Telaah Metodologi Filsafat Fenomenologi Eksistensial Driyarkara
Abstrak
Fenomenologi menurut Driyarkara “bukanlah sekadar melihat objek yang tampak atau menampakkan dirinya saja, namun juga mempertimbangakan subjek yang melihatnya, yaitu kita sebagai manusia–suatu budi, jiwa, dan pribadi.” Driyarkara yakin bahwa di dalam metode fenomenologi terkandung cita-cita dan jiwa dari semua filsafat, yaitu: keinginan atas pengertian yang benar, pengertian yang sedalam-dalamnya, pengertian dibelakang kabut fenomena. Fenomena selalu berkabut, tetapi bukan berarti kabut itu berasal dari fenomena saja, melainkan juga dari kita sendiri. Konsepsi, cara berpikir, suasana hidup, dan zaman di mana kita dilahirkan sering memunculkan kabut tebal yang memisahkan kita dari realitas dan pengertian yang benar. Inilah mengapa keberadaan kita sebagai manusia—aspek eksistensial kita—tidak boleh dilupakan saat membicarakan fenomena. Dalam tulisan ini akan diuraikan: 1) pemahaman Driyarkara atas fenomenologi eksistensial, 2) bagaimana beliau menggunakan metode ini di dalam tulisan-tulisannya tentang pendidikan, filsafat, agama, politik, sampai budaya dan seni, dan 3) seberapa efektifnya metode tersebut mengungkapkan realitas yang dibahasnya. Dari hasil pembacaan penulis, tidak dapat dipungkiri bakat yang Driyarkara miliki dalam menggunakan metode fenomenologi eksistensial. Kekuatan utamanya ada pada penggunaan konteks dan contoh yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dalam tulisan-tulisannya, ia seakan-akan mengajak kita untuk ‘menerobos’ dunia sehari-hari, menyingkap kabut fenomena, dan mengambil maknanya bagi kita yang berada di dunia sebagai manusia.
Kata-kata Kunci: Driyarkara, metodologi, metode, fenomenologi, eksistensialisme.
Pendahuluan
Penulis pertama kali bertemu dengan pemikiran Driyarkara dalam mata kuliah “Seminar Pemikiran-pemikiran Driyarkara” di STF Driyarkara tahun ajaran 2019. Waktu itu, penulis mendapat tugas untuk mempresentasikan tulisan beliau mengenai “Fenomena Pendidikan.”1 Dalam pembacaan tersebut, sekiranya ada dua hal yang berkesan bagi penulis. Pertama, tulisan ini merupakan contoh teks fenomenologi dalam bahasa Indonesia pertama yang pernah penulis baca. Driyarkara merumuskan metode fenomenologi sebagai “bukanlah sekadar melihat objek yang tampak atau menampakkan dirinya saja, namun juga mempertimbangakan subjek yang melihatnya, yaitu kita sebagai manusia–suatu budi, jiwa, dan pribadi,” dan beliau telah mempraktikkannya dengan baik dan sistematis dalam membahas tema pendidikan. Konteks-konteks dan contoh yang digunakan dekat dengan kehidupan sehari-hari, sehingga pembaca seakan-akan ikut ‘menerobos’ fenomena pendidikan selapis demi selapis bersama dengan Driyarakara.
Kedua, penulis tidak dapat memungkiri bakat yang dimiliki Driyarkara dalam menggunakan metode fenomenologi. Ia menuliskan, “Apakah sesuatu itu? Apakah yang kita lihat dalam praktek? Ingatlah pengalaman biasa!” dan hal inilah suatu ciri khas yang dapat ditemukan sepanjang tulisannya. Driyarkara banyak memberikan contoh dari pengalaman biasa sehari-hari, ‘menerobos’-nya, dan mengambil makna dibalik fenomena pendidikan. Akan tetapi, penulis menyadari bahwa hal itu bukan hanya ada pada tulisannya mengenai fenomena pendidikan, tetapi juga tulisan-tulisan yang lain.
Skema besar kelas seminar ini adalah membedah buku Karya Lengkap Driyarkara (KLD), suatu kompilasi karya Driyarkara yang tebalnya ±1500 halaman. Topik-topik tulisan Driyarkara yang ada di dalamnya antara lain tentang filsafat manusia, filsafat moral, agama dan religi, pendidikan, sosial-politik dan Pancasila, hubungan agama dan negara, budaya dan seni, dan tentang filsafat eksistensial. Setiap topik tersebut kemudian dibagikan untuk dipresentasikan oleh para mahasiswa/i. Setelah kelas terakhir selesai, penulis semakin yakin bahwa metode yang Driyarkara gunakan dalam menuliskan karya-karyanya adalah fenomenologi eksistensial. Penulis kemudian tertarik untuk menjadikan topik metodologi filsafat Driyarkara sebagai tugas akhir. Dengan tulisan ini, penulis ingin memperdalam pemahaman tentang fenomenologi dan eksistensialisme yang dipahami oleh Driyarkara, sekaligus bagaimana beliau menggunakannya di tiap-tiap topik pembicaraan. Penulis juga berharap dapat membantu para pembaca dan pengagum Driyarkara lainnya dalam mengerti metodologi yang beliau gunakan dalam tulisan-tulisannya.
