Pertanyaan-pertanyaan Metafisika
Tentang intuisi dasar Heidegger âOnto-theo-logiâ dan âPembedaan Ontologisâ dalam Introduction to âWhat is Metaphysicsâ, Pathmarks, hlm. 287, Heidegger menuliskan uraian sbb.:
âMetaphysics states what beings are as beings. It offers a logos (statement) about the on (beings). The latter title âontologyâ characterizes its essence, provided, of course that we understand it in accordance with its proper significance and not through its narrow Scholastic meaning. In this manner, metaphysics always represents beings as such in their totality; it represents the beingness of beings (the ousia of the on). But metaphysics represents the beingness of beings in a twofold manner; in the first place, the totality of beings as such with an eye to their most universal traits (on katholou, kainon); but at the same time also the totality of beings as such in the sence of the highest and therefore divine being (on katholau, akrotaton, thelon). In the metaphysics of Aristotle, the unconcealedness of beings as such has specifically developed in this twofold manner.
Because it represents beings as beings, metaphysics is, in a twofold and yet unitary manner, the truth of beings in their universality and in the highest being. According to its essence, metaphysics at the same time both ontology in the narrower sense, and theology. This onto-theo-logical essence of philosophy proper (prote philosophia, first philosophy, filsafat pertama) must indeed be grounded in the way in which the on opens up in it, namely, as on.â
Sedangkan dalam âThe Onto-Theo-Logical Constitution of Metaphysics,â Identity and Difference, New York: Harper Torchbooks, 1974, hlm. 54, Heidegger menulis:
âWestern metaphyiscs, however, since its beginning with the Greeks has eminently been both ontology and theology, still without being tied to these rubrics. For this reason my inaugural lecture What is Metaphysics (1929) defines metaphysics as the question about beings as such and as a whole. The wholeness of this whole is the unity of all beings that unifies as the generative ground. To those who can read, this means: metaphysics is onto-theo-logy.
1. Dalam paragraf-paragraf itu, Heidegger menerangkan bahwa esensi Metafisika adalah cirinya yang âonto-theo-logis.â Uraikanlah apa artinya, dan berikan contoh konkret dan sederhana untuk memberikan âdagingâ bagi analisis Heidegger ini!
Metafisika sebelum Heidegger dikenal sebagai pembicaraan tentang âada sebagaimana ada-nya sendiriâ (being qua being). Kata âbeingâ merujuk pada apa saja, entah itu yang inteligibel maupun sensibel. Melampaui apakah malaikat itu bisa dilihat atau tidak, apakah meja itu bisa dilihat atau tidak, yang jelas malaikat dan meja itu âadaâ. Jadi, metafisika tidak tertarik dengan aspek-aspek partikular atas âadaâ (berat, panjang, dll). Metafisika mau mempertanyakan dan membahas âadaâ-nya sendiri dari binatang atau malaikat itu âsejauh ia adaâ. Binatang âadaâ dan malaikat âadaâ, dan terlepas dari segala sudut pandang partikular atasnya, Metafisika mencari âada sejauh adaâ itu sendiri.
Heidegger menunjukkan bahwa metafisika yang seperti itu ternyata memiliki struktur onto-theo-logis. Setelah melampaui pembahasan binatang atau malaikat dari sudut ilmu partikular, dan mencoba membahas ada-nya dalam dirinya sendiri, orang biasanya akan tiba pada sebuah âadaâ yang paling umum atau universal, atau pada sebuah âadaâ yang paling ilahi. âAdaâ tersebut lalu dijadikan sebagai âsebab akhirâ atau sebagai âpengasal,â atau âpenciptaâ. Ada sejauh âadaâ (to on) akhrinya diperlihatkan sebagai âyang paling umumâ dalam arti yang paling tinggi atau yang paling ilahi (theos). Metafisika semacam itu bersifat ontologi sekaligus teologi. Semuanya itu kemudian dibungkus atau dibicarakan dalam sebuah wacana dan uraian yang benar (logos).
Heidegger melihat bahwa dengan demikian, metafisika onto-theo-logis selalu berpretensi atau berambisi menemukan âkebenaranâ lewat representasi yang mereka temukan disekitarnya. Tetapi ia melihat ada masalah. Benda, terlepas dari kesadaran kita, sudah mem-presentasi-kan dirinya. Ketika saya menyadari benda tersebut, maka yang terjadi adalah kita me-representasi-kan benda tersebut dalam kesadaran kita. Yang namanya representasi itu tidak pernah mengacu kepada keseluruhan realitas benda. Representasi mencerabut kekayaan realitas, mereduksinya. Di sini masalahnya: metafisika ontoteologis selalu berpretensi mewakili keseluruhan, padahal dalam kesadaran atas realitas selalu ada reduksi.
Heidegger kemudian menyimpulkan bahwa metafisika yang seperti itu sebenarnya tidak pernah sampai pada pemebahasan âadaâ dalam dirinya sendiri. Kenapa begitu? Kenapa sulit sekali untuk membicarakan being qua being? Menurut Heidegger, itu karena âadaâ memang bersifat mewujudkan sekaligus menyembunyikan dirinya.
âAda,â bagi Heidegger, tidak pernah dapat habis diuraikan karena setiap ia muncul, ia muncul dalam bentuk sebuah representasi, sehingga ia juga menyembunyikan dirinya. Kebenaran âadaâ bagi Heidegger adalah a-letheia. (âtidak lupaâ, âsejauh tersingkap dari kelupaan,â âketaktersembunyian). Bila kebenaran adalah a-letheia, konsep ini dengan sendirinya mengandaikan adanya lethe (sesuatu yang masih menunggu untuk disingkapkan dari kelupaannya); the unthought.
Itulah mengapa, supaya âadaâ dalam dirinya sendiri dapat dibicarakan, Heidegger mengatakan bahwa kita membutuhkan sebuah ruang pembicaraan atau wacana yang disebut ontologi fundamental. Tujuannya ontologi fundamental adalah tidak lagi mencari kebenaran dari âadaâ sebagaimana termanifestasi dalam representasi-representasi atas âadaâ tersebut, melainkan masuk lebih dalam lagi dan membicarakan kembali âadaâ dalam dirinya sendiri. Heidegger mengajak kita beralih dari âberpikir tentang âadaâ via representasiâ ke âberpikir tentang ada itu sendiri.â
2. Kaitkan juga penjelasan ini dengan konsep âpembedaan ontologis,â yang menurut Heidegger berawal dari âKhoraâ-nya Platon!
Pembedaan ontologis—pembedaan antara Sein (Be/Ada) dan Seindes (beings/adaan-adaan)—merupakan pokok utama dalam Ontologi Fundamental Heidegger.
Bayangkan seseorang yang mau membeli buah-buahan. Ia ke pasar, lalu berkata pada pedagang buah: âSaya mau membeli buah, Pak.â Pedagang buah lalu menawarkan buah apel, buah pisang, buah mangga, buah jeruk, dan buah delima, dan segala buah-buahan yang ada di warungnya. Tetapi orang itu selalu menjawab âTidak, Pak. Saya mau membeli buah.â Meskipun benda-benda yang ditawarkan pedagang toh juga buah-buahan, âbuahâ yang dicari oleh si pembeli tidak juga ketemu.
