Hindu Dharma. Permohonan tersebut disambut baik oleh PHDI. Pada tanggal 20 Februari 1980, Gubernur Kalimantan Tengah atas persetujuan Departemen Agama mensahkan integrasi Kaharingan dengan agama Hindu. Mulai saat itu, Kaharingan disebut sebagai Hindu Kaharingan (Etika 2019:4).

Akan tetapi, persatuan Kaharingan ke dalam Hindu tidaklah mudah, dan tidak dengan beberapa kehilangan. Seorang tokoh Kaharingan berpendidikan bernama Tjilik Riwut, harus berkelit untuk membahasakan atau menafsir ulang beberapa ajaran lisan Kaharingan sehingga tidak dianggap bertentangan dengan sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan juga supaya dapat diterima dalam naungan agama Hindu (Baier 2007:175; Herrmans 2017:4). Usaha Tjilik Riwut itulah yang membuat Kaharingan berhasil berintegrasi dengan Hindu, dan itu demi melepaskan umat Kaharingan dari tekanan sosial dan berbagai ketidakadilan. Namun ironisnya, sekarang Kaharingan justru kesulitan untuk merumuskan identitasnya sebagai agama yang independen dari Hindu. Hal ini juga diperparah dengan tidak adanya lektur (bahan bacaan, tulisan, pustaka) keagamaan Kaharingan seperti buku tafsir, kitab, dan tulisan keagamaan lainnya. Bahkan Kitab Suci Panaturan (ajaran leluhur) dan Talatah Basarah (tata cara beribadat) yang menjadi panutan Hindu Kaharingan baru dibukukan setelah mereka bergabung dengan Hindu (Sugiyarto 2016:106–9). Selain itu, masih ada masalah lain seperti banyaknya para pengikut Kaharingan yang berpindah ke agama Kristiani (Gepu 2018:25; Steenbrink dan Aritonang 2008:495).

Sampai sekarang, perjuangan atas rekognisi Kaharingan sebagai agama independen belum berhasil. Perjuangan untuk merumuskan identitas diri itu salah satunya dilakukan oleh Lemanius dengan menulis ulang kitab suci Kaharingan versi suku Luangan (penulisan kitab suci sebelumnya didominasi oleh umat Kaharingan dari suku Ngaju). Lemanius sendiri merupakan pengikut agama Kristiani selama 13 tahun sebelum kembali ke Kaharingan. Hal itu membuat pengaruh ajaran Kristiani dapat terlihat dalam tafsirannya atas agama Kaharingan. Lemanius meninggal pada tahun 2013 silam. Selain Lemanius, masih ada tokoh-tokoh perjuangan identitas Kaharingan, seperti Ma Pote, seorang dukun (shaman) yang menggabungkan unsur-unsur Kaharingan, Hinduisme, dan simbol legalitas pemerintah Indonesia (sertifikat) dalam upacara pernikahannya, dan juga Tak Dinas, seorang dukun perempuan yang merupakan dukun penyembuh dari suku Luangan. Ia mengklaim diri sebagai titisan arwah leluhur, dan dalam ritual penyembuhannya, ia menari dan membacakan mantra-mantra. Namun, berbeda dengan upacara penyembuhan Kaharingan lainnya, upacara penyembuhan versi Tak Dinas menggunakan mantra dalam Bahasa Indonesia. Mantra tersebut dan kekuatan penyembuh Tak Dinas didapat setelah ia kesurupan di umur 14 tahun (Herrmans 2004:50–51).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pergulatan identitas agama Kaharingan tersebut, termasuk di dalamnya suatu sejarah pergulatan eksistensi, perjuangan keadilan, identitas, dan rekognisi, tokoh-tokoh kunci, strategi-strategi resistensi, dan juga hubungan Kaharingan dengan komunitas di sekitarnya. Konsep-konsep pascakolonial akan digunakan sebagai alat untuk merangkai data, narasi, dan kejadian seputar perjuangan umat agama Kaharingan, sehingga suara perjuangan Kaharingan dapat didengar. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu studi pustaka dari sumber buku-buku, dan artikel-atikel jurnal yang relevan.