Bagian pertama tulisan ini berisi uraian pemahaman Driyarkara atas fenomenologi, sekaligus apa yang membuat kata ‘eksistensial’ patut ditempelkan di sebelahnya. Bagian kedua akan menguraikan bagaimana beliau menggunakan metode ini di dalam tulisan-tulisannya tentang pendidikan, filsafat, politik, budaya, sampai seni dan agama. Ketiga, penulis akan menganalisa seberapa efektif metode tersebut mengungkapkan realitas yang dibahas oleh Driyarkara di setiap topik pembicaraan. Dalam penulisan ini, juga akan dirujuk karya-karya lain di luar KLD yang relevan. Bagian terakhir akan diisi dengan refleksi penulis atas sumbangan penting Driyarkara bagi filsafat di Indonesia.
Biografi singkat Driyarkara
Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara SJ (13 Juni 1913 – 11 Februari 1967) lahir dengan nama Djenthu (Soehirman) di desa Kedunggubah, lereng pegunungan Menoreh. Ia menggunakan nama Drijarkara saat masuk novisiat Serikat Yesus pada tahun 1935. Setelah menjalani novisiat selama 2 tahun, ia mulai belajar filsafat di kolese St. Ignasius Yogyakarta. Setelah studi filsafat selesai, ia mulai belajar teologi di kolese Muntilan. Namun, pada bulan Juli 1943, kolese itu ditutup oleh tentara Jepang. Ia kemudian pergi ke Seminari Tinggi Yogyakarta yang kebetulan membutuhkan staf pengajar, dan Driyakrara dianggap mampu untuk memegang jabatan itu. Di sana, ia menjadi dosen filsafat selama tiga tahun dari 1943-1947. Bagaimana dengan studi teologinya yang tertunda? Driyakara ternyata mempelajari teologi secara pribadi menjelang persiapan pentahbisan imam. Di tahun 1947, Mgr. Soegijapranata, SJ menahbiskan Driyakrara menjadi Imam Jesuit, dan diutus untuk studi teologi lanjutan dari Masstricht, Belanda sampai tahun 1949.2
Selama menjadi dosen filsafat di Kolese St. Ignatius Yogyakarta (1952 – 1958), ia juga menjadi pimpinan redkasi majalah BASIS. Ia juga menjadi rektor IKIP (Unitas Sanata Dharma), penceramah pidato di RRI Yogyakarta, guru besar Universitas Indonesia, Universitas Hassanudin, dan guru besar tamu du Universitas St. Louis, Amerika Serikat. Berkatian dengan karya-karya filsafatnya, Driyarkara tidak pernah menulis buku. Tulisan-tulisannya dalam buku tebal KLD diambil dari artikel-artikel majalah, surat-surat, dan diktat-diktat yang ia gunakan selama mengajar sebagai dosen filsafat.3 Hal ini oleh Christian Triyudo dilihat sebagai cara khas Driyarkara dalam mengembangkan filsafat di Indonesia. Ia menuliskan, “Karena menginginkan filsafat menjadi cara hidup bagi banyak orang sehingga berani menyelami realitas, beliau [(Driyarkara)] memilih mengomunkasikannya dengan beranekaragam cara yang memungkinkan orang bermenung.”4
Tentang minat filsafatnya, sebagaimana dikatakan oleh Christ Verhaak, Driyarkara banyak membaca pemikiran tokoh-tokoh aliran Eksistensialisme, seperti Heidegger, Jaspers, Sartre, Marcel, Lesenne, Lavelle, dan Camus; konsep dialektika perkembangan pemikiran dalam sejarah oleh Blondel; dan tokoh-tokoh fenomenologi seperti Husserl, Scheler, dan Merleau-Ponty.5 Dari situ, dapat terlihat siapa saja tokoh-tokoh besar yang mempengaruhi metode fenomenologi eksistensial Driyarkara. Seperti yang akan dijabarkan di bagian selanjutnya, penulis melihat bahwa khususnya, Driyarkara banyak menggunakan istilah-istilah dari Heidegger dan Husserl dalam tulisannya, yang masing-masing mewakili pengaruh aliran eksistensial dan fenomenologi dalam pemikirannya.