Ternyata, orang tersebut adalah seorang metafisikus, dan yang dicarinya adalah ke-buah-an. âKe-buah-anâ yang dicari itu semacam karakter paling umum dan paling mulia atau tinggi dari segala buah-buahan yang ada. Sedangkan âbuahâ hanyalah adalah nama generik dan umum yang merangkumi segala macam-macam buah-buahan yang ada.
Apakah seperti itu yang dimaksudkan Heidegger dengan âPembedaan ontologisâ antara Be dan being? Apakah kebuahan merupakan Be, dan âbuah-buahâ partikular itu adalah beings? Bukan! Apakah kalau beings itu semua dikumpulkan lalu didapatkan Be? Bukan! Be bukanlah kumpulan atau karakter umum dari beings.
Be yang Heidegger maksud âdalam arti tertentuâ adalah yang mendasari, dasar yang menopang, yang menjadi ground, yang meng-ada-kan semua beings. Disebut âdalam arti tertentu,â karena Be yang mendasari ada-nya beings itu juga bukanlah sebuah âlandasan.â Be tidak meng-ada-kan beings melalui hubungan kausal-kausal yang rasional (karena ada Be, maka beings dapat ada), melainkan lewat aktivitas âperwahyuanâ atau âketersingkapan.â
Pembedaan ontologis ini menurut Heidegger berawal dari Platon dalam penjelasannya tentang khora. Konsep khora merujuk pada suatu gap atau ruang di antara dunia real dengan dunia Forma. Disebut juga suatu rahim, atau matriks. Dalam Timaeos, diceritakan tentang penciptaan dunia, yaitu bahwa dunia itu diciptakan menurut apa yang Demiurgos membayangkan mengenai Paradeigma. Khora adalah sebuah wadah atau tempat di mana yang sensibel (air, api, udara, tanah) dibuat. Karena yang sensibel merupakan hasil bayangan Demiurgos, maka tidak se-ideal paradeigma. Khora ini juga termasuk ke dalam âbentuk ke tigaâ (the 3rd kind), setelah yang sensibel dan inteligibel.
Dalam pemikiran Heidegger, khora kemudian menjadi suatu ruang di antara Being dan beings. Khora adalah ontological differance itu sendiri, pembeda ontologiss antara Being dan beings. Ia berasal dari yang âlain,â the 3rd kind, yang tidak bisa dipikirkan dan tidak bisa dibicarakan.
Di mata Heidegger, Be yang selalu dilupakan oleh sejarah filsafat ini adalah semacam âkedalaman yang lebih dalam, yang tak terbahasakan, dan tak terpikirkan oleh logosâ. Menurut Heidegger, kita bisa memiliki akses pada Be ini bukan lagi lewat rasio-analitis yang memakai logika, melainkan kita mesti memasukkan âmeditative thinkingâ di mana kita hanya menunggu âself-revelationâ dari sang Ada itu.
3. Secara umum, apa kritikan yang dapat diberikan kepada Ontologi Fundamental Heidegger?
Dengan begitu, Heidegger menawarkan cara berpikir yang lain, yang tanpa rasio. Kritikannya adalah apakah mungkin kita memikirkan sebuah âAdaâ yang diluar bahasa dan logika?
Kritikan yang lain lihat Levinas.
BâPertanyaan Undian
1. Konteks Pemikiran Heidegger
a) Bagaimana Metafisika digambarkan dalam telaah-telaah filsafat saat ini, dan dalam arti apa Metafisika dikatakan sebagai âmelanggengkanâ kekerasan?
Sikap Metafisika yang dianggap mengusung kebenaran dogmatis (atau eksesif) cenderung dekat dengan sikap yang keras (berpretensi, berambisi). Secara teoretis, saat sebuah kebenaran metafisis sudah ditetapkan, maka yang lainnya harus dianggap salah. Kekerasan sudah bisa muncul pada tingkatan tersebut. Apalagi bila sikap yang mendewakan kebenaran ini lantas diterapkan dalam persoalan praktis, akibatnya bisa mengerikan. Kita dapat melihat hal ini dalam diri orang-orang yang fanatik. Atas dasar doktrin Metafisis (kebenaran yang ia yakini), ia bisa menyalahkan dan meniadakan semua ajaran lainnya dan perilaku sosialnya lantas tidak manusiawi.
Heidegger bahkan lebih tegas lagi mengaitkan Metafisika, modernitas, dan teknologi. Metafisika sebagai sebuah âontoteologiâ secara niscaya bersifat saintifik. Ketika yang terdasar dari realitas sudah bisa ditangkap dan dipahami, maka manusia akan cenderung menerapkannya (kalkulatif). Hasil teknologi memang berguna, namun dari situ jugalah asal mula kekerasan; peperangan, pembunuhan, perlakuan pada dunia, dan manusia sebagai materi belaka.
b) Apa artinya intensionalitas (teori dari Husserl) dan bagaimana pengaruhnya pada Heidegger?
Husserl berhadapan dengan dua aliran di masanya, dan menurutnya, keduanya bermasalah:
-
Psikologisme: yang tidak memberi akses kepada realitas (karena semua total kesadaran)
-
Naturalisme: yang tidak memberi penjelasan soal âmaknaâ
Di satu sisi, semua realitas lalu disubjektivir (hanya sebagai kesadaran saja) dan di sisi lain, semua realitas diobjektivir (sehingga kesadaran pun dianggap objek).
Di sini Husserl lantas menemukan bahwa kesadaran manusia âselalu telah berujud sebagai kesadaran akan sesuatuâ (in-tensio=dalam ketegangan). Ia menamakannya Intensionalitas. Ada dua macam gerakan intensionalitas:
-
Gerak aktif: tegangan dari gerakan kesadaran yang selalu keluar dari dirinya, âkesadaran yang terarah pad objek di luar dirinyaâ. Di tahap ini, bahkan âkesadaran akan kesadaranâ itu sendiri merupakan gerak keluar dari kesadaran tersebut. Kesadaran kita selalu merupakan kesadaran akan sesuatu (sifatnya adalah ânecessityâ).
-
Gerak pasif: kesadaran selalu berhadapan dengan ârealitas (objek) yang sudah selalu memberikan dirinyaâ (presentasi). Di sini kita berhadapan dengan apa yang disebut self-givenness dari objek atau realitas itu sendiri. Sifat dari pemberian diri objek ini adalah âpossibility.â Self-givenness tampak pada pada kesadaran dalam bentuk âstimmungâ (suasana batin); kesadaran pra-refleksif.
Maka, Husserl melihat pentingnya sikap epoche (menangguhkan, menahan, meletakkan dalam tanda kurung) dalam melihat realitas. Kesadaran kita harus dikonvergensikan dengan kesadaran yang lain. Mendeskripsikan terus seluas mungkin, bahkan hingga tak ada keputusan.
