aaron-pm

Emmanuel Levinas's Totality and Infinity: Metafisika dan Transendensi

Levinas, Emmanuel. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, terj. Alphonso Lingis. Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969, pp. 33–40. Selanjutnya, acuan pada karya ini akan ditulis dengan ‘TI’ diikuti dengan nomor halaman dan nomor baris dihitung dari atas. Semua terjemahan merupakan terjemahan bebas penulis. Kata yang ditambahkan penulis dalam kutipan akan diapit oleh tanda ‘[’ dan ‘]’.

Pendahuluan

Pada bagian pertama bab ini, Desire for the Invisible, Levinas mengajukan pembacaan ulang atas makna ‘metafisika’ dalam tradisi filsafat. Ia tidak sekadar memberikan definisi, melainkan memperlihatkan arah geraknya—sebuah gerak keluar dari diri menuju yang sungguh-sungguh lain. Dengan membedakan antara need dan desire, Levinas memperlihatkan bahwa tidak semua gerak menuju yang lain bersifat sama. Ada gerak yang bertujuan mengisi kekurangan dalam diri, lalu menyerap yang lain ke dalam dirinya; itulah need. Tetapi ada pula gerak yang tidak bertolak dari kekurangan, tidak berniat menguasai, dan tidak hendak kembali; itulah metaphysical desire. Dalam pengertian inilah, metafisika yang sejati adalah gerak menuju Yang-Lain yang tidak pernah ditaklukkan, tidak pernah diserap ke dalam diri, dan oleh karena itu, tak pernah berakhir dalam egoisme.

Pada bagian kedua, The Breach of Totality, Levinas menggambarkan bagaimana Aku, yang membangun identitasnya dengan mendiami kenyamanan dan totalitas, justru mengalami gangguan oleh kehadiran Yang-Lain. Gangguan itu bukan kehancuran, melainkan sejenis panggilan; suatu seruan dari Yang-Lain yang tak tertaklukkan. Yang-Lain itu bukan hanya ‘bukan-aku’, melainkan juga ‘lebih-dari-aku’. Dalam dirinya ada ketinggian yang tidak bisa dipadamkan oleh pengertian dan penguasaan. Maka, dalam relasi ini, totalitas dibobol, dan muncul ruang etis: ruang di mana Aku dituntut untuk menjawab.

Hasrat Metafisis: Antara Kebutuhan dan Cinta

Dalam sejarah filsafat Barat, ‘metafisika’ sering dimengerti sebagai pencarian akan dasar terdalam dari realitas. Tapi bagi Levinas, metafisika bukan pertama-tama persoalan pengertian, melainkan pengalaman; pengalaman akan gerak keluar dari diri menuju Yang-Lain yang tidak bisa dimiliki. Hasrat metafisis (metaphysical desire) bukanlah sekadar rasa kurang atau lapar yang menuntut pemenuhan seperti dalam need, melainkan gerak cinta yang tidak lahir dari kekosongan, dan tidak berhenti pada pemilikan.

Kebutuhan (need) adalah nostalgia; kerinduan akan sesuatu yang pernah dimiliki dan kini hilang. Ia bergerak keluar untuk memperoleh kembali dan menyerap ke dalam diri. Yang lain dalam relasi ini menjadi objek konsumsi; keberlainan mereka larut ke dalam keakuan. Maka yang asing menjadi The Same, dan relasi menjadi penguasaan.

Tapi desire yang sejati tidak demikian. Ia tidak berangkat dari kekurangan, dan tidak berakhir dalam pemilikan. Ia adalah cinta, yakni gerak yang ditarik oleh Yang-Lain, tetapi tak pernah mencapainya sepenuhnya. Yang-Lain itu absolutely other, tetap lain, tidak bisa diasimilasikan. Dalam relasi ini, keterpisahan bukan masalah, tetapi sumber daya; relasi itu tetap relasi justru karena jaraknya tidak pernah dihapus. Maka hasrat metafisis adalah relasi yang memelihara keterpisahan, relasi yang menghormati alteritas.

Lebih dari itu, desire ini bersifat tak terduga, tak dapat diramalkan, dan tidak dapat diantisipasi. Ia berjalan tanpa peta, tanpa jaminan. Ia seperti cinta, yang tidak menghendaki pemilikan, melainkan kedekatan yang menjaga jarak. Ia seperti kematian, yang selalu datang sebagai yang asing dan tidak pernah bisa diringkus pengertian. Karena itu, Levinas menyebutnya Desire for the Invisible—kerinduan akan sesuatu yang hadir, tetapi tak kelihatan; yang dekat, tetapi tak tergenggam.

Dari perbandingan ini, kita menangkap inti dari pemikiran Levinas: tidak semua relasi dengan yang lain adalah penguasaan. Ada relasi yang membiarkan Yang-Lain tetap lain; yang tidak menyerap, tetapi menyambut. Dan justru dalam relasi inilah, metafisika sejati berlangsung: bukan sebagai sistem pemahaman, melainkan sebagai pengalaman etis.