Mengenal Pemikiran Fenomenologi Eksistensial Driyarkara
Pengaruh-pengaruh Pemikiran Fenomenologi Driyarkara
Driyarkara membuka penjelasannya tentang fenomenologi dari sudut akar katanya. Fenomenologi adalah gabungan kata fenomenon dan logos. Logos atau ‘-logi’ dalam susunan ini berarti uraian atau pembicaraan tentang sesuatu yang mendahuluinya, yaitu fenomenon. Fenomenon sendiri memiliki akar-akar kata: fantasi, fantom, fosfor, dan foto, yang artinya: sinar, cahaya. Dari akar-akar tersebut kemudian dibentuk suatu kata kerja yang berarti ‘nampak, terlihat karena bercahaya, bersinar,’ dan itulah fenomenon. Dalam bahasa Indonesia lebih dikenal sebagai ‘gejala.’ Jadi, Fenomenologi berarti : ‘uraian atau pembicaraan tentang sesuatu yang sedang menampakkan diri (fenomenon).’6
Namun, dalam menggejala, dalam menampakkan dirinya kepada kita, fenomena juga menyembunyikan dirinya. Hal ini terlihat dalam pengertian kita, dalam penangkapan kita atas fenomena. Pengertian kita mengenai sesuatu dapat bertambah, dapat menjadi lebih sempurna. Itu berarti ada pengertian yang baru, pengertian yang sebelumnya tidak didapat dari fenomena awal, dan baru didapat setelahnya. Setelah apa? Setelah kita menyelidiki dan bertanya, setelah kita ‘menerobos’ fenomena. Dengan kita bertanya dan menyelidiki, fenomena akan lebih terbuka dalam menampakkan dirinya kepada kita.7
Manusia terus bertanya kepada fenomena guna menyingkirkan kabut yang menyelimuti realitas dibalik fenomena itu. Fenomena selalu berkabut, tetapi bukan berarti kabut itu berasal dari fenomena saja, melainkan juga dari manusia itu sendiri. Konsepsi, cara berpikir, dan suasana hidup seseorang sering memunculkan kabut tebal yang memisahkannya dari realitas dan pengertian yang benar. Terlebih lagi, harus diingat bahwa cara berpikir dan konsep-konsep tersebut ditanam ke dalam pemikiran oleh zaman yang kita hidupi.8 Dengan itu dapat disadari tebalnya kabut yang berasal dari diri kita, tidak kalah tebalnya dari kabut fenomena! Inilah intuisi Driyarkara yang penting, dan menurut penulis merupakan jembatan penghubung untuk masuk ke dalam pemikirannya mengenai budaya dan pendidikan. Intuisi ini juga yang menurut penulis menjadi dasar mengapa keberadaan kita sebagai manusia—atau aspek eksistensial kita—tidak pernah ditinggalkan oleh Driyarkara dalam tulisan-tulisannya tentang berbagai fenomena. Hal-hal tersebut akan dibahas di bagian selanjutnya. Untuk sementara ini, coba kita telusuri lebih dahulu bagaimana Fenomenologi itu dipahami Driyarkara.
Menurut Driyarkara, dalam fenomenologi terdapat cita-cita dan jiwa dari semua filsafat, yaitu keinginan atas pengertian yang benar, yang sedalam-dalamnya. Filsuf yang menggeluti filsafat punya kehausan itu, dan begitu juga manusia-manusia lain pada umumnya.9 Kehausan atas pengertian merupakan hasrat, dan hasrat itu mendorong terjadinya usaha. Di belakang hasrat itu ada keyakinan, yaitu keyakinan bahwa pengertian itu dapat dicapai jika kita berusaha untuk mengamati dan menyelidiki fenomena.10
Pengertian Driyarkara atas fenomenologi bertumpu dari pemikiran tiga tokoh besar, yaitu Edmund Husserl, dan Max Scheler, sebagaimana dijelaskan dalam bab keempat dari buku Pertjikan Filsafat tentang Fenomenologi.11 Husserl disebut sebagai tokoh yang memulai aliran pemikiran Fenomenologi. Dari Husserl Driyarkara memahami ‘fenomenologi sebagai metode,’ yaitu suatu ‘phanomenologische Reduktion’—reduksi fenomenologis, penyaringan, atau yang lebih dikenal dewasa ini sebagai ‘bracketing’—pengurungan. Sementara itu dari Scheler (dan juga pengaruh St. Agustinus dari Hippo) didapat pengertian tentang manusia sebagai ‘Persona,’ yang dengan Ordo Amoris (etika berdasarkan cinta kasih) selalu mengarahkan diri kepada Tuhan sang nilai tertinggi Maha Sempurna. Cinta kasih merupakan aspek penting dalam agama Kristiani, dan cinta kasih ini pula yang terus-menerus akan muncul dalam pemikiran Driyarkara. Tentunya latar belakang beliau sebagai seorang religius tidak dapat dikesampingkan bahkan saat kita membicarakan filsafatnya.