Rupanya Heidegger melanjutkan apa yang sudah ditemukan Husserl mengenai âdimensi penghayatan fundamental hidup yang dihayatiâ di mana objek di depan kita selalu sudah memberikan dirinya bukan dalam bentuk kesadaran melainkan dalam bentuk stimmung. Dimensi âpasifâ dari self-givenness objek inilah yang lalu diperdalam oleh Heidegger untuk mengkritik âteori kesadaranâ (yang masih kuat dalam Husserl), sekaligus memperdalam konsepnya tentang âpikiranâ sebagai âketerbukaan pada sang Ada.â
Tampaknya analisis atas âkesadaranâ yang dibuat Husserl ini yang lalu bisa menjawab, misalnya, pertanyaan kita kepada Heidegger âmengapa Ada mewahyukan diri dalam gerak penyingkapan dan ketersembunyian?â
Heidegger dalam pemikirannya kemudian akan mengubah fenomenologi menjadi sebuah âontologi.â Tekanan Heidegger bukan lagi pada soal pemahaman (aktivitas kesadaran untuk memahami objek di depannya) melainkan soal Be (Sein).
c) Apa itu phusis bagi Heidegger?
Phusis bagi Heidegger adalah segala realitas yang ada secara keseluruhan, the self forming prevailing of beings as a whole. Phusis menunjuk pada apa pun yang ada di dekat manusia, yang menopang dan melingkupinya, apapun yang dimengerti manusia sebagai âadaâ. (Singkat=Ada/Being; meja, kursi, termasuk yang inteligibel).
Phusis jangan disempitkan hanya untuk menunjuk fenomen âtanamanâ atau âbinatangâ belaka. Nature tidak boleh direduksi sebagaimana dilakukan kebanyakan orang menjadi sekadar object of natural science atau merujuk pada sesuatu yang pra-saintifik.
Logos, dalam hal ini, selalu berusaha mencerabut, mengkonsepsi, mengatakan padahal ia tidak dapat menyatakan seluruh realitas. Realitas/phusis selalu lebih besar daripada konsepsi yang dibentuk logos. Menurut Heidegger, memang menjadi dari esensi yang âprevailingâ (phusis) itu sendiri untuk dikatakan/dinyatakan secara tertentu oleh manusia sejauh manusia hidup di antara phusis itu sendiri.
Menurut Heidegger, maknanya menjadi jelas bila melawankan kata legein (bringing to word) dan kruptein (not letting come to word). Ia mencari legitimasinya dalam pemikiran Herakleitos. âOrakel tidak mengatakan apa-apa dan tidak juga menyembunyikan, tetapi memberikan tanda.â
Padahal, (1) Herakleitos justru ingin berbicara tentang memberikan tanda yang selalu ambigu, bukan pertama-tama mau berbicara tentang legein dan kruptein.
Menurut Heidegger, logos merenggut sesuatu dari persembunyiannya. Namun jelas juga bahwa meski direnggut oleh logos, yang namanya phusis tetap tersembunyi.
Padahal, (2) Herakleitos sama sekali tidak berbicara tentang âesensiâ phusis, melainkan sekadar merujuk pada cara operasi dan dinamisme phusis yang sukanya begitu. Cara phusis berdinamika adalah lewat penyatuan dari hal yang bertentangan. Dengan demikian, teks Herakleitos sama sekali tidak berbicara tentang sesuatu yang tersembunyi.
2. Konteks Pemikiran Platon
a) Aletheia adalah doktrin penting tentang kebenaran versi Heidegger. Bagaimana Heidegger menjelaskan evolusi munculnya aletheia sebagai âketaktersembunyianâ (dalam Alegori Goa Platon)?
Heidegger memaknai aletheia sebagai ketersingkapan; sesuatu yang direnggut dari ketersembunyiannya. Bagi Heidegger, aletheia adalah sebuah kata Yunani bentukan âa privative+lethe). Dalam bentuknya yang privatif (mengurangi), maka aletheia menunjuk pada ketaktersembunyian. Dalam arti ini, Heidegger menafsirkan bahwa bagi orang Yunani kebenaran (truth sebagai aletheia) merujuk pada sesuatu yang dipisahkan/direnggut dari ketersembunyian. Jadi, soal truth bagi Heidegger sama sekali tidak berkaitan dengan pembuktian proposisi-proposisi. Yang masih tersembunyi bukan hanya âhigherâ tapi juga paling khas.
Menurut Heidegger, sekali lagi, kebenaran âXâ adalah ketersembunyian. Kebenaran bukanlah ketepatan pikiran dengan kenyataan, melainkan yang ada hanyalah ketersingkapan. Kegawatan: tidak ada benar/salah, karena ada yang tersembunyi atau sejauh tertampakkan saja (ada krisis moral).
Tesis Heidegger mengatakan bahwa inti kebenaran sejak zaman Prasokratik sebenarnya adalah âpenyingkapanâ sebelum âkebenaran sebagai penyingkapanâ ini diselewengkan menjadi âkebenaran korespondensiâ. Jejaknya dapat kita lacak dalam Alegori Goa. Menurut Heidegger, Platon mengidentikkan âdegrees of beingâ dan âdegrees of truth.â
Menurut Heidegger, yang utama dari Alegori Goa Platon melupakan unsur âgelapâ-nya. Manusia goa bisa melihat karena ada gelap!
Situasi | Being (yang dilihat) | Kebenaran (yang dicapai) |
---|---|---|
Tahanan terantai | Alethes: Melihat bayang-bayang, namun dianggap benar. | Kebenaran artinya penyingkapan (disclosure) |
Tahanan yang bebas dari rantai (masih dalam goa) | Alethestera: ânearer to realityâ; truer | Dan truer bagi Heidegger artinya âmore disclosedâ. |
Tahanan yang keluar goa | Alethestata: âthe truest realityâ; (istilah yang tidak ada di Politeia-dari Sophistes tetapi dirujukkan Heidegger ke idea, terasa dipaksakan.â | Kebenaran paling tinggi; karena di idea kita menemukan the essence of things |
b) Bagaimana sikap terakhir Heidegger sendiri berkenaan dengan aletheia?
Tahun 1964, Heidegger menarik kembali apa yang semula ia tekankan sebagai konsep terbenar mengenai aletheia yang adalah a-privativum. Heidegger menerima kritikan para ahli bahasa Yunani dan mengakui bahwa dalam arti Yunaninya, aletheia memang merujuk pada âketepatan proposisi,â atau kesesuaian pikiran dengan kenyataan. Alethes dalam Homeros tidak pernah sekadar âkata yang diucapkanâ, melainkan sebuah âkata-kata yang diucapkan secara tepat, berkorespondensi secara tepat dengan sesuatu.â
Sebelumnya, Heidegger menuduh bahwa dengan Platon, kebenaran menjadi sekadar homoiosis (kesesuaian, ketepatan melihat). Nyatanya, memang demikian adanya kebenaran (tuduhan Heidegger salah).
Heidegger membela diri, kalau selama ini ia mengusulkan aletheia sebagai âketaktersembunyian,â itu bukan karena alasan etimologis. Ia memberi usulan pemahaman tentang kebenaran sebagai ketaktersembunyian karena menurutnya tafsir seperti itulah yang menolongnya dengan subur untuk memikirkan apa yang menjadi problem utama filsafat, yaitu soal ada dan pikiran.
c) Dalam uraian tentang Kebaikan sebagai anhipotetik, kita bisa menegarai bahwa Platon tidak bisa disebut sebagai pemikir onto-theo-logis. Terangkan artinya dalam konteks teori pengetahuan Platon! (termasuk menerangkan apa arti idea bagi Platon)
3. Konteks Pemikiran Aristoteles
a) Terangkanlah konteks munculnya ilmu âmetafisikaâ di Aristoteles!
Judul metafisika atau lebih tepatnya berbentuk jamak: hal2 yang metafisis (ta meta ta phusika) tidak berasal dari Aristoteles sendiri melainkan dari beberapa orang lain yang mengedisi teks-teksnya.
Salah satu nama editor yang selalu dianggap menjadi pengasal nama Metafisika adalah Andronikos dari Rhodes (pimpinan ke-11 Lykeos, sekolah yang didirikan Aristoteles)
Pertama, edisi buatan Hermippios (pustakawan Alexandria) atau Ariston de Ceos yang menurut kesaksian Diogenes Laertios, menyusun teks-teks Aristoteles yang jumlahnya lebih sedikit daripada yang sekarang kita miliki. Edisi pertama ini tidak menggunakan judul ta meta ta phusika
Edisi kedua, karya seorang anonym yang dikaitkan dengan nama Hesychius, ditemukan dan diterbitkan oleh Gilles Menage juga sudah memakai judul ta meta ta phusika
Teks-teks yang disatukan Andronikos bukanlah sekadar teks kompilasi campuran tanpa struktur. Ada kesatuan tematis dari klarifikasi buku-buku Aristoteles yang dibuat oleh Andronikos ini.
Metafisika adalah sebuah pengetahuan yang bagi kita meskipun sifatnya setelah fisika, namun secara kodrati (nature) merupakan pengetahuan yang mendahului Fisika
Bagi kita, metafisika berarti âsetelah fisika.â Pembedaan cara pandang bagi kita dan menurut kodratnya ini adalah metode yang ada di dalam buku Metafisika sendiri, dan peralihan dari satu ke yang lainnya dikatakan Aristoteles dengan istilah meta (metaoainein, merujuk pada peralihan analisis dari pembahasan soal substansi sensible ke forma pembentuknya)
Merujuk pada argumentasi Alexander dari Aphrodisia (salah satu komentator besar Aristoteles), bagi Aristoteles Fisika (filsafat kedua) dan Metafisika (filsafat pertama) bukan dua domain ilmu berbeda melainkan dua bentuk dari satu disiplin ilmu yang sama yaitu filsafat. Sebagai pencarian prinsip2, objek penyelidikan filsafat adalah yang ada sebagai yang ada. Namun, cara pandang dan cara mengkajinya bisa berbeda-beda
Metafisika secara kronologis memang ilmu yang dipelajari setelah ilmu Fisika, persis karena seturut derajat pengetahuannya, Metafisika adalah ilmu yang lebih tinggi (lebih pertama daripada Fisika). Disebut setelah Fisika, karena seturut tingkatan pengetahuan, pengetahuan tentang being qua being objeknya memang paling sulit untuk kita (pour nous)
b) Istilah âmetafisikaâ bagi Aristoteles bukanlah sekadar istilah editorial dan teknis belaka. Untuk apa yang kita sebut âmetafisika,â Aristoteles mempunyai tiga nama. Sebutkan apa saja dan terangkan objek kajiannya! Kemudian, bagaimana hubungannya dengan pembagian Aristoteles tentang ilmu poiesis, praxis, dan teoretis?
Tiga nama untuk Metafisika menurut Aristoteles:
- Sophia: kebijaksanaan, pengetahuan mengenai sebab-sebab dan penemuan atasnya.
Sophia adalah pengetahuan tertinggi atau terakhir karena objeknya adalah sebab-sebab dan prinsip- prinsip pertama
Pertama, Sophia berambisi mendapatkan pengetahuan akan segala hal dan segala dasar (substrat) yang bisa diketahui. Karena objeknya yang demikian, ilmu ini sulit karena âjauh dari apa-apa yang bersifat indriawiâ
Kedua, ilmu ini lebih eksak karena prinsip yang diselidiki jumlahnya lebih sedikit daripada ilmu-ilmu lain turunan darinya. Contoh, Aritmetika lebih eksak daripada Geometri
Dalam arti ini, Sophia adalah ilmu yang bersifat pertama karena ia bersifat arkhitektonis (menjadi arche, landasan/prinsip structural yang membimbing ilmu2 turunan/terapan darinya)
Sophia adalah ilmu yang universal dan pertama yang tidak saling bertentangan
Dalam pandangan Aristoteles, sifat universal dan pertama ini tidak bertentangan mengingat metode induksi dan deduksi merupakan dua fase dari satu metode kerja yang sama (induksi: dari data2 mengerucut ke kesimpulan; deduksi: dari kesimpulan ke semua data); kedua metode ini adalah temuan Sokrates. Isi pembahasan Sophia persis sama dengan teori yang sudah ia bahas sebelumnya di Fisika tentang 4 causa.
- Ilmu tentang being qua being
Ilmu yang menyelidiki being qua being ini merupakan sebuah cara baru berfilsafat. Dan sejauh ia menyelidiki scara khusus kausalitas forma maka ia juga menjadi filsafat pertama. Jika dibandingkan dengan fisika yang hanya membahas salah satu genus (adaan), yaitu substansi fisis, maka seorang filsuf akan beranjak lebih jauh mencari causa ada ânya subsatansi fisis itu (totalitas adaan). Dan penemuan si filsuf bukan lagi merujuk pada causa dalam arti elemen-elemen material, melainkan sebuah forma atau struktur umum dari hal-hal yang ia selidiki. Penemuan adanya causa formalis ini membuat pencarian esensi dan definisi menjadi penting.
Being qua being tidak merujuk pada sesuatu/sebuah hal, tetapi merujuk pada perspektif yang dengannya kita memperlakukan being sebagai objek sebuah sains/ilmu/filsafat
Genus, contoh: homo/manusia. Genus + perbedaan spesifik, misal, genus homo + hidup di zaman sekarang -ï contoh homo sapiens. Spesies + perbedaan spesifik –ï mis spesies homo sapiens + hidup di jawa -ï hasilnya adalah individu Jawa. Individu : manusia Jawa
Ilmu yang menyelidiki being qua being ini merupakan sebuah cara baru berfilsafat. Dan sejauh ia menyelidiki secara khusus kausalitas forma maka ia juga menjadi filsafat pertama. Jika dibandingkan dengan Fisika yang hanya membahas salah satu genus (adaan), yaitu substansi fisis, maka seorang filsuf akan beranjak lebih jauh mencari causa ada-nya substansi fisis itu. Dan penemuan si filsuf bukan lagi merujuk pada causa dalam arti elemen2 material, melainkan sebuah forma atau struktur umum dari hal2 yang ia selidiki. Penemuan adanya causa formalis ini membuat pencarian esensi dan definisi menjadi penting.
- Filsafat Pertama (prote philosophia)
Dalam buku epsilon, filsafat dibicarakan dalam hubungannya dengan ilmu Fisika dan Metematika. Ketiganya, dikategorikan sebagai âilmu teoretisâ .
Pembagian ilmu-ilmu:
Poesis | Pengetahuan yang membuat orang bisa membuat sesuatu, produk, karya kerajinan yang bisa dilepaskan dari pembuatnya. | |
---|---|---|
Praxis | Pengetahuan yang objeknya adalah moral dan politik, ujudnya dalam tindakan politik/action. | |
Teoretis | Selain pengetahuan praktis, ada pengetahuan theoreia (kontemplasi; pengetahuan murni yang dibedakan dari pengetahuan terapan), manusia tidak diwajibkan memproduksi sesuatu, namun membahagiakan. Bagi Aristoteles, manusia secara alamiah bersifat kontemplatif, secara alamiah manusia menyukai pengetahuan yang tidak selalu bisa diterapkan atau bersifat produktif. Manusia mengambil jarak dari âkemampuannya untuk berproduksiâ guna menimbang âkausalitasâ dalam dirinya sendiri untuk hal-hal yang ia amati. Dalam ilmu teoretis inilah ditemukan bahwa sains/pengetahuan adalah sains mengenai âsebab-sebab.â | |
Ada tiga cabang Ilmu Teoretis: | ||
1. Fisika, objeknya bersifat tidak terpisahkan dari materi dan sifatnya mobil (bisa bergerak, berubah). Contoh, hidung pesek, mata, wajah, dll. 2. Mathematika, objeknya adalah hal2 yang tidak ber-ada secara riil namun hanya merupakan abstraksi di dalam kepala kita. Sifat objek: bisa dipisahkan (dari materi) dan imobil (tidak berubah). Abstraksi âkuantitas dan kualitasâ benda2, bekerja dengan angka2, angka tidak berubah (immobile). 3. Theologia, objeknya adalah apa yang terpisah (dipisahkan dari benda) dan bersifat imobil (tidak bergerak dan tidak berubah). |
4. Konteks Pemikiran Plotinos
a) Terangkan logika internal Prosesi Realitas yang dikenal dengan nama energeia ganda (double energy, double acts, actus ganda)!
Plotinos akan mengembangkan tafsiran khasnya Platon (Kebaikan = beyond essence).
- Prosesi Realitas
Plotinos akan menguraikan secara rasional âbagaimanaâ yang ada itu ada. Titik tolaknya adalah sesuatu yang sempurna (en-ergon, energeia, entelekheia-en telos), yang dengan sendirinya akan memancarkan aktivitas. Prosesi adalah sebuah arak-arakan, di mana urut-urutannya tidak boleh dikacaukan (bayangkan prosesi dalam ekaristi).
Dari To Hen (The One/Lâun[e]) yang sempurna, yang tidak butuh apa-apa, yang maha sederhana, tidak bisa dipikirkan memiliki apa-apa persis karena ia menjadi sumber segala apa yang ada, yang ditangkap pikiran mengalir materi intelligible, tanpa bentuk dan masih bukan apa-apa.
Materi intelligible inilah pada saat melakukan âconversionâ (membersihkan diri dan menaik dari hupostasis Jiwa menuju Yang Satu) lalu berubah menjadi Nous: hypostasis (atau realitas) kedua yang merupakan pikiran (nous) yang memikirkan (noesis) isi pikirannya (noemata) sendiri.
Aktivitas utama dari pikiran ini adalah kontemplasi atas dirinya sendiri. Berada di luar waktu, berada di luar kemenjadian, kesempurnaan being-thinking-living ini mirip dengan â motor immobileâ pada Arsitoteles yang dikatakan juga dalam kondisi â berbahagiaâ dalam aktivitas â theoreiaâ nya.
Motor immobile dalam dirinya sendiri adalah sempurna (energeia). Secara internal, ia tidak memiliki aktivitas lain kecuali mengkontemplasikan dirinya sendiri dan roh, meski begitu, bukan berarti ia tidak berbuah apa-apa.
Secara eksternal, karena ia dihasrati, ia justru memproduksi gerakan menjadi motor, tanpa ia sendiri berubah. Secara sederhana, kita pakai skema Aristoteles tentang potensi-aktus-energeia:
-
Potentia pertama: A tidak tahu bahasa Prancis
-
Aktus pertama: A belajar bahasa dan akhirnya bisa berbahasa Prancis
-
Potentia kedua/hexis/habitus: A tidur, maka kemampuan berbahasa tidak nampak dan laten.
-
Aktus kedua atau energeia: A bangun lalu mulai ngoceh bahasa Prancis
-
Dalam proses 3 ke 4 ada âgerakanâ tetapi âtanpa perubahan nyataâ. Ketika orang memiliki kemampuan berbahasa (berada dalam energeia-nya), secara niscaya dan otomatis ia akan memproduksi aktivitas berbahasa. Kesempurnaan internal âmenguasai sebuah bahasaâ dengan sendirinya âmemancar keluarâ dalam aktivitas eksternal berbahasa.
Teori tentang kesempurnaan sesuatu (energeia) inilah yang diekstrapolasi (diperluas tetapi tetap menggunakan pola pemikiran sebelumnya) oleh Plotinos menjadi âlogika internal energeia ganda Prosesi Realitasâ. Plotinos menjelaskan bahwa yang ada menjadi ada berkat logika internal seperti itu.
The One - energeia ganda: kesempurnaan dalam dirinya sendiri. Istilah ini mengacu pada To Hen dan Nous. The One (as causa efficient) dengan sendirinya ia mengalirkan âsesuatu yang lainâ: degradasi. The One (as a final cause): aktualisasi atau penyempurnaan intelek. Bagi Plotinos, ada DUALITAS: dunia ideal dan real.
b) Uraikan tiga hipostasis menurut Plotinos!
Tiga Hipostasis menurut Plotinos:
-
Hipostasis pertama: To Hen (Yang Satu) / Noetic Vision. Seringkali dikatakan Plotinos sebagai kabaikan (merujuk pada Matahari-Kebaikan pada alegori gua Platon di Politeia). Kebaikan atau To Hen adalah Sang Sumber asal segala sesuatu.
-
Hipostasis kedua: Dari kesempurnaan Yang Satu, muncullah Intelek (Nous) yang juga merupakan realitas yang sempurna. Nous ini yang mirip dengan motor immobile pada Aristoteles, sebagai hipostasis kedua. Mengapa? Karena Nous memikirkan (noesis) isi pikirannya (noemata) sendiri. Dengan berpegang pada prinsip âenergeia gandaâ, kesempurnaan intelek akan mengalir hal lain keluar dari dirinya.
-
Hipostasis ketiga: Dari aktivitas utamanya yang adalah kontemplasi diri, sebuah aktivitas produktif keluar begitu saja memunculkan hipostasi ketiga: Jiwa (Psukhe). Sama seperti hipostasis intelek yang keluar dan menjadi realitas independen, tetaplah âtergantungâ (menyatu) dengan asalnya, Yang Satu, maka hipostasis Jiwa pun menyatu dengan asalnya, yakni Intelek. Jika hipostasis jiwa ini akan terpilah-pilah menjadi Jiwa Dunia dan Jiwa Individu-Individu (termasuk planet, bintang, manusia), maka jiwa-jiwa individual ini tersatukan di bagian âatasnyaâ yang tetap menggantung pada Intelek. Bagian atas inilah yang disebut jiwa hipostasis. Pada saat terbentuknya jiwa ini, maka âwaktuâ turut lahir. Jika di Yang Satu dan Intelek kita manusia tidak mampu memilahnya (karena mereka di luar ruang dan waktu), maka dengan hadirnya â waktuâ , maka Jiwa bisa kita pilah-pilah secara berbeda-beda. Jiwa manusia lahir di tataran ini.
c) Bagaimana Plotinos lolos dari analisis onto-theo-logis Heidegger?