Pergulatan Eksistensi Agama Kaharingan

Masa Kolonialisme Belanda dan Kependudukan Jepang

Sedikit yang tahu bahwa umat Kaharingan merupakan komunitas yang paling berperan dalam pendirian Provinsi Kalimantan Tengah. Dengan masa lalu yang penting itu, sangat disayangkan bahwa sampai sekarang umat Kaharingan masih jauh dari kesejahteraan. Perhatian pemerintah pusat yang minim membuat umat Kaharingan makin terasing di rumahnya sendiri. Semasa pemerintahan kolonial Belanda, umat pengikut agama Kaharingan mendapat sebutan hiden (heathens, para kafir). Dengan misi Zending atau Kristenisasinya, Belanda menjalankan berbagai taktik penghapusan, salah satunya dengan menabukan ritual-ritual keagamaan Kaharingan. Inilah krisis eksistensi Kaharingan yang pertama, suatu tekanan eksternal gelombang Kristenisasi (Etika 2019:2).

Belanda melihat Kaharingan sebagai sebagai penyembah berhala atau pagan. Namun sesungguhnya, pemerintah Belanda tidak mengetahui apa pun tentang Kaharingan. Cara Belanda melihat apa itu Kaharingan yang sebenarnya telah terdistorsi oleh otoritas dan kekuatan yang mereka punya. Dengan begitu, masalahnya lebih dari semangat teologis misi Zending, dan sudah masuk ke ranah epistemologis cara pandang Belanda terhadap the Other. Belanda datang, dan membawa bersamanya suatu cara berpikir Eropa, yang oleh Edward Said disebut sebagai Orientalisme. Dasar dari Orientalisme adalah pembedaan ontologis antara the Occident dan the Orient, atau ‘Barat’ dan ‘Timur.’ The Occident menghadapi the Orient dengan ‘membuat pernyataan-pernyataan, merumuskan pandangan, mendeskripsikan, mengajar, menetapkan, dan menguasainya’ (Ashcroft dkk. 2013:184), dalam kata lain, ada suatu perumusan identitas yang sepihak.

Dalam konteks ini, sudah jelas bahwa the Occident adalah pihak Belanda dan the Orient adalah pihak Kaharingan. Namun, jika mempertimbangkan situasi politik ekspansi kekuasaan Belanda, perumusan identitas yang seperti itu dapat dipertanyakan keobjektivitasannya. Itu karena, cara pandang mereka dapat terdistorsi oleh tujuan non-akademis dan kepentingan imperialis. Nyata saja, rumusan Belanda tentang budaya dan keagamaan Kaharingan sebagai ‘kafir, penyembah berhala, dan pemuja jinn,’ akhirnya menjadi justifikasi atau pembenaran untuk menguasai wilayah dan mengkonversi umat Kaharingan menjadi Kristen (Gepu 2018:26).

Terlepas dari distorsi epistemologis eksternal Belanda di atas, ternyata dalam kasus pergulatan identitas agama Kaharingan ada juga kendala epistemologis internal. Kendala itu adalah minimnya pemahaman para umat Kaharingan atas ajaran agamanya sendiri. Penelitian mendalam di Kalimantan Tengah tidak dapat menemukan lektur keagamaan Kaharingan seperti teks tuntunan beragama, tafsir-tafsir ajaran, atau kitab suci di masa kekuasaan Belanda1 (Sugiyarto 2016:106). Kurangnya pengetahuan dan pemahaman atas ajaran agamanya sendiri membuat umat Kaharingan sulit melakukan pertahanan apologetik saat berhadapan dengan agama Kristiani. Sehingga, umat Kaharingan relatif mudah untuk berpindah ke agama Kristen yang rumusan ajarannya jauh lebih matang. (Gepu 2018:27).

Kaharingan baru mendapatkan pengakuan sebagai agama di masa kependudukan Jepang. Bersamaan dengan kependudukan Jepang, dijalankan kebijakan untuk menghapus segala jejak-jejak kolonialisme. Sehingga, untuk pertama kalinya agama lokal diakui setara dengan ‘agama-agama dunia’ (Baier 2007:172). Bahkan, nama Kaharingan sendiri ditetapkan di masa kependudukan Jepang. Nama itu diusulkan oleh seorang Demang (kepala adat Dayak) bernama Yohanes Salilah. Yohanes merupakan seorang perawat medis di masa kolonialisme Belanda. Waktu itu ia masih beragama Kristen, dan bertugas di salah satu rumah sakit Misionaris di Kuala Kapuas. Di masa kependudukan Jepang, ia beralih menjadi Kaharingan, menjadi seorang animis dan menjalankan praktik dukun. Di tahun 1945, pihak Jepang meminta Yohanes untuk segera mendeklarasikan apa nama agama yang ia hayati tersebut. Dengan spontan Yohanes memilih nama ‘Kaharingan.’ Secara etimologis, kata ‘Kaharingan’ diambil dari bahasa Sangen atau Sangian (bahasa yang hanya digunakan dalam tuturan mantra ritual Kaharingan), khususnya konsep “haring,” yang artinya “berada sendiri, tanpa pengaruh asing.”2 Nama tersebut kemudian menyebar ke seluruh Kalimantan di tahun-tahun berikutnya (Ugang 1983:10–12 dikutip dari Baier 2007:173; Etika 2019:1).

Pascakemerdekaan Indonesia

Pengakuan sebagai agama yang Kaharingan dapatkan ternyata tidak dapat dipertahankan di masa Pascakemerdekaan Indonesia. Kalau boleh dikatakan, kemerdekaan tahun 1945 tidak dirasakan oleh umat Kaharingan waktu itu. Walaupun ritual-ritual agama Kaharingan dapat dilaksanakan, Departemen Agama Republik Indonesia belum mengakui Kaharingan sebagai agama (Etika 2019:1). Dalam hal ini, sikap pemerintah Indonesia terhadap agama Kaharingan merupakan sebuah kemunduran dari masa kependudukan Jepang. Sambil mengingat-ingat kemajuan di masa kependudukan Jepang, tahun 1950 umat Kaharingan mengadakan suatu kongres besar di dekat Palangka Raya. Adapun hasil Kongres Kaharingan I sebagai berikut: (1) Kaharingan’ disepakati sebagai nama resmi keimanan mereka; (2) Menuntut Kalimantan Tengah untuk lepas dari Kalimantan Selatan (ketika itu Kalteng dan Kalsel masih satu provinsi) sebelum Pemilu 1955. Namun, tuntutan tersebut baru dikabulkan pada 5 Desember 1956, dengan UU Darurat No. 10 Tahun 1957, pasca Gerakan Mandau Talawang Pancasila (GMTPS); (3) Didirikannya partai politik Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) (Baier 2007:173; Etika 2019:2). Dengan berdirinya partai politik tersebut, dimulailah pergulatan identitas dan rekognisi agama Kaharingan di bawah pemerintahan NKRI.

Pergulatan Identitas dan Rekognisi Agama Kaharingan

Masa Orde Baru Sampai Integrasi Dengan Hinduisme

Masa kolonialisme Belanda dan kependudukan Jepang sudah berakhir, dan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan tanggal lahirnya suatu entitas politik modern yang merdeka yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. NKRI yang menggunakan Pancasila sebagai ideologi negaranya itu, ternyata masih belum dapat mengakui Kaharingan sebagai agama. Masalahnya ada pada sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, ditambah dengan Kebijakan masa Orde Baru (tahun 1966 sampai 1998) yang mewajibkan semua warga negara Indonesia untuk masuk ke dalam lima kelompok agama yang diakui pemerintah, yaitu Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddhisme (Baier 2007:173–75). Agama Kaharingan yang dianggap tidak sejalan dengan sila pertama Pancasila (karena dianggap mengakui beberapa ‘Tuhan’ dan ‘spirits’) tentunya tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut.