Eksistensialisme Driyarkara
Sementara itu, pemikiran eksistensialisme Driyarkara banyak bertumpu pada pemikiran Martin Heidegger. Pemikiran eksistensial Driyarkara paling terlihat dalam pemikirannya tentang sosialitas manusia.12 Akan tetapi, aspek fenomenologis tetap ada dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Di dalam artikel tersebut, kesosialan manusia dibahas oleh Driyarkara secara fenomenologis sekaligus eksistensial. Secara fenomenologis, manusia hidup tidak sendirian. Manusia selalu bersama manusia lain, yang oleh Heidegger disebut sebagai Mit-Dasein. Pandangan ini sekaligus eksistensial. Artinya, adanya manusia adalah ada bersama dengan manusia lain. Dasein atau manusia menurut Heidegger, yang sebagaimana dijelaskan Driyarkara, selalu “membelum”. Manusia di dalam dunia selalu terlibat dalam keigatan, sedang ini atau itu, sedang begini atau begitu. Jadi, dia selalu “menyedang,” tetapi dalam menyedang itu manusia selalu “membelum.” Ada gerak untuk terus memberbarui, memperbaiki diri dan hal ini tidak pernah selesai sampai akhir hidupnya.13
Hal ini juga yang terlihat dalam pemikirannya tentang pendidikan. Pendidikan tidak pernah selesai sampai akhir hidup seseorang. Perkembangan itu melampaui Hominisasi dan menuju ke Humanisasi. Dari taraf minimal perkembangan fisik dan psikis sebagai manusia, berlanjut ke taraf manusia berkebudayaan. Kebudayaan di sekitar manusia ini tentunya selalu berkembang terus menerus sampai akhir hidupnya.14 Perkembangan itu juga berjalan sesuai dengan pengaruh zamannya. Di Indonesia misalnya, ada satu aspek penting dalam pendidikan, yaitu ideologi Pancasila. Sudah tidak dapat ditawar lagi pemahaman dan kesetiaan Driyarkara atas Pancasila. Ia menuliskan berbagai tafsir dan penjelasan tentang Pancasila. Salah satunya adalah eksistensi manusia sebagaimana yang dituntut oleh masing-masing sila manusia.15
Itulah bagaimana Driyarkara menjelaskan pemikiran Heidegger untuk menggambarkan perkembangan manusia manusia di dalam sosialitasnya. Dalam sosialitas itu, manusia terus menerus berkembang, dan berkembang bersama dengan sesamanya. Manusia selalu membutuhkan sesamanya, dan ia berkembang bersama-sama dalam cinta kasih yang tertanam dalam diri manusia. Dengan itu, Driyarkara menolak pandangan Thomas Hobbes yaitu Homo Homini Lupus (manusia sebagai serigala bagi sesama), dan menjunjung tinggi Homo Homini Sosius (manusia sebagai teman bagi sesama).16
Manusia juga merupakan makhluk jasmani-rohani, dan keseluruhan pribadi manusia tertuju kepada nilai tertinggi yaitu cinta kasih. Cinta kasih ini tertanam sejak dini melalui keluarga. Menurut Driyarkara, keluarga merupakan suatu Bhinneka-Tunggal, yaitu suatu kesatuan hidup dalam cinta kasih. Ayah, Ibu, dan Anak merupakan satu tritunggal yang tidak dapat dipisahkan.17 Jasmani anak berkembang dari kandungan, lalu setelah lahir mengalami proses Hominisasi, yang menuju ke Humanisasi. Perjalanan menuju Humanisasi ini berjalan dalam satu keluarga, yang Driyarkara juga sebut sebagai tempat perwujudan primer dari pendidikan itu sendiri.18
Telaah Metodologis Fenomenologi Eksistensial Driyarkara
Penulis merasa penggambaran pemikiran-pemikiran Driyarkara di atas sudah cukup menunjukan bagaimana metode filsafatnya adalah fenomenologi eksistensial. Penulis tentu mengakui bahwa uraian di atas jauh dari lengkap. Tetapi, semuanya itu merupakan satu dasar kesatuan yang utuh dari pemikiran Driyarkara. Artinya, dari uraian di atas, pemikiran-pemikiran Driyarakra yang lain, yang tidak terjangkau oleh penulis, masih dapat diturunkan. Demikianlah suasana pemikiran fenomenologi eksistensial Driyarkara. Sekarang, penulis akan masuk ke dalam telaah metodologis fenomenologi eksistensial Driyarkara, yaitu uraian mengenai bagaimana ia menggunakan dan mengembangkan metodenya. Dari hasil pembacaan, penulis menemukan bahwa sekurang-kurangnya Driyarkara menggunakan metode fenomenologi eksistensial dengan empat langkah. Berikut uraian empat langkah fenomenologi eksistensial Driyarkara:
Pertama: Lihatlah Pengalaman Dengan Apa-Adanya, dan Lengkap. Tunda Prasangka dan Keputusan-keputusan!