Plotinos lolos dari Analisis Onto-theo-logis Heidegger
Plotinos secara umum menolak bahwa ontologi (pemikiran tentang being) menjadi pemikiran yang tertinggi. Dalam hierarki pengetahuan filosofis, ia lebih berbicara tentang henologi (To Hen = Yang Satu). Penangkapan being bukanlah yang tertinggi dalam hierarki pengetahuan manusia. Being bukan yang pertama dan bukan yang paling universal. Persoalan being hanya berada di tingkat hipostasis kedua: Nous - Di atas Nous masih ada To Hen yang adalah paling pertama dan esensial. Ada sesuatu yang melampaui (beyond) being!
Pemikiran ini menunjukkan struktur onto-theo-logis ciptaan Heidegger memang murni rekaan pikiran Heidegger sendiri dan sama sekali bukan keniscayaan logis struktur berpikir manusia. Ontologi Plotinian juga tidak berbicara dan berujung pada teologi. Teologi bagi Heidegger adalah sebuah â interpretasi di mana yang dinamakan causa dan being adalah Tuhan, dan causa itu mengandung â beâ di dalam dirinya, lalu membuat â beâ itu keluar dan mentransfernya ke being, karena ia (Tuhan) adalah Being paling tinggi/maksimumâ .
Menurut Plotinos, di atas being tidak ada being maksimum apa pun. Kita tidak menemukan âsummum ensâ yang dianggap sebagai causa dan sumber transfer âbeâ kepada beings lainnya. Yang Satu menurut Plotinos memang causa bagi beings dan persis karena ia causa, maka ia sendiri bukanlah being. Dalam skema Neoplatonisian, sebuah causa tidak memiliki ciri-ciri dari efek yang muncul darinya. Maka, dengan jelas bisa dikatakan tidak ada onto-theo-logis dalam Plotinos. Metafisika: sejauh ia memang mengajak kita untuk melongok ke soal-soal prinsip-prinsip dan sebab-sebab pertama bagi realitas. Ada 2 Jalan untuk memahami To Hen: Jalan Possitif: lewat jalan berpikir dan jalan Negatif: bahasa tidak dapat diungkapkan.
Yang Satu: huper (beyond)-on. Plotinos memberi sumbangan kemungkinan dengan âmerekonstruksi fungsi bahasa dengan analogiâ bukan seperti Heidegger: puisi atau mutisme (diam). Ia menggunakan sumber daya internal dari bahasa itu sendiri, dengan segala keterbatasan dan potensinya untuk mewacanakan dan memikirkan apa yang menurutnya bukan-ada kerena âmelampauiâ ada (dan pikiran manusia).
5. Konteks Pemikiran Immanuel Kant
a) Kant menunjukkan batas-batas pengetahuan kita tentang Metafisika. Uraikan bagaimana teori Kant tentang pengetahuan dapat menunjukkan kemustahilan Metafisika! (dalam Critique of Pure Reason)
Dalam Kritik Rasio Murni, Kant menguraikan teori tentang pengetahuan yang menunjukkan kemustahilan Metafisika.
Kant menyatakan bahwa objek metafisika ada 3:
-
Dunia sebagai keseluruhan (bukan dalam arti dunia empiris);
-
Jiwa dalam arti âkebebasanâ dan immortal;
-
Allah.
Ketiganya adalah objek metafisis karena tidak bisa dilihat dan tidak bisa diraba (tidak bisa menjadi objek pengetahuan tidak berada dlm ruang dan waktu). Ketiga hal di atas disebut idea regulative yang penting guna menempatkan apa-apa yang kita kenali dengan akal (verstand) sehingga kita bisa mengertinya dengan budi (vernunft). Contoh vernunft arah mata angin.
Metode filsafat Kant disebut metode âkritisâ: kita diajak memikirkan âsyarat-syarat mutlakâ atau âsyarat transcendentalâ bagi pengetahuan (kritik pertama) dan tindakan moral (kritik kedua) utk memahami yg inderawi.
Menurut Kant, semua pengetahuan empiris tersusun atas dua unsur: intuisi dan konsep. Intuisi adalah apa-apa yang diberikan kepada kita lewat indera. Semenara konsep adalah kata atau pemikiran yang kita pakai untuk mengelola intuisi. Ruang dan waktu adalah intuisi transcendental, sementara 12 kategori adalah konsep transcendental (4 kelompok besar: kuantitas, kualitas, relasi dan modalitas).
Dalam Kritik tentang Nalar Budi Murni, Kant menjelaskan batas-batas pengetahuan manusia (apa yang dapat saya ketahui). Kant dengan tegas membatasi pengetahuan manusia pada objek-objek inderawi, yaitu hal-hal apa saja yang dapat dialami dalam a priori ruang dan waktu.
-
Sinneswahrnehmung (Pencerapan inderawi/pengalaman) = data inderawi + a priori (ruang dan waktu)
-
Verstand (pengetahuan akal budi) = pengetahuan inderawi + a priori (12 kategori)
-
Vernunft (budi)
Metafisika tradisional yang mengklaim memiliki pengetahuan tentang jiwa, dunia dan Allah menjadi mustahil sebagai ilmu pengetahuan karena hal-hal itu bukanlah data inderawi yang dapat ditangkap dalam a priori ruang dan waktu. Ketiga hal itu tidak bisa dibuktikan sebab persis itu tidak termasuk ranah pengetahuan. Jiwa, dunia dan Allah adalah ide-ide regulatif yang bukan bagian dari pengalaman sehingga tidak bisa menjadi objek pengetahuan.
Metafisika menjad sekadar ilusi dan Paralogisme atau pseudo pengetahuan (tampaknya logis, padahal palsu). Akan tetapi, dengan mengatakan bahwa jiwa, dunia dan Allah tidak dibahas secara rasional oleh rasio murni (nalar teoretis) bukan berarti ketiga hal itu tidak ada. Ada jalan lain, yakni lewat nalar praktis yang mana ketiga hal itu ditempatkan sebagai postulat. Jadi meski tidak bisa menjadi pengetahuan (sains) yang sebenarnya, âmetafisika kritisâ toh diakui sebagai postulat penting bagi hidup moral.
b) Bagaimana kemudian Critique of Practical Reason membuka kemungkinan Metafisika?