Masalah ini sudah disadari oleh Tjilik Riwut (seseorang yang nantinya di tahun 1957 menjadi gubernur pertama provinsi Kalimantan Tengah), sejak tahun 1953. Tjilik Riwut dulunya merupakan umat Kristen dari suku Dayak Ngaju. Di masa kependudukan Jepang, ia beralih ke agama Kaharingan dan menjadi pejuang militer (Herrmans 2017:4). Dalam buku Agama Kaharingan (1953) yang ia terbitkan secara lokal, dituliskan bahwa agama Kaharingan mengakui ‘Tuhan’ yang satu, yaitu Ranying. Lengkapnya adalah ‘Ranying Hatalla Langit,’ dan Ia merupakan Tuhan Pencipta (creator-God) dalam agama Kaharingan. Riwut menjelaskan bahwa Ranying menempati langit tingkat ketujuh bersama dengan para ‘malaikat,’ ‘Dewa-dewa,’ dan para ‘Sangiang.’ Dewa merupakan turunan kata dari Hinduisme, dan tidak merujuk pada Tuhan tertinggi yang satu (supreme God), sementara Sangiang merupakan para leluhur yang di-Dewa-kan (juga masih di bawah Ranying). Inilah usaha pertama kalinya perumusan ajaran Kaharingan, yang sedemikian rupa sehingga ‘Tuhan’ yang dipahami terlihat mirip dengan konsep Ketuhanan dalam agama Islam dan Kristiani. (Baier 2007:173–74).

Akan tetapi, hal itu rupanya belum cukup untuk memenuhi empat tuntutan pemerintah Indonesia, yaitu: (1) Kepercayaan mereka harus mengakui Tuhan yang satu; (2) Memiliki kitab suci dan tulisan keagamaan; (3) Memiliki gedung atau tempat khusus untuk menjalankan ibadah; (4) Ada tanggal-tanggal perayaan agama yang tetap untuk setiap tahun. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, Tjilik Riwut beserta komite pemimpin Kaharingan seluruh Indonesia meneruskan usahanya dengan merumuskan beberapa adaptasi dalam penjelasannya atas agama Kaharingan (Baier 2007:175–77):

  1. Untuk memenuhi tuntutan pertama, Ranying Hatalla Langit, sang Tuhan Pencipta, dideklarasikan sebagai yang paling suci, paling tinggi derajatnya, maha tahu, misterius, dan kekal. Ia mirip dengan Trimurti dalam Hindu, yang merupakan pencipta, pendukung, sekaligus penghancur segala bentuk kehidupan. Semua Dewa, roh-roh, dan Sangiang diturunkan derajatnya sebagai bentuk manifestasi sang Ranying. Jika dibandingkan dengan Islam, Ranying sama dengan Allah yang kekal dan tidak dapat dijelaskan secara penuh oleh manusia. Ia juga menyelipkan sifat ‘maha pengasih,’ yang walaupun tidak secara eksplisit, mungkin menggunakan model ketuhanan Kristiani.
  2. Untuk memenuhi tuntutan kedua, dilaksanakan usaha untuk membukukan kitab suci. Semasa kolonialisme Belanda dan kependudukan Jepang, peneliti dari Belanda, yaitu Mallinckrodt, dan seorang teolog dari Swiss, yaitu Schaerer melihat bahwa mitos-mitos penciptaan, genealogi dewa-dewa, dan roh-roh para leluhur merupakan sangatlah penting dalam kehidupan umat Kaharingan. Karena itu, keduanya berusaha menafsir dan mengkompilasikan mitos-mitos tersebut bersama dengan ahli ritual dari Ngaju. Tulisan-tulisan itulah yang menjadi pedoman, dan mulai tahun 1973, dimulai usaha untuk mengumpulkan dengan melakukan adaptasi-adaptasi baru. Akhirnya pada tahun 1996, di Palangka Raya, suatu komite pemimpin yang mewakili semua umat Kaharingan mensahkan kitab suci Panaturan. Versi final mitos Kaharingan itu mengandung di dalamnya tambahan dan perubahan yang dipengaruhi ajaran Islam dan Kristiani dengan sangat jelas. Misalkan saja tambahan teks tentang adanya ‘pembangunan menara dan terpecahnya bahasa yang membuat kebingungan.’ Ini tentunya sama seperti apa yang ada dalam ‘al-Quran dan Alkitab (Kejadian 11). Referensi ini tidak ditemukan di tulisan-tulisan mitos sebelumnya.
  3. Tuntutan ketiga dapat dikatakan sudah setengah terpenuhi. Sebelum tahun 1970-an, tidak ada ‘gedung’ yang digunakan oleh Kaharingan untuk melaksanakan upacaranya. Yang ada hanya suatu ‘balai’ yang khusus untuk melaksanakan upacara-upacara penguburan. Tempat ibadah yang berupa gedung pertama didirikan sekitar tahun 1977 di Palangka Raya dengan bantuan subsidi pemerintah. Gedung itu disebut Balai Basarah, dan menjadi tempat perayaan hari-hari raya.
  4. Untuk memenuhi tuntutan keempat, tanggal-tanggal perayaan agama Kaharingan ditetapkan. Yang pertama adalah ‘hari raya panen,’ yang dilakukan setelah panen besar di bulan Mei. Yang kedua adalah ‘hari raya kebudayaan’ untuk merayakan pengetahuan dan budaya Kaharingan, dan ditujukan kepada Bawi Ayah (Dewa yang mirip dengan Dewi Saraswati pada Hindu Bali). Yang ketiga adalah ‘hari raya’ untuk merayakan segala berkat yang telah diterima sepanjang tahun. Dalam praktiknya, umat diwajibkan untuk tidak bekerja sama sekali. Hari raya ini merupakan pengaruh dari upacara Nyepi di Bali.