Seperti yang sudah dikatakan di awal, kekuatan Driyarkara dalam menggunakan metode fenomenologi eksistensial adalah contoh-contohnya yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, pengalaman-pengalaman biasa. Langkah pertama ini merupakan pelaksanaan semangat fenomenologi Edmund Husserl, dan dapat dihubungkan dengan epoche, yaitu penundaan atas suatu keputusan (suspensionnn of judgment).19
Manusia saat berhadapan dengan realitas cenderung untuk membawa prasangka (assumptions), dan sering membuat keputusan ini dan itu, mengakui ‘ya ini memang ada, itu memang begitu’ dsb. Itu semua membuat pikirannya ‘hanyut’ dalam pembicaraan tentang objek-objek partikular yang ada di dalam fenomena. Akan tetapi, penampakkan atau fenomena itu sendiri tidak lagi dihiraukan. Cara berhadapan dengan realitas yang seperti itu pada gilirannya membuat penggertian yang didapat tidak murni. Pengertian yang masuk ke dalam pikiran sudah bercampur dengan prasangka-prasangka, dan keputusan-keputusan afirmatif spontan kita.
Untuk mendapat pengertian yang murni, seseorang harus berani berhadapan dengan fenomena yang semurni-murninya—fenomen qua fenomen.20 Dengan itu, Driyarkara menyimpulkan metode Husserl menjadi dua, yaitu negatif dan positif. Yang negatif yaitu: janganlah dikatakan dulu ada atau tidaknya objek yang dimengerti, jangan membuat keputusan-keputusan, jangan berprasangka. Yang positif yaitu: pandang dan analisalah fenomena atau pengalaman-pengalaman yang kita sadari, dengan selengkap-lengkapnya!21 Inilah titik tolak kita untuk menerobos kabut fenomena.
Kedua: Singkirkan Kabut-kabut dan Terobos Fenomena!
Andai kata, kita ingin mengerti fenomena pendidikan. Apa sebenarnya ‘fenomena pendidikan’ itu? Pertama-tama mari kita ‘lihat’ fenomena pendidikan. Apa yang biasanya pertama tampak saat melihat ‘pendidikan’? Beberapa jawabannya adalah: situasi belajar-mengajar di sekolah dan ‘pergaulan.’ Yang pertama misalnya digambarkan sebagai situasi tatap muka antara guru dan murid, antara dosen dan mahasiswa/i. Di situ terjadi suatu pertukaran ilmu pengetahuan, dari guru ke muridnya. Murid kemudian bertanya tentang yang ia belum pahami, atau memberikan tanggapan yang berasal dari pemikirannya. Itulah pendidikan yang kita lihat. Yang kedua adalah pergaulan. Orang yang ingin menembus ‘pendidikan’ sering jatuh dalam keputusan bahwa yang terpenting dalam pendidikan adalah lingkup ‘pergaulan,’ seseorang. Mereka kemudian menjelaskan bagaimana orang-orang disekitar akan mempengaruhi watak. Seseorang kemudian harus dijauhkan dari pergaulan yang ‘jelek’ dan dibawa ke pergaulan yang ‘bagus.’ Mereka akan menggunakan berbagai konsep-konsep psikologis dan sosial seperti ‘meniru’ atau ‘social or peer pressure.’
Tetapi, apakah itu yang merupakan keseluruhan ‘fenomena pendidikan’? Masih belum, Tahan dulu tendensi kita untuk berteori! Saat melihat fenomena, Driyarkara memperingatkan untuk tidak terjebak pada apa yang tampak saja. “Kita tidak harus mengamat-amati barang yang tersurat, melainkan harus menunjuk hal yang tersirat dalam tersurat,” tulis Driyarkara.22 Dengan itu maksud Driyarkara adalah kita mesti mengambil jarak dari yang tampak, dan mulai menyelidiki dan bertanya. Jika ingin melampaui apa yang kelihatan dan menuju ke yang mendalam, tentunya perlu pertanyaan yang mendalam dan bukan pertanyaan yang melulu tentang yang kelihatan.
Hubungan antara guru-murid masih merupakan apa yang kelihatan, pergaulan masih apa yang kelihatan, tetapi kita terburu-buru melabelinya dengan ‘pendidikan.’ Prasangka dan tendensi kita disini terletak pada asumsi bahwa kita sudah mengerti apa itu sebenarnya pendidikan. Belum sempat kita menyelidiki apa itu pendidikan, tetapi kita sudah menempelkannya pada fenomena. Dari situ muncul lah kabut tebal yang mencemari pengertian kita, dan menghalangi kita untuk melampaui fenomena. Tahan dulu, kurung dulu apa yang kita pahami tentang ‘pendidikan’ itu, dan bertanyalah: Apa sebenarnya fenomena pendidikan itu? Atau lebih canggihnya Driyarkara merumuskan: “Adakah suatu perbuatan tertentu yang dengan sendirinya (an sich), menurut ‘strukturnya,’ sudah merupakan pendidikan?” Dari celah inilah kemudian kita dapat mulai menerobos fenomena!23
Hal ini juga yang dapat dilakukan saat kita berhadapan dengan fenomena lainnya seperti: Kebudayaan, religi, agama, estetika, politik, negara, dll. Tahan dulu prasangka kita, kurung dulu apa yang kita tahu tentang fenomena tersebut, dan mulailah bertanya dengan mendalam. Pengertian yang didapat dari pertanyaan-pertanyaan mendalam, pertanyaan tentang yang tidak kelihatan, pada gilirannya akan menjadi dasar kuat bagi permenungan kita terhadap apa-apa yang kelihatan.