Teori Kant tentang Nalar Praktis (Critique of Practical Reason) membuka kemungkinan Metafisika. Kant menyatakan apa yang seharusnya dilakukan sebagai hasil dari intuisi idea regulative (adanya jiwa, dunia, dan Allah) dengan konsep imperatif kategoris, yaitu tindakan moral. Idea regulative ini menjadi hal-hal yang diandaikan harus ada agar tindakan moral menjadi masuk akal. Akan tetapi, dengan mempostulatkan idea regulative sebagai dasar dari tindakan moral, Kant membuka jalan kepada metafisika. Jiwa mengandaikan kebebasan untuk masuk wilayah moral (dan imortalitas jiwa). Dunia mengandaikan adanya prinsip universal yang tertata, dan Allah sebagai penjamin. Dengan demikian, ide mengenai jiwa, dunia, dan Allah bukan berarti tidak ada. Lewat jalan Nalar Praktis ini, kita bisa mengetahui bahwa ketiganya itu ada.
Moral Kant bersifat imperatif kategoris (bukan imperatif hipotetis). Ada 3 kriteria untuk moral ini: a) universalitas, b) hormat kepada person, c) otonom. Selain itu, etikanya disebut juga deontologis (terbedakan dari utilitaris). Yang penting dari tindakan adalah âmotivasi batiniahâ. Semakin rasional, semakin bahagia.
c) Bagaimana tafsir Heidegger mengenai synthetic apriori judgements dalam pemikiran Kant?
Heidegger menafsir soal synthetic a priori judgement dalam pemikiran Kant
Kant menggunakan istilah proposisi analitis dan proposisi sintesis. Dalam kerangka proposisi Kant, kalimat âbola itu bundarâ disebut sebagai analitis a priori (predikat terangkum pada subjeknya). âsemua bola itu beratâ disebut sebagai sintesis a posteriori (dibuktikan dengan pengalaman). Sintesis a priori adalah pengetahuan yang benar berkaitan dengan konsep-konsep a priori yang dikumpulkan secara sintetik. Justifikasi ada di dalam pengalaman.
Bagi Heidegger, Critical Reason termasuk kajian metafisika generalis. Dengan mengetengahkan sintesis a priori inilah, Kant masuk dalam skema onto-theo-logis tradisi metafisika Barat/metafisika generalis. Proposisi sintesis a priori menimbang dan mencaru bukan entities (being) melainkan mencari âthe being of entitiesâ.
Hal itu dapat dilihat dalam skema berikut ini:
-
Analitis a priori (sains matematis, deduktif)
-
Sintesis a posteriori (natural sans, induktif Kedua judgement ini berkenaan denga judgements atas âbeingâ (sebuah ontic judgement); wilayahnya ada di sekitar âsainsâ
-
Sintesis a priori (yang dicari Kant) Menurut Heidegger, di sini kita diajak masuk ke âontological judgementâ di mana kita tidak mengkaji lagiâbeingsâ tetapi âthe being of beingsâ
Kebenaran moral yang mempostulatkan jiwa, dunia dan Allah merupakan sintesis a priori Dalam sintesis a priori, Kant mengajak kita pada ontological judgement. Kita mengkaji beings of being.
Kant melakukan âRevolusi Copernicanâ: dulu orang percaya bahwa âobjek selalu menyesuaikan diri dengan pikiran/pengetahuan manusia. Artinya, ketika berspekulasi tentang esse, substantia, dll, âobjek yang dipikirkan ituâ pasti ada. Tetapi menurut Kant, keterbatasan pikiran/pengetahuan kitalah yang menyesuaikan diri dengan objek-objeknya.
Nalar subjek manusia: dibatasi frame konsep-konsep â ruang dan waktuâ dan 12 kategori objek yang bisa dijadikan âobjek pengetahuanâ hanyalah objek yang masuk dalam frame tersebut, sebab âdas Ding an sichâ atau âthe thing in itselfâ tidak pernah kita ketahui.
Bagi Heidegger, yang baru dari Kant adalah objek-objek yang mau dianalisis harus disesuaikan dengam sintetik a priori judgement dan di mata Heidegger ini disebut âontological knowledgeâ (pengetahuan ontologis yang sekali lagi berkenaan dengan âthe being of beingsâ)
Hal-hal terkait: Imperatif kategoris dan imperatif hipotetis, etika deontologis (berlawanan dengan utilitatis), 3 maksim.
6.Konteks Pemikiran Levinas dan Michel Henry
a) Apa kritik-kritik mendasar Levinas dan Michel Henry terhadap pemikiran Heidegger?
Di mata Levinas, Ontologi sama sekali tidak fundamental! Yang fundamental adalah Metafisika. Ontologi tidak penting, yang penting adalah Metafisika dalam arti etika.
Kritik Levinas untuk Filsafat:
Filsafat: âPengetahuanâ adalah sebuah aktivitas intelektual, sebuah kehendak rasional, tindakan yang mau mengapropriasi (menjadikan milikku sendiri) apa yang hendak dipahami. Dalam skema seperti itu, apa yang merupakan âalteritasâ (sesuatu yang lain) hendak direduksi/ditotalisir (dihilangkan, dicengkeram), diapropriasi supaya menjadi âdiketahuiâ (oleh aku, subjek yang mengetahui).
Levinas berpendapat: analisis atas reduksi terhadap yang konkret berujung pada pendapatnya bahwa âFilsafat Baratâ adalah âOntologi dari Yang Samaâ. Levinas mengajukan sebuah cara berfilsafat lain: yang mendasarkan diri pada âmelihat Yang Lainâ dan mengutamakan âYang Lainâ untuk mengembalikan âirreduktibilitas Yang Lainâ.
Levinas akan bertitik tolak pada nosi âintensionalitasâ Husserl. Intensionalitas Husserlian sebenarnya adalah aktivitas ârepresentasiâ. Pengetahuan yang dimiliki oleh âkesadaran diriâ yang selalu âsadar akan sesuatuâ. Masalahnya, menurut Levinas reduksi transendental (yang menunda semua penilaian terhadap dunia) namun tidak âmenundaâ kesadaran diri yang selalu sadar akan sesuatu… itu toh tetap bertahan dalam fakta bahwa ia mendasarkan diri pada sebuah âkeakuan absolutâ.
Sebenarnya, dalam diri manusia ada kesadaran diri non-intensional; sebuah kesadaran diri yang tanpa arah dan tujuan apapun juga yang bisa menjadi âpengetahuanâ, namun jelas bukan pengetahuan dalam arti âobjektifâ (yang mengobjekkan apa yang diketahui dalam bentuk representasi. Kesadaran diri ini bersifat pasif dan sama sekali bukan diri refleksif. Ia tidak punya intensionalitas, tanpa arahan, tanpa nama, tanpa situasi, tanpa gelar. Ia âhadirâ tetapi sambil mempertanyakan âkehadiranâ itu sendiri. Kesadaran non refleksif ini seperti âorang asingâ, tanpa ârumahâ, tanpa ânegaraâ. Ia âpasifâ karena dari awalnya begitu (bukan karena dilawankan dengan aktif).
Levinas menekankan bahwa âsubjekâ (kesadaran diri manusia) pada dasarnya adalah sebuah âpasivitas murniâ. Kalau ia bisa bertindak, itu karena dia dipanggil oleh âYang Lainâ yang mengkonstitusi diriku.