Menanggapi tuntutan masyarakat kepercayaan, yang tentunya termasuk Kaharingan, pada tahun 1979 pemerintah melalui Mendagri (Jendral Amir Machmud) mengeluarkan kebijakan yang menyatakan bahwa untuk kolom agama di KTP bagi yang bukan beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau Buddha, dibuat tanda strip “-” yang berarti penganut aliran kepercayaan. Tentunya hal ini tidak cukup untuk umat Kaharingan. Merasa adanya ketidakadilan, terjadi gejolak misalnya pengibaran Bendera Putih, sebagai tanda Kaharingan telah berakhir. Tidak diakuinya Kaharingan sebagai agama membuat banyak umat kesulitan. Harkat dan martabat selaku anak bangsa dan manusia merdeka dari penjajahan dan penindasan terhambat. Perkembangan sumber daya manusia (SDM) semakin jauh tertinggal karena tidak diperhatikan pemerintah di bidang pendidikan. Pengkaderan politik melalui program pemerintah tidak pernah menyentuh umat Kaharingan, sehingga umat Kaharingan tidak memiliki suara dalam urusan politik. Berbagai tekanan dan ketidakadilan yang dialami membuat Kaharingan tidak mampu bersaing dalam segala lini kehidupan (Etika 2019:2).

Semua tekanan eksternal tersebut serta dorongan internal dari umat Kaharingan sendiri, membawa mereka untuk bertemu dengan tokoh-tokoh agama Hindu dari Bali. Pertemuan antara tokoh-tokoh Kaharingan dan tokoh-tokoh Hindu Bali tersebut dikoordinasikan oleh Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI). Mereka bersatu-padu menegakkan persatuan untuk mencari solusi mempertahankan eksistensi umat Kaharingan. Hasil pertemuan tersebut menghasilkan surat permohonan untuk bergabung atau berintegrasi dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan supaya agama Kaharingan dapat bergabung dengan Hindu Dharma. Permohonan tersebut disambut baik oleh PHDI pusat di Denpasar. Pada tanggal 20 Februari 1980, Gubernur Kalimantan Tengah atas persetujuan Departemen Agama mensahkan integrasi Kaharingan dengan agama Hindu. Pada tanggal 19 Maret 1980, dilaksanakan pengukuhan Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan sebagai pengganti MBAUKI. Mulai saat itu, Kaharingan disebut sebagai Hindu Kaharingan. (Baier 2007; Etika 2019:173; Steenbrink dan Aritonang 2008:497).

Polemik Politisasi Agama sampai Tuntutan Lepas dari Hindu

Memasuki tahun 2000-an, 20 tahun pasca integrasi Kaharingan ke dalam agama Hindu, perkembangan umat penganut Kaharingan semakin hari semakin membaik. Secara statistik, penganut umat Kaharingan di Kalimantan Tengah telah mencapai 600.000 orang, dan menempati peringkat ketiga setelah penganut Islam dan Kristen. Umat Kaharingan mulai masuk ke bidang politik, ada yang menjadi Bupati, anggota KPU Daerah Tingkat I dan Tingkat II, bahkan ada yang menjadi Anggota Legislatif dan duduk di DPRD II dan DPRD I. Di bidang pendidikan sudah banyak yang menempuh pendidikan Sarjana Strata Satu (S1), S2, bahkan sampai Doktor (S3). Di bidang sosial religius Kaharingan sekarang tidak perlu mengurus izin pemerintah yang berbelit-belit karena sudah diakomodasi sebagai bagian agama Hindu. Masih banyak lagi perkembangan-perkembangan lainnya seperti di bidang ekonomi dan kebudayaan (Etika 2019:6). Secara keseluruhan, Hinduisme di Kalimantan sangatlah sedikit. Di Kalimantan Barat hanya 0.21%, Kaltim 0.27%, dan Kalsel 0.46%. Akan tetapi, di Kalimantan Tengah mencapai angka yang relatif tinggi, yaitu mencapai 7.87% (Steenbrink dan Aritonang 2008:496).

Terlena dengan ruang gerak yang baru, pengakuan sebagai Hindu Kaharingan semakin marak dimanfaatkan oleh segelintir orang sebagai ajang mencari popularitas politik. Bapak Lewis KDR, misalnya, sebagai salah satu pemprakarsa integrasi kepercayaan Kaharingan ke dalam Agama Hindu, mendapatkan jabatan sebagai Ketua Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK). Sekarang ia dianggap lupa dengan berbagai pembenahan dan perkembangan ajaran Kaharingan yang diperjuangkan di tahun 1980 hingga 1999-an, sehingga pembinaan ajaran kepada umat tidak ada peningkatan yang signifikan. Gesekan internal mendorong diadakannya Musyawarah Luar Biasa, yang mengangkat Dimal D. Daya sebagai Ketua Umum, dan Sambewei sebagai Sekretaris Umum untuk Periode 1999 sampai 2004. Namun, kepengurusan mereka tidak diakui oleh Lewis, sehingga terdapat dualisme kepengurusan yang membingungkan di dalam tubuh MBAHK (Etika 2019:7).

Pada tahun 2000, MBAHK versi kepengurusan Lewis KDR memanfaatkan momentum situasi ini dan mengajukan tuntutan supaya Kaharingan dapat diakui sebagai agama tersendiri. Artinya, terpisah dari agama Hindu. Tanggal 1 Mei 2000, mereka mengeluarkan sebuah piagam bernama “Piagam Palangka Raya 2000,” yang isinya ialah mempertegas pilihan untuk melepaskan diri sebagai agama Kaharingan yang independen dari Hindu. Pada tanggal 26 April 2003, kepengurusan selanjutnya yang dipimpin oleh Drs. Rangkap I. Nau, MM, melanjutkan dengan mengajukan tuntutan kepada Presiden dan Menteri Agama Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawar. Masalah yang dijadikan latar belakang adalah adanya diskriminasi terhadap umat Hindu Kaharingan, yang membuat macetnya pendanaan APBN untuk Hindu Kaharingan. Mereka menuntut agar ada payung hukum yang kokoh bagi umat Kaharingan di Departemen Agama RI, dalam bentuk Ditjen Bimas Agama Kaharingan (Etika 2019:8).