Ketiga: Kaitkan Pengertian atas Fenomena dengan Eksistensi Kita di Dunia Sebagai Manusia!
Andaikan di tahap ini kita telah berhasil ‘menerobos’ fenomena, dan mendapatkan pengertian yang mendalam. Kita membuat risalah, membuat tulisan, dan teori-teori mengenai fenomena tersebut. Apakah itu cukup? Tidak!
Sebagaimana yang dipahami oleh Driyarkara, Max Scheler mengatakan bahwa langkah-langkah di atas tidak cukup. Menurutnya, barangsiapa yang menghasrati atau ‘mencintai’ kebenaran, dan mencarinya melalui filsafat, harus melepaskan dirinya dari diri sendiri dan ikatan-ikatan yang berupa kegemaran, kesenangan, dan dorongan-dorongan yang rendah, dan kemudian mengarahkan diri kepada nilai yang maha tinggi yaitu Tuhan. Perlu diketahui bahwa Scheler merupakan pengagum St. Agustinus dari Hippo, yang ia sebut sebagai ‘teoretikus kecintaan’ terbesar. Perjalanan hidup yang penuh drama, kekaguman atas teori kecintaan St. Agustinus, dan permenungannya atas karya fenomenologi Husserl selama 13 tahun membuahkan pemikiran fenomenologis yang sangat kaya dan gemilang.24
Permenungan Scheler tentang manusia berpusat pada pertanyaan: “Apakah manusia itu dan bagaimana kedudukannya dalam realitas?” Pengaruh pemikiran St. Agustinus dan kesetiannya terhadap metode Husserl, membawanya sampai kepada pengertian bahwa: “Manusia adalah makhluk yang bersujud dan mencari Tuhan, manusia adalah Wahyu dari Tuhan dalam kehidupan duniawi ini, manusia adalah gerak abadi dari hidup, yang menuju keatas dengan diri sendiri.” Dalam perjalannya itu, manusia melakukan banyak perbuatan-perbuatan, dan dari perbuatan terlihat apakah pengertian yang ia dapat membawanya bertindak selaras dengan apa yang dikehendaki Tuhan.25 Hal ini membawa kita ke ranah etika Scheler, yaitu “Ordo Amoris,” atau yang Driyarkara sebut sebagai ‘pengaturan kecintaan.’26 Ini kemudian membawa unsur religi atau agama ke dalam metodologi Driyarkara. Hal ini akan dibahas di langkah selanjutnya. Sekarang kita lihat dulu bagaimana Driyarkara mengaitakan refleksi atas fenomena dengan refleksi atas eksistensi manusia.
Eksistensi manusia Driyarkara lihat dari kacamata Heidegger. Secara fenomenologis, dapat dilihat fenomena manusia yang hidup tidak sendirian. Manusia selalu bersama manusia lain, dan oleh Heidegger eksistensi manusia disebut sebagai Mit-Dasein, yaitu ada bersama dengan manusia lain. Hal ini membuka dimensi sosial dalam permenungan mengenai fenomena. Pendidikan misalnya, jangan dipahami sebagai sesuatu yang ekslusif di satu lingkungan saja, di satu gedung saja, tetapi juga ada pengaruh dari jaringan sosial di sekitar fenomena tersebut. Permenungan atas pendidikan yang berhenti pada ‘pergaulan,’ misalnya, sudah sedikit menangkap aspek sosial ini. Hanya saja masih terlalu dangkal karena baru berkaitan dengan sosialitas di tingkat individu. Permenungan atas pendidikan yang mengakomodasi sosialitas sebagai eksistensi manusia di dunia akan sampai pada kebudayaan dan ideologi di balik fenomena pendidikan tersebut. Contoh pencapaian Driyarkara, misalnya, adalah mengaitkan fenomena pendidikan dengan eksistensi manusia yang dimulai dari Hominisasi dan menuju Humanisasi. Pendidikan diuraikan bagian-bagiannya, dan ditemukan prinsip-prinsipnya. Namun, bagian-bagian yang sudah diteliti tersebut kemudian tidak berdiri sendiri, sehingga seolah-olah pendidikan yang sebagai kesatuan dilupakan. Yang berupa bagian-bagian tersebut justru memperkaya pengertian tentang pendidikan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Driyarkara akhirnya sampai pada bukan hanya satu, namun 3 definisi pendidikan yang saling berkaitan,27 dan 18 dalil-dalil tentang pendidikan!28
Di dalam Humanisasi terdapat pengertian Dasein atau manusia menurut Heidegger, yang sebagaimana dijelaskan Driyarkara, selalu “membelum”. Manusia di dalam dunia selalu terlibat dalam keigatan, sedang ini atau itu, sedang begini atau begitu. Jadi, dia selalu “menyedang,” tetapi dalam menyedang itu manusia selalu “membelum.” Ada gerak untuk terus memberbarui, memperbaiki diri dan hal ini tidak pernah selesai sampai akhir hidupnya.29 Berkembang, memperbarui, dan melampaui dirinya itu selaras dengan nilai-nilai yang ada disekitarnya, dan pemikiran-pemikiran yang ada pada zamannya. Dalam kata lain: sesuai dengan kebudayaan dan ideologi di zamannya. Permenungan atas eksistensi manusia di Indonesia, misalnya, membawa Driyarkara untuk sampai ke pengertian atas Pancasila sebagai Ideologi. Dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam tersebut meghasilkan pengertian atas manusia seperti apa yang dituntut oleh masing-masing sila.