Bobolnya Totalitas: Kehadiran yang Mengganggu

Levinas lalu melanjutkan dengan melihat bagaimana identitas diri Aku dibentuk dalam relasinya dengan dunia. Aku itu tidak hadir begitu saja, tetapi terbentuk melalui pengidentifikasian dirinya—yakni, melalui proses menyusun dan mempertahankan makna tentang dirinya di tengah pengalaman. Dalam proses ini, Aku mendiami dunia seperti orang yang membangun rumah: nyaman, terlindung, dan cukup. Ia menjadikan dunia sebagai tempat tinggal (chez soi), dan di sanalah ia menemukan dirinya.

Namun rumah ini tidak tertutup sempurna. Dalam kenyamanan itu, hadir Yang-Lain, bukan sebagai tamu yang diundang, melainkan sebagai Orang Asing yang mengganggu. Gangguan ini bukan sekadar rasa tidak enak, tetapi suatu interupsi mendasar terhadap kenyamanan dan kebercukupan. Ia membongkar sistem pemaknaan diri dan menyerukan tanggung jawab. Maka relasi ini bersifat asimetris: Yang-Lain hadir tidak untuk dipahami, tetapi untuk direspon; tidak untuk diserap, tetapi untuk dihormati.

Yang-Lain, bagi Levinas, bukan hanya yang di luar, tetapi juga yang lebih tinggi—le Très-Haut. Ia adalah ketinggian yang memanggil ke luar dan ke atas, dan dalam panggilan itu, Aku keluar dari dirinya menuju yang lebih dari dirinya. Inilah yang oleh Levinas disebut transascendence: bukan hanya melampaui (trans), tetapi juga mendaki (ascendens). Maka, metafisika adalah gerak keluar dan ke atas, menuju Yang-Lain yang lebih tinggi dan tak tertaklukkan.

Dalam kehadiran Yang-Lain inilah etika bermula. Etika bukan aturan atau norma, melainkan gangguan mendalam yang menyerukan tanggung jawab. Etika terjadi ketika Aku terusik oleh wajah Yang-Lain, dan dalam keterusikan itu, Aku dipanggil untuk menjawab. Etika adalah pengalaman disergap oleh alteritas; pengalaman digugat oleh yang tak bisa ditampung dalam sistem.

Evaluasi: Metafisika sebagai Etika

Perbedaan antara need dan desire tidak mudah ditangkap. Dari luar, keduanya bisa tampak serupa: sama-sama gerak keluar, sama-sama menuju yang lain. Tetapi bedanya bukan pada tujuan, melainkan pada akhir: apakah gerak itu kembali? Atau terus menuju Yang-Lain yang tak pernah diraih? Lebih sulit lagi, tindakan nyata seringkali menyamarkan motif batin. Dua orang bisa memberi sedekah, tetapi yang satu mungkin ingin terlihat baik, sedang yang lain digerakkan oleh cinta kasih. Dari luar, kita tidak tahu.

Karena itu, yang menentukan bukan sekadar tindakan, melainkan sikap hidup yang konsisten. Dalam jangka panjang, karakter seseorang akan memperlihatkan dari mana geraknya bersumber. Apakah dari kekurangan yang ingin menguasai, atau dari cinta yang membiarkan Yang-Lain tetap lain? Maka refleksi Levinas mengajak kita untuk waspada terhadap diri sendiri: apakah kita sungguh-sungguh keluar dari diri, atau hanya berpura-pura keluar demi kembali dengan lebih banyak?

Dengan demikian, metafisika dalam pengertian Levinas bukan abstraksi yang melayang di atas kenyataan, melainkan pengalaman yang sangat konkret. Ia terjadi di dalam dunia, dalam relasi antara manusia. Tetapi justru karena itu, ia juga bersifat transendental: melampaui pemahaman, melampaui totalitas, dan menuntut tanggung jawab. Metafisika ini adalah etika; dan etika adalah cara kita hadir bagi Yang-Lain.

Semua ini diringkas dalam dua kalimat pembuka bab:

“The true life is absent.” But we are in the world. (TI 33)

Kalimat pertama diambil dari Arthur Rimbaud, penyair Prancis yang melukiskan kekosongan zaman modern. Tetapi Levinas menambahkan kalimat kedua: Tetapi kita ada di dunia. Artinya, meskipun hidup sejati terasa jauh, dan dunia tampak kosong, kita tetap hadir di sini, bersama orang lain. Dan dalam kehadiran itulah, kita dipanggil. Maka, sekalipun hidup sejati tidak tampak, tetap kita berjalan, sebab ada wajah Yang-Lain yang menunggu jawaban kita.

Daftar Pustaka

[BPW] Levinas, Emmanuel. Basic Philosophy Writings, eds. Adriaan T. Peperzak, Simon Critchley, and Robert Bernasconi. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1996.

[TI] Levinas, Emmanuel. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis. Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969.

[WL] Large, William. Levinas’ ‘Totality and Infinity’: A Reader’s Guide. London: Bloomsbury Academic, 2015.

[PZ] Peperzak, Adriaan Theodoor. To the Other: an Introduction to the Philosophy of Emmanuel Levinas, West Lafayette, Indiana: Purdue University Press, 1993. (Ch.5, “A Key to Totality and Infinity,” pp. 120–208).

[THT] Tjaya, Thomas Hidya. Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain, Jakarta: KPG, 2018.

Catatan Akhir

Tulisan ini dibuat sebagai Tugas Pengganti UTS Mata Kuliah “Emmanuel Levinas”