Gelombang tuntutan pengakuan sebagai agama yang independen tidak hanya memegang diskriminasi sebagai legitimasi satu-satunya. Karena ternyata, umat-umat yang walaupun sudah secara legal masuk ke dalam ‘Hindu Kaharingan,’ ada banyak yang masih mempraktikkan keagamaan ‘Kaharingan,’ atau sering disebut ‘Kaharingan Lama’ (The Old Kaharingan). Misalnya saja di satu rumah diadakan pertemuan Hindu Kaharingan, ada juga yang melakukan ritual penyembuhan belian (ritual penyembuhan Kaharingan) di rumah lainnya. Jika ditanya, mereka yang sedang melaksanakan ritual penyembuhan itu akan mengatakan bahwa mereka sedang mempraktikkan ajaran Kaharingan, sementara yang di rumah lain sedang ada pertemuan Hindu Kaharingan. Begitu juga sebaliknya (Herrmans 2017:8).

Pada tahun 1996, ada juga guncangan besar dalam komunitas Kaharingan yang datang dari seorang ahli ritual dari suku Luangan, yaitu Lemanius. Ia mengatakan telah diperintahkan dalam mimpi oleh seseorang yang berbaju putih dan kuning untuk menuliskan kitab suci sebagai pelengkap kitab yang sudah ada. Menurut Lemanius sendiri, kitab suci Panaturan yang dibukukan oleh Tjilik Riwut dkk., tidak lengkap dan terlalu bias ke adat-adat suku Ngaju. Ia kemudian belajar untuk membaca dan menulis dari cucu-cucunya, dan menulis ulang kitab suci Kaharingan versi suku Luangan. Perlu diketahui bahwa Lemanius sendiri merupakan pengikut agama Kristiani selama 13 tahun sebelum kembali ke Kaharingan. Hal itu membuat pengaruh ajaran Kristiani dapat terlihat dalam tafsirannya atas agama Kaharingan. Sayangnya, ketika ia meninggal di tahun 2013, bukunya menghilang. Beberapa orang menduga bahwa buku itu ikut dikuburkan bersamanya, tetapi ada juga yang mengatakan seorang ahli ritual menyembunyikannya di suatu tempat.

Selain Lemanius, masih ada tokoh-tokoh perjuangan identitas Kaharingan, seperti Ma Pote, seorang dukun (shaman) yang menggabungkan unsur-unsur agama Kaharingan, Hindu Kaharingan, dan legalitas pemerintah Indonesia (sertifikat) dalam upacara pernikahannya. Di satu upacara pernikahan tahun 2014, ia juga memakai bergantian antara topi adat Bali dan ikat kepala tradisional laung. Saat pemberkatan, bukan hanya semangkuk dupa, pedang, dan daun-daunan yang diangkat ke atas kepala pasangan, tetapi juga map plastik berisi sertifikat pernikahan. Di tempat lain ada juga Tak Dinas, seorang dukun perempuan yang merupakan dukun penyembuh dari suku Luangan. Ia mengklaim diri sebagai titisan arwah leluhur, dan dalam ritual penyembuhannya, ia menari dan membacakan mantra-mantra. Namun, berbeda dengan upacara penyembuhan Kaharingan lainnya, upacara penyembuhan versi Tak Dinas menggunakan mantra dalam Bahasa Indonesia. Mantra tersebut dan kekuatan penyembuh Tak Dinas didapat setelah ia kesurupan di umur 14 tahun (Herrmans 2004:50–51, 2017:8–11).