Keempat: Kaitkan Pengertian atas Fenomena dengan Bagaimana Kita Harus Bertindak Kepada Sesama Kita, Seturut dengan Kehendak Yang Maha Kuasa!
Langkah terakhir, seperti yang sudah sempat disinggung sebelumnya adalah mengaitkan relfeksi fenomena dan eksistensi dengan religi atau agama. Titik tolaknya adalah pemikiran Max Scheler, yaitu “Ordo Amoris,” atau yang Driyarkara sebut sebagai ‘pengaturan kecintaan.’30 Permenungan fenomenologis atas hakikat manusia membawa Scheler kepada tiga golongan nilai (Wert) yang manusia hadapi dalam hidupnya, yaitu: nilai inderawi (kenikmatan), nilai kebaikan (kesenangan, kesejahteraan), dan nilai rohani (keindahan, kesucian, keadilan, dan kebenaran). Sekarang, ada di golongan mana nilai-nilai moral, etika, dan kesusilaan? Menurut Scheler, nilai-nilai etika dan kesusilaan bahkan lebih tinggi golongannya dari pada nilai rohani. Nilai kesusilaan berasal dari Tuhan itu sendiri. Kecintaan terhadap nilai yang paling tinggi akan membawa seseorang kepada Tuhan.31 Kecintaan itu kemudian membawa kita untuk bertindak sebagai insani, bertindak manusiawi dalam lingkungan sosial kita.
Selain pemikiran filsafat Scheler, di bagian ini tentunya juga tidak dapat diabaikan latar belakang Driyarkara sebagai seorang imam Katolik. Tentunya, ia juga menggunakan ajaran-ajaran teologi Gereja di langkah terakhir ini. Namun, penulis akan menunda pembicaraan tentang teologi Driyarkara untuk kesempatan lainnya. Untuk sekarang cukuplah kita berhenti dalam telaah metodologi filsafat fenomenologi eksistensial Driyarkara.
Penutup dan Kesimpulan
Dari uraian di atas, terlihat bagaimana Driyarkara setia dalam menggunakan metode fenomenologi eksistensial, yaitu “bukanlah sekadar melihat objek yang tampak atau menampakkan dirinya saja, namun juga mempertimbangakan subjek yang melihatnya, yaitu kita sebagai manusia–suatu budi, jiwa, dan pribadi.” Dalam menghadapi fenomena, Driyarkara mengajak kita untuk pertama-tama melihatnya dengan ‘apa-adanya,’ lengkap, tanpa prasangka dan keputusan-keputusan yang spontan. Kedua, kita harus menyingkirkan kabut-kabut yang ada dan menerobos fenomena dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam. Ketiga, kaitkanlah pengertian yang kita dapat tentang fenomena dengan eksistensi kita di dunia sebagai manusia. Dengan begitu, akan didapat pengertian yang lebih kaya, dan sekaligus mengamalkan perintah suci filsafat, yaitu kenali dirimu sendiri. Keempat, kaitkan pengertian atas fenomena dan diri kita sendiri, sebagai pedoman bagaimana kita harus bertindak kepada sesama kita, seturut dengan kehendak Tuhan Sang Pencipta alam dan manusia. Langkah-langkah tersebut terbukti efektif dalam mengungkapkan fenomena. Hal itu jelas terlihat dari betapa kayanya karya-karya Driyarkara atas pengertian dan refleksi-refleksi yang mendalam atas realitas dan diri manusia sendiri.
Bakat yang dimiliki oleh Driyarkara dalam menggunakan metode tersebut bukan hanya membawanya menghasilkan karya-karya filosofis yang istimewa. Melampaui itu, tulisan-tulisannya justru menjadi pedoman untuk para pembaca dan pengagumnya menggunakan metode fenomenologi eksistensial dalam menghadapi fenomena. Penggunaan konteks dan contoh yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari membuatnya seakan-akan mengajak kita untuk ‘menerobos’ dunia sehari-hari, menyingkap kabut fenomena, dan mengambil maknanya bagi kita yang berada di dunia sebagai manusia.