Levinas berbicara tentang âWajah Orang Lainâ sebagai tempat asali munculnya makna. Artinya, interpelasi âYang Lainâ (saya dapat mengaksesnya lewat rasa) inilah yang justru akan mengkonstitusi diri kita sebagai subjek yang mengetahui. Titik tolaknya dengan demikian bukan âakuâ (yang terjebak dalam âegologiâ), melainkan âYang Lainâ.
Apa artinya Wajah Orang Lain? Wajah mortal, bisa mati. Wajah yang memberiku tugas, menuntutku, mewajibkanku, seolah kematiannya yang âinvisibelâ ini menjadi urusanku.
Maka, sungguh bukan hanya interpelasi tapi juga kita bertanggung jawab, substitusi (pengganti) âYang Lainâ, âsanderaâ dari âYang Lainâ. Subjektivitas yang menundukkan diri tanpa batas.
Kritik Levinas kepada Heidegger:
- Heidegger memperlihatkan sebuah filsafat yang memberi prioritas pada Sein (Be) daripada beings (adaan-adaan). Semua beings selalu dilihat oleh Heidegger sebagai âpencahayaanâ dari Be tsb. Segala sesuatu âditundukkanâ pada Be. Dalam kacamata Levinas, beings (yang salah satunya adalah manusia) hanya dijadikan SARANA untuk âpemahamanâ akan Be. Apakah filsafat dari dulu sampai sekarang selalu menundukkan manusia kepada Be?
Jadi, Levinas melihat bahwa ada âketertutupanâ di situ karena semua dikembalikan ke Yang Sama (Ada, Sein). Dan di balik semua itu, Levinas melihat bahwa proyek Heidegger terpusat pada âpemahamanâ: Dasein yang mau memahami segala sesuatunya dalam âcakrawala Beâ. Inilah yang disebut TOTALITAS.
- Memang benar Heidegger mengatakan bahwa Be itu selalu menyembunyikan diri, namun toh meski demikian, penyembunyian ini juga âsudah diketahuiâ, sehingga sudah terantisipasi bahwa nanti akan âkeluar dari persembunyianâ untuk âbersembunyiâ lagi! Be dengan demikian tidak terlalu misterius lagi sebab tinggal ditunggu (dengan pasif) saja penampakannya.
Meski Be belum diketahui sebagai âpengetahuanâ, toh Be itu sudah ada dalam jangkauan tangannya. Maka pertanyaan Levinas: di mana letak âthe Otherâ yang âabsolutely Otherâ jika semuanya ditundukkan pada pemahaman âsayaâ (ego)?
Kritik Michel Henry terhadap Heidegger:
Michel Henry tidak secara eksplisit mengkritik metafisika Heidegger. Michel Henry adalah seorang fenomenolog, sehingga ia melihat pemikiran Heidegger dari sudut fenomenologi. Menurutnya, Heidegger dan Husserl terlalu fokus kepada fenomenologi. Mereka tidak bertanya apa yang membuat fenomenologi itu mungkin. Masalah yang diangkat Heidegger adalah tentang adanya reduksi dalam representasi atas presentasi dalam kesadaran. Hanya sampai situ, lalu Heidegger mengembangkan metafisika ontologis fundamentalnya. Menurut Michel Henry, Heidegger justru lupa untuk bertanya tentang apa yang membuat presentasi dan representasi itu mungkin!
Gelas dan meja dapat menjadi fenomena bagi kesadaran bukan karena ada daya atau kekuatan dari gelas dan meja itu sendiri. Meja dan gelas hanya materi yang mati dan tidak berdaya apa-apa. Harus ada daya yang lain, yang berbeda dari gelas dan meja, dan yang dapat membuat meja dan gelas itu menjadi tertampakkan. Daya lain itu Michel Henry sebut sebagai fenomena asali, sebuah tindakan-menampak-murni, yang tidak berasal dari sesuatu yang lain, dan sifatnya auto-apparite (tindak-menampak-dari-dirinya-sendiri), yaitu Kehidupan.
Bagi Michel Henry, Fenomenologi Husserl dan Heidegger masih terpenjara oleh sebuah pengandaian, yaitu bahwa menampaknya sesuatu itu bersifat eksternal, atau berada di luar kesadaran. Intensionalitas atau kesadaran manusia masih dipahami sebagai sesuatu yang muncul dari luar. Karena fokus kepada yang eksternal, maka mereka lupa dengan landasan utama intensionalitas, dari mana intensionalitas itu muncul, yaitu Kehidupan itu sendiri.
Heidegger masih mewarisi cara berpikir yang sibuk menganalisis tubuh objektif (yang kelihatan, objektif). Michel Henry justru menawarkan untuk menganalisis corps originaire atau tubuh subjektif yang tak kelihatanm yaitu Daging. Kehidupan bagi Michel Henry dengan demikian bukanlah kehidupan dalam arti biologis atau Galilean (yang mereduksi tubuh hidup ke taraf atom, hormon, dan sinapse). Melainkan, kehidupan dalam dirinya sendiri yang bersifat auto-afektif. Inilah esensi intensionalitas, suatu Kehidupan yang merasakan dirinya sendiri.
b) Untuk Levinas, apa artinya bahwa etika-lah yang justru menjadi filsafat pertama?
Levinas menandaskan pemikirannya bahwa relasiku dengan beings adalah ârelasi yang etisâ dan ini sangat berbeda dengan relasiku dengan Be yang bersifat âontologisâ dan sekadar upaya pemahaman yang dominatif.
Menurut Levinas, Filsafat dari Platon sampai Hegel menjadikan kita jatuh dalam sikap âteoretisâ dan berelasi dengan dunia (dan manusia) secara impersonal dalam âFilsafat Neutrumâ. Dengan Filsafat seperti itu, kita tidak lagi berelasi secara konkret dengan manusia atau kursi (beings), melainkan jatuh ke relasi impersonal (yang dimediasi oleh konsep).
Filsafat seperti itu mengabaikan ârelasi etisâ (sebuah relasi langsung, muka ketemu muka). Bagi Levinas, ârelasi dengan orang lainâ tidak bisa direduksi dalam sekadar âpemahamanâ.
Misal: Memahami orang lain?
-
Jangan-jangan ada agenda dominasi?
-
Jika tidak ada, bisa saja itu sebuah reduksi atas kekayaan makna Yang Lain
Kata âOntologiâ bagi Levinas bermakna buruk. Levinas hendak merestorasi kata âMetafisikaâ. Di matanya, âMetafisikaâ artinya merujuk pada sesuatu yang benar-benar âbeyond, metaâ (yang mengajak keluar TANPA KEMBALI ke kita), bukan pura-pura transenden tapi lalu kembali ke kita lagi.
Metafisika adalah relasi etis, sebuah hasrat keluar yang terarah pada sesuatu yang lain, yang tidak bisa ditundukkan dalam pemahaman egologis. Relasinya mendasar dan tidak bisa distrukturkan. Bagi Levinas, relasi etis:
-
Bukanlah sebuah relasi yang sadar
-
Relasi tanpa relasi yang sebenarnya adalah tanggung jawab kepada orang lain. Relasi etis dibangun dari pertemuan konkret, di mana secara âpra reflektifâ. Tanggung jawab dan relasi ini tak terpahami.
c) Untuk Michel Henry, apa artinya Hidup atau Kehidupan?
(lihat poin A)