Penutup dan Kesimpulan

Demikianlah perjalanan pergulatan eksistensi dan identitas agama Kaharingan, yang masih berlangsung sampai sekarang. Sejarah awal Kaharingan saat berada di bawah kekuasaan Belanda dan Jepang menunjukkan suatu dominasi epistemologis sepihak Orientalisme Barat. Pihak Jepang maupun Belanda sama-sama menganggap Kaharingan sebagai kafir atau yang perlu diberikan pendidikan lebih. Bagi pihak Belanda yang beragama Kristiani, Kaharingan menjadi target misionaris atau Kristenisasi. Di masa kependudukan Jepang, ada kemajuan dalam bentuk pengakuan sebagai agama. Namun, pascakemerdekaan Indonesia, Kaharingan merupakan subaltern yang ditekan oleh entitas politik modern yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpegang pada ideologi Pancasila. Untuk lepas dari tekanan dan ketidakadilan, di masa Orde Baru 1970-an, mereka terpaksa berpayung di bawah agama Hindu. Itu adalah bentuk resistensi Kaharingan, mereka melakukan hibriditas dan mimikri terhadap komunitas tradisi keagamaan Hindu, Islam, dan Kristen. Tokoh-tokoh seperti Tjilik Riwut, Lemanius, Ma Pote, dan Tak Dinas juga terus mendorong dari sisi otoritas legal pemerintah dengan bentuk tuntutan-tuntutan dan integrasi bahasa serta simbol-simbol dalam upacara keagamaan Kaharingan.

Sekarang, mereka ingin menjadi Kaharingan yang independen. Mereka berjuang mendapatkan rekognisi atas identitas dirinya sebagai agama yang independen dan tidak mau lebur dalam payung Hinduisme yang mereka gunakan saat ditekan oleh ketidakadilan masa Orde Baru. Mereka telah menunjukkan daya dan meneriakkan suaranya sejak masa kolonialisme Belanda. Di hadapan NKRI yang modern mereka beradaptasi terhadap tuntutan-tuntutan pemerintah, sama seperti agama-agama dunia lainnya di dunia. Dengan panjangnya sejarah perjuangan mereka di tanah air, Kaharingan layak diakui dan direkognisi sebagai suatu agama yang independen.

Daftar Pustaka

Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin. 2013. Postcolonial Studies: The Key Concepts. Third edition. London ; New York: Routledge, Taylor & Francis Group.

Baier, Martin. 2007. “The Development of a New Religion in Kalimantan, Central Borneo.” Asian Anthropology 6(1):169–82.

Etika, Tiwi. 2019. “Perjuangan Kritis Agama Kaharingan di Indonesia.” Jurnal Studi Kultural 4(1):1–12.

Gepu, Wayan. 2018. “Religious conversion towards Hindu Kaharingan to Christianity.” International Journal of Linguistics, Literature, and Culture.

Herrmans, Isabell. 2004. “Representing Unpredictability: an Analysis of a Curing Ritual Among The East Kalimantan Luangan.” Journal of Ritual Studies 18(1):50–61.

Herrmans, Isabell. 2017. “Genre Diversification: Orthodoxy and Innovation in an Indonesian Minority Religion.” Indonesia and the Malay World 45(131):24–43.

Hiddleston, Jane. 2009. Understanding Postcolonialism. Stocksfield: Acumen.

Klinken, Gerry Van. 2006. “Colonizing Borneo: state-building and ethnicity in Central Kalimantan.” Indonesia (81):23–49.

Schiller, Anne. 1996. “An ‘old’ religion in ‘new order’ Indonesia: Notes on ethnicity and religious affiliation.” Sociology of Religion 57(4):409–417.

Steenbrink, Karel A. dan Jan Sihar Aritonang, ed. 2008. A history of Christianity in Indonesia. Leiden-Boston: Brill.

Sugiyarto, Wakhid. 2016. “Eksistensi Agama Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah.” Harmoni 15(3):102–116.

Catatan Akhir

Tulisan ini dibuat sebagai Tugas Akhir Semester mata kuliah Agama-agama Lokal di Indonesia


  1. Kitab Suci Kaharingan yang sekarang dipakai, yaitu Panaturan baru dibukukan sekitar tahun 1970-an. Penjelasan lebih lengkap tentang latar belakang pembukuan kitab ini akan dibahas di bagian pergulatan eksistensi dan identitas Kaharingan di masa Orde Baru. 

  2. Hindu Kaharingan yang sekarang mengartikan Kaharingan sebagai “kehidupan, sumber kehidupan yang berakar dari Tuhan” (Baier 2007:173)