Daftar Pustaka
Driyarkara, Nicolaus, SJ. “Bab IV: Fenomenologi.” Dalam Pertjikan Filsafat, 2nd ed. Jakarta: Pembangunan, 1966.
———. “Buku Kedua: Hominisasi dan Humanisasi, Bab II: Fenomena Pendidikan.” Dalam Karya lengkap Driyarkara : Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, 355–418. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
———. “Buku Kedua: Hominisasi dan Humanisasi, Bab III: Capita Selecta Filsafat Pendidikan.” Dalam Karya lengkap Driyarkara : Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, 419–65. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
———. “Buku Keempat: Homo Homini Socius, Bab II: Sosialitas Sebagai Eksistensial.” Dalam Karya lengkap Driyarkara : Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, 651–98. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
———. “Buku Keenam: Menalar Dasar Negara Indonesia, Bab II: Pemikiran Pancasila Sesudah 1965.” Dalam Karya lengkap Driyarkara : Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, 867–959. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
———. “Buku Kesembilan: Ajaran dan Tokoh Kontemporer, Bab I: Eksistensialisme.” Dalam Karya lengkap Driyarkara : Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, 1281–1318. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
———. Pertjikan Filsafat. 2nd ed. Jakarta: Pembangunan, 1966.
Driyarkara, Nicolaus, SJ, dan A. Sudiarja. Karya lengkap Driyarkara : Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Mohanty, Jitendra N. “Phenomenology.” Dalam Encyclopedia of Philosophy, 2nd ed., 7:278–301. Detroit: Macmillan Reference USA, 2006.
Triyatmoko, B.B. “Biografi Singkat.” Dalam Bunga Rampai Mengenang Prof. Dr. N. Drijarkara SJ, 5–11. Jakarta: Senat Mahasiswa STF Driyarkara, 1988.
Triyudo, Christian. “Driyarkara dan Filsafat sebagai Cara Manusia Menyelami Realtias Sedalam-dalamnya.” Jurnal Driyarkara 2 (2013): 7–26.
Catatan Kaki
-
Driyarkara, “Buku Keenam: Menalar Dasar Negara Indonesia, Bab II: Pemikiran Pancasila Sesudah 1965,” 355–418. ↩
-
Driyarkara dan Sudiarja, KLD, xxvi. ↩
-
Triyatmoko, “Biografi Singkat,” 7. ↩
-
Triyudo, “Driyarkara dan Filsafat sebagai Cara Manusia Menyelami Realtias Sedalam-dalamnya,” 11. ↩
-
Ibid., 10. ↩
-
Driyarkara, Pertjikan Filsafat, 122. ↩
-
Ibid., 122. ↩
-
Ibid., 123. ↩
-
Ibid., 122. ↩
-
Ibid., 124. ↩
-
Driyarkara, “Bab IV: Fenomenologi,” 120–63. ↩
-
Driyarkara, “Buku Keempat: Homo Homini Socius, Bab II: Sosialitas Sebagai Eksistensial,” 651–98. ↩
-
Driyarkara, “Buku Kesembilan: Ajaran dan Tokoh Kontemporer, Bab I: Eksistensialisme,” 1291. ↩
-
Driyarkara, “Buku Keenam: Menalar Dasar Negara Indonesia, Bab II: Pemikiran Pancasila Sesudah 1965,” 370. ↩
-
Ibid., 938–59. ↩
-
Driyarkara dan Sudiarja, KLD, 591–92. ↩
-
Driyarkara, “Buku Kedua: Hominisasi dan Humanisasi, Bab II: Fenomena Pendidikan,” 377. ↩
-
Ibid., 382. ↩
-
Mohanty, “Phenomenology,” 285. ↩
-
Driyarkara, Pertjikan Filsafat, 126. ↩
-
Ibid., 127–28. ↩
-
Driyarkara, “Buku Kedua: Hominisasi dan Humanisasi, Bab II: Fenomena Pendidikan,” 360–61. ↩
-
Ibid., 356. ↩
-
Driyarkara, Pertjikan Filsafat, 140, 143, 144. ↩
-
Driyarkara, “Bab IV: Fenomenologi,” 143. ↩
-
Ibid., 148. ↩
-
Driyarkara, “Buku Kedua: Hominisasi dan Humanisasi, Bab II: Fenomena Pendidikan,” 415–17. ↩
-
Driyarkara, “Buku Kedua: Hominisasi dan Humanisasi, Bab III: Capita Selecta Filsafat Pendidikan,” 419–65. ↩
-
Driyarkara, “Buku Kesembilan: Ajaran dan Tokoh Kontemporer, Bab I: Eksistensialisme,” 1291. ↩
-
Ibid., 148. ↩
-
Driyarkara, “Bab IV: Fenomenologi,” 148–51. ↩