aaron-pm

Refleksi Filosofis atas Film 'Hotel Rwanda' (2004) Berdasarkan Pemikiran Emmanuel Levinas

Pendahuluan

Tulisan ini akan membahas film Hotel Rwanda (2004) dengan menggunakan sudut pandang pemikiran Emmanuel Levinas. Film ini mengangkat kisah genosida yang terjadi di Rwanda pada 1994. Bagi Levinas, tema ini sangat personal karena dia sendiri pernah mengalami peristiwa Holocaust saat Perang Dunia II. Holocaust adalah genosida terhadap orang Yahudi antara tahun 1941-1945 yang dilakukan oleh Nazi, di mana setidaknya 6 juta orang Yahudi dibunuh secara sistematis. Levinas, yang keluarganya juga menjadi korban, mengembangkan pemikiran filosofisnya dari pengalaman ini, dengan fokus utama pada bagaimana manusia berelasi dengan sesama. Lewat pendekatan fenomenologis, Levinas mengeksplorasi apa yang sebenarnya terjadi ketika kita berhadapan langsung dengan wajah orang lain.

Film Hotel Rwanda menyampaikan kritik terhadap mereka yang memilih diam di tengah kejahatan. Kritik ini terlihat dalam dialog, ekspresi wajah, kekacauan, pembantaian, dan situasi genting yang dihadirkan. Dalam setiap situasi itu, para karakter berhadapan dengan wajah orang lain—baik itu wajah musuh, keluarga, teman, atau bahkan mayat. Dalam pandangan Levinas, wajah-wajah itu menunjukkan kefanaan (mortalitas) dan menyampaikan tuntutan yang tak bisa ditawar: “Jangan membunuh!” Sayangnya, mereka yang dibutakan oleh kebencian sering kali gagal melihat pesan ini. Mereka sibuk memikirkan kenyamanan, keselamatan, dan kekuasaan untuk diri sendiri, terjebak dalam apa yang disebut Levinas sebagai kecenderungan The Same. Namun, saat wajah orang lain mengusik kenyamanan itu, menurut Levinas, terjadilah momen etis.

Analisis terhadap film Hotel Rwanda ini akan dimulai dengan latar belakang dan ringkasan alur cerita (Bagian II). Selanjutnya, beberapa adegan yang relevan dengan konsep-konsep dasar pemikiran Levinas akan dibahas. Pembahasan akan dibagi menjadi beberapa bagian sesuai konsep utama dalam pemikiran Levinas yang terlihat dalam film: (III) Kecenderungan The Same, (IV) Wajah dan Tanggung Jawab kepada Sesama, (V) Resistensi Etis dari Wajah Orang Lain. Pada bagian akhir, tulisan ini akan merefleksikan tanggung jawab kita terhadap sesama, yang sering kali terlupakan.

Selayang Pandang Film Hotel Rwanda

Film Hotel Rwanda dirilis pada akhir tahun 2004, dan disutradarai oleh Terry George. Film ini merupakan gambaran dari kisah nyata kekejaman Genosida Rwanda yang terjadi pada tanggal 7 April sampai 15 Juli 1994. Genosida dilakukan oleh kelompok ekstremis Hutu terhadap orang-orang Tutsi, dan juga Hutu moderat. Latar belakang konflik ini dapat dilacak ke masa kekuasaan kolonial Belgia. Rwanda merupakan wilayah kekuasaan kolonial Belgia dari tahun 1922–1962. Selama masa kekuasaannya, pemerintah kolonial Belgia membedakan pribumi Rwanda menjadi dua, yaitu antara Hutu dan Tutsi. Pembedaan itu berdasarkan tinggi badan, lebar hidung, dan warna kulit. Golongan Tutsi memiliki postur tubuh tinggi, warna kulit lebih terang, dan hidung lebih ramping. Sedangkan Hutu tubuhnya pendek, kulitnya gelap, dan hidungnya lebih lebar. Karena ciri-ciri tersebut, golongan Tutsi dipandang lebih elegan, dan pemerintah kolonial Belgia memilih mereka sebagai kaki tangannya selama menjalankan pemerintahannya di Rwanda. Dengan begitu, di bawah kekuasaan kolonial Belgia golongan Tutsi ditempatkan di posisi-posisi strategis dan mendapat kekuasaan. Tetapi setelah masa kolonial berakhir, kekuasaan di Rwanda diberikan kepada Hutu. Sejak itu, Tutsi yang merupakan minoritas mulai mendapat tekanan dari Hutu. Orang Hutu menganggap para Tutsi sebagai pengkhianat, dan dengan itu Hutu ingin balas dendam. (HR 00:13:04)

Tokoh utama dalam film ini adalah Paul Rusesabagina dan istrinya Tatiana. Paul adalah seorang Hutu, sedangkan Tatiana (juga sering disebut Tatsi) adalah seorang Tutsi. Kedua ciri fisik Hutu dan Tutsi di atas juga terlihat jelas dari perawakan aktor dan aktris yang dipilih untuk memainkan peran sebagai Paul dan Tatiana. Paul adalah seorang manajer dari Hotel Mille Collines di Kigali, Rwanda. Hotel itulah yang menjadi fokus latar tempat film Hotel Rwanda. Di hotel ini, Paul dan Tatiana memberikan perlindungan kepada lebih dari seribu orang Tutsi, Hutu, dan para turis dan jurnalis berkewarganegaraan asing. Usia mereka beragam dari yang masih anak-anak sampai yang sudah tua. Hotel itu menjadi tempat perlindungan yang relatif aman karena mendapat perlindungan dari pasukan PBB.

Saat pembantaian di Kagali memuncak, Paul baru menyadari bahwa tentara-tentara PBB tersebut hanya ada untuk melindungi turis-turis, jurnalis, dan diplomat Eropa yang sedang menginap di sana. Awalnya Paul berharap orang-orang kuat dari Eropa yang selama ini ia layani dengan baik itu dapat membantu keluarganya dan semua orang yang berlindung di dalam hotel. Tetapi ia harus kecewa karena dia, keluarganya, dan para pribumi Rwanda adalah prioritas nomor dua dibandingkan orang-orang Eropa. Bus evakuasi gelombang pertama yang dibawa oleh pasukan PBB akhirnya hanya mengamankan orang yang berkewarganegaraan Eropa. Ketika pasukan PBB ditarik pergi untuk menjaga bus-bus tersebut, ekstremis Hutu menyerbu masuk ke Hotel untuk mencari dan membunuh orang-orang Tutsi. Untung saja sebelum pembantaian terjadi, Paul sempat menyogok jenderal angkatan bersenjata Rwanda untuk melindungi orang-orang yang ada di hotel. Dengan begitu, hotel Mille Collines dapat diamankan sampai pasukan PBB datang kembali. Karena usaha Paul itulah sekitar seribu orang Rwanda selamat dari pembantaian dan dapat dievakuasi ke tempat aman di belakang garis konflik genosida Rwanda.

Kecenderungan dari The Same

Konsep dasar pemikiran Levinas yang pertama akan dikaitkan dengan film Hotel Rwanda adalah kecenderungan The Same. Gambaran dari kecenderungan ini tergambarkan dengan jelas dalam cuplikan dari film berikut:

“Saat orang bertanya padaku, para pemirsa, kenapa aku benci semua orang Tutsi. Aku jawab, ‘lihatlah sejarah kita.’ Para Tutsi adalah kaki tangan para kolonial Belgia. Mereka mencuri tanah Hutu kita, mereka memecut kita. (…) Mereka adalah kecoak. Mereka adalah pembunuh. (…) Kitalah mayoritas. Sedangkan mereka hanyalah minoritas, para pengkhianat dan penjajah. Kita akan basmi wabah ini.” (HR 00:00:34)

Itulah kata-kata penyiar dari stasiun radio Hutu Power Radio yang sepanjang film terus menyebarkan kata-kata kebencian pada orang-orang Tutsi. Secara umum, para ekstremis Hutu dapat dikatakan sedang melakukan klasifikasi, simbolisasi, dan diskriminasi pada orang Tutsi.2 Tetapi, ada beberapa yang menarik dalam kasus Genosida Rwanda khususnya soal ‘klasifikasi.’ Klasifikasi yang membedakan antara Hutu dan Tutsi pada awalnya dibuat oleh kolonial Belgia (hal ini merupakan hal yang problematis, dan akan dibahas lebih lanjut di akhir bagian ini). Sementara itu simbol yang ditempelkan pada Tutsi adalah kata ‘kecoak.’ Hal ini juga termasuk ‘dehumanisasi,’ yaitu Tutsi tidak lagi dianggap sebagai manusia dan dengan begitu hak-hak asasinya juga tidak diakui, dan dengan begitu ini juga menyangkut diskriminasi. Dalam pemikiran Levinas, hal ini merupakan kecenderungan The Same di tingkat ‘konsep,’ di tingkat cara pandang seseorang terhadap individu atau kelompok yang lain. Levinas menuliskan: “Tematisasi dan konseptualisasi, (…) bukanlah perdamaian dengan yang lain, melainkan penundukan atau pemilikan dari yang lain. Dalam kepemilikan itu, orang lain diakui tetapi kemerdekaannya dinegasi. ‘Aku berpikir [tentang sesuatu]’ [akan] berakhir pada ‘Aku bisa [melakukan sesuatu terhadapnya]’, pada suatu pengambilan untuk diri sendiri, pada suatu realitas eksploitasi (…)” (TI 46). Ekstremis Hutu menerapkan konsep dan kategori yang mereka miliki dalam pikirannya kepada orang-orang Tutsi, tanpa melihat bahwa tidak semua orang Tutsi dapat dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Dalam kata lain, perbedaan yang ada pada setiap individu Tutsi dileburkan ke dalam Yang Sama—bagi ekstremis Hutu, semua Tutsi sama saja. Semuanya pengkhianat dan wabah kecoak yang perlu dibasmi.

Jika direfleksikan, kecenderungan ini juga ada pada diri kita masing-masing, bukan hanya pada orang ekstremis. The Same dalam pemikiran Levinas adalah struktur dasar manusia dalam berelasi dengan dunianya. The Same adalah “sifat atau kecenderungan untuk menyerap segala sesuatu yang asing ke dalam dirinya” (THT 52:16). Kecenderungan ini sulit untuk dilawan, dan Levinas melihat bahwa kecenderungan inilah yang ada di balik keseluruhan filsafat Barat. Dalam filsafat Barat, subjek selalu ingin ‘mengetahui’ dunia disekitarnya, menundukkannya dalam suatu konsep dan pemahaman (comprehension).3 Tepat di situlah kritik Levinas, ia mempertanyakan apa yang menjadi inti dalam filsafat Barat: apakah relasi kita dengan dunia harus selalu berupa pemahaman (comprehension)? Jawaban Levinas adalah: ya, kecuali dengan Yang-Lain (BPW 6).

Hal itu membawa pembahasan tentang The Same ke taraf selanjutnya, yaitu kecenderungan The Same pada taraf pembangunan identitas diri. Untuk itu, perhatikan cuplikan film berikut:

“Mungkin kamu bisa menelepon beberapa kontakmu di tentara? Kamu bisa meminta bantuan,” bujuk Tatiana. “Tidak bisa, Tatiana. Aku bekerja sepanjang hari melayani petugas, diplomat, dan turis-turis itu untuk ‘menabung bantuan.’ Supaya jika suatu saat kita perlu bantuan, aku punya orang-orang kuat yang bisa aku hubungi.“ “Tetapi Viktor adalah tetangga yang baik,” kata Tatiana lagi. “Dia bukan keluarga. Keluarga adalah yang paling utama.” (HR 00:12:11)

Percakapan di atas terjadi setelah Paul dan Tatiana melihat Viktor, tetangganya di seberang jalan dari rumahnya, dibawa paksa oleh tentara Interahamwe karena dituduh sebagai mata-mata. Dengan itu, ‘rumahnya’ kini tidak aman lagi. Rumah itu tidak nyaman lagi karena berada dalam ancaman ‘orang asing.’ Ini persis dengan apa yang digambarkan oleh Levinas tentang kecenderungan The Same yang membangun identitas Sang Aku. Tentunya sebelum kehadiran tentara-tentara Interahamwe, Paul nyaman dengan rumahnya sendiri. Itu adalah tempatnya untuk beristirahat setelah seharian bekerja di Hotel. Rumah beserta seluruh anggota keluarga adalah wilayah kehidupan Paul, dan yang membangun diri Paul. Di dalam rumah itu, Paul menjadi suatu subjek, ia menjadi seorang suami, seorang ayah. Rumah itu menentukan identitas dirinya. Paul mengenal dan mengetahui apa yang ada di dalam dan di sekitar rumahnya, ia tidak merasa asing dengan semua itu. Tetapi tentara ekstremis Hutu itu adalah Orang Asing (l’Entranger) yang mengganggu dan mengancam rumah keluarga Paul. (TI 39:6). Kenyamanan Paul di rumahnya sendiri telah diganggu.

Kenyamanan adalah cara diri menutrisi dirinya sendiri. Hidup dari roti bukanlah sekadar menangkap representasi dari roti, dan bukan juga sekadar mendapatkan roti atau melakukan segala cara untuk mendapatkan roti. Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk mendapat roti seseorang harus berusaha, dan untuk berusaha seseorang membutuhkan roti; persis karena itu roti yang Aku makan adalah segala cara menuju roti tersebut dan itu juga hidupku. (TI 111)

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa kenyamanan (Enjoyment) bagi Levinas merupakan struktur penting dalam diri manusia: “Kenyamanan bukanlah sekadar kondisi psikologis, (…) tetapi denyut nadi dari sang Aku itu sendiri.” (TI 113). Itulah cara kita berelasi dengan lingkungan kita, kita menyerapnya ke dalam diri, menjadikan lingkungan itu familiar, dan kita bisa dengan nyaman mendiami lingkungan itu. Kita tidak mau kenyamanan kita terganggu. Relasi Paul dengan tamu-tamunya di Hotel adalah juga salah satu bentuk The Same yang mencari kenyamanan. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kenyamanan yang Paul bangun di hotel bertujuan untuk melindungi kenyamanannya di rumah. Itulah mengapa walaupun Tatiana mengatakan Viktor adalah tetangga yang baik, Viktor tetaplah bukan bagian dari wilayah kenyamanan utama Paul, yaitu istri, anak, dan keluarganya. Dengan ‘kenal’ beberapa orang kuat, ia merasa keluarganya akan tetap aman. Waktu itu, ia percaya orang-orang kuat itu akan mau membantu. Tetapi apakah benar demikian? Jawabannya ada dalam kutipan film berikut:

“Mereka mengatakan padaku, bahwa aku adalah bagian dari mereka, dan aku… Anggur, cokelat, rokok, style—Aku telan itu semua. Aku telan itu semua, dan mereka berikan padaku kotoran mereka. Aku tidak punya sejarah. Aku tidak punya ingatan. Aku adalah orang bodoh, Tatsi…,” kata Paul. “Kamu bukan orang bodoh. Aku tahu siapa kamu,” hibur Tatsi. (HR 00:52:05)

Ternyata orang-orang kuat dari Eropa tidak mau membantu Paul dan orang-orang Rwanda yang berlindung di Hotel Mille Collines. Inilah salah satu konsekuensi jika kita dibutakan oleh kecenderungan The Same. Paul menyamakan relasi dengan orang-orang Eropa itu seperti yang ada di kepalanya, bahwa mereka akan mau membantunya. Tetapi, kenyataan tidak selalu harus sama dengan apa yang ada dalam pikiran kita. Setelah menyadari kesalahannya itu, Paul merasa putus asa. Ia merasa tidak punya sejarah, tidak punya ingatan, ia kehilangan identitasnya. Itu karena identitasnya selama ini ia bangun dengan ‘menelan’ relasi-relasi yang ia bangun di hotel. Identitas yang selama ini ia bangun di Hotel, adalah sebagai manajer yang baik dan punya relasi dengan orang-orang kuat. Tetapi, semua itu ternyata sia-sia. Namun, di saat itu juga Tatiana mengingatkan bahwa identitas diri tidak hanya ditentukan oleh kecenderungan The Same saja, tidak hanya dari kenyamanan yang ia bangun sendiri. Identitas seseorang yang sebenarnya itu justru datang dari Orang Lain. Sehingga, di dalam Yang-Sama juga ada Yang-Lain.

Identitas diri yang selalu bergantung pada orang lain ini juga yang menurut penulis merupakan kritik utama terhadap semua bentuk pembenaran diskriminasi. Para ekstremis Hutu membedakan identitas dirinya terhadap para Tutsi. Mereka menganggap dirinya sebagai pribumi asli yang tertindas, dan Tutsi sebagai kecoak dan pengkhianat. Padahal, pembedaan itu dibuat oleh kolonial Belgia. Pembedaan itu datang dari ‘yang lain,’ dan para ekstremis Hutu justru menerimanya dengan lapang dada dan menggunakannya sebagai legitimasi atas pembantaian Tutsi. Mereka selama ini membiarkan diri berada dalam kuasa konsepsi kolonial Belgia, sibuk dengan ‘kesamaan’ antar orang Hutu, dan malah tidak melihat ‘kesamaan’ awal yang ada di antara Hutu dan Tutsi. Dulu, mereka itu sama, tetapi sekarang Hutu ingin tetap beda dari Tutsi demi mendapat kekuasaan. Bukankah kalau ingin tetap berbeda dari Tutsi, orang-orang Tutsi harus tetap ada? Pembedaan antara Tutsi dan Hutu lahir di saat yang sama, dan akan hilang di saat yang sama juga. Ada kontradiksi dalam genosida yang dilakukan oleh ekstremis Hutu. Mereka ingin menghilangkan Yang-Lain, yang justru merupakan syarat keutuhan identitas mereka sendiri. Lagipula, mereka yang mengaku Hutu juga tidak selalu bisa membedakan mana yang Hutu atau Tutsi. Mereka baru bisa mengetahui apakah orang itu Hutu atau Tutsi dari paspor atau kartu identitas yang dibawa. Itu menandakan bahwa sebenarnya pembedaan antara Hutu dan Tutsi tidak berdasar sama sekali, dan tidak bisa dijadikan pembenaran diskriminasi dalam bentuk apapun. (HR 00:13:07, 00:27:08)

Wajah dan Tanggung Jawab Terhadap Yang Lain

Pembahasan di atas membawa kita kepada kesimpulan bahwa ada Yang-Lain dalam Yang-Sama (The Other in The Same), dan itulah yang memungkinkan kita untuk mengerti satu konsep penting dalam pemikiran Levinas, yaitu Tanggung Jawab terhadap Yang Lain. Untuk itu, perhatikan kutipan film berikut:

“Oh Tidak! Kita harus lakukan sesuatu,” bisik Tatiana. “Lakukan apa? Tidak ada yang bisa kita lakukan,” jawab Paul. Di kejauhan masih terdengar rintihan dari istri Viktor. Malam itu, Viktor dibawa paksa oleh tentara Interahamwe karena dituduh sebagai mata-mata pemberontak. (HR 00:10:11)

Jawaban Paul memperlihatkan disposisi awal dari kecenderungan The Same. Hal ini sudah kita lihat di bagian sebelumnya. Waktu itu, Paul masih berada dalam lingkup kenyamanan rumahnya sendiri. Ia belum bertemu dengan Wajah orang lain. Mari kita lihat apa yang terjadi pada Paul ketika ia sampai di Hotel, setelah membeli persediaan makanan dan minuman dari George, sang dalang para ekstremis Hutu:

Paul melihat lengan kemeja putihnya yang bernoda merah karena darah. Dia segera melepaskannya, lalu mandi dan berganti ke kemeja yang masih bersih. Ia mulai mengikatkan dasinya. Ikatan pertama, dasinya tidak seimbang. Ekor dasi masih bergantung terlalu panjang. Paul sedikit tertawa. Ia melepaskan dasinya dan mencoba lagi. Namun ia tidak sanggup. Ia membuang dasi itu, melepaskan kemejanya, lalu jatuh tersungkur dan menangis. (HR 1:16:51)

Dalam perjalanan kembali ke Hotel, Paul disuruh George untuk mengambil jalan yang dekat sungai. Katanya jalan itu sudah ‘bersih.’ Tetapi apa yang dilihat Paul adalah ratusan mayat-mayat hasil pembantaian yang tergeletak di jalanan. Ia bahkan sudah melindas beberapa mayat sebelum ia dan supirnya menyadari hal itu karena tebalnya embun pagi. Ia keluar dari mobil tanpa tahu apa-apa, dan ia langsung tersandung dan jatuh. Ketika jatuh, ia langsung berhadapan dengan Wajah seorang anak yang sudah meninggal. (HR 01:14:31)

Wajah yang dimaksud Levinas tentunya bukan wajah fisik seseorang, entah ia masih hidup atau sudah mati. Levinas menggunakan kata Wajah untuk secara umum merujuk pada sebuah pengada yang ada di luar Aku. Wajah yang akhirnya dapat membawa Aku keluar dari diriku sendiri, dan membobol kecenderungan The Same (THT 77, TI 50). Peristiwa yang baru saja dialami Paul oleh penulis dilihat sebagai peristiwa traumatis yang merubah sikap Paul. Setelah peristiwa itu, diri Paul terbuka kepada yang di luar kenyamanan dirinya, yaitu pada orang-orang yang anonim, yang tidak dikenal, yang terancam oleh pembantaian yang mematikan.

Di sini, penulis juga melihat perkembangan etis dari diri Paul. Ia mulai lepas dari kecenderungan The Same. Ini terlihat ketika Paul menengok kembali melihat wajah-wajah orang yang ia akan tinggalkan. Tetapi akhirnya ia tidak jadi berangkat, dan justru rela berpisah dengan keluarganya yang merupakan wilayah kenyamanannya selama ini (HR 01:28:03). Ia mengatakan, “Aku tidak bisa meninggalkan orang-orang ini untuk mati. Aku tidak bisa meninggalkan mereka.” Tetapi jelas tidak ada yang melarangnya, orang-orang itu pun sudah melepas kepergian Paul dengan bahagia. Apakah itu hanya perasaannya? Kenapa Paul merasa ia tidak bisa? Dari mana datangnya perasaan itu? Dari mana datangnya rasa tanggung jawab itu? Levinas menuliskan:

Wajah menandakan suatu tanggung jawab yang mutlak padaku, mendahului segala bentuk kebebasan, segala bentuk pakta, segala bentuk perjanjian. Bukan karena kekuatan brutalnya, tetapi karena ia terlalu lemah, ia [bahkan] bukan fenomenon karena ia lebih rendah dari sebuah fenomenon. (…) Reaksiku selalu terlambat menggapai masa kini yang selalu sudah berupa masa lalu. (…) Keberadaanku tidak merespon gentingnya tugas itu. [Sekarang] aku dimintai pertanggungjawaban [persis] karena telah menunda-nunda. (OB 88)

Seakan-akan aku bertanggung jawab atas mortalitas [wajah itu], dan aku bersalah karena masih hidup. (OB 91)

Tanggung jawab yang dirasakan Paul, dan yang dimaksud oleh Levinas berasal dari ‘masa lalu’ yang telah terlupakan, kita tidak bisa mengaksesnya untuk mengerti tanggung jawab itu. Tanggung jawab itu tidak menegasi kebebasan kita. Malah tanggung jawab itu sudah ada sebelum kebebasan, sebelum kita membuat keputusan. Tanggung jawab itu ada sebelum kesadaran itu sendiri. Dari fenomenologi, kita belajar bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu, dan karena sesuatu itu menjadi arah kesadaran, maka sesuatu itu diandaikan ‘ada.’ Dalam kata lain, kesadaran selalu bekerja dalam ranah ‘ada.’ Tetapi tanggung jawab yang diberikan Wajah kepada kita itu di luar dari ‘ada.’ Inilah yang dijelaskan dalam bukunya yang berjudul ‘Otherwise than Being.’

Resistensi Etis dari Wajah Orang Lain

Tanggung jawab yang dituntut oleh Wajah adalah suatu resistensi etis dari wajah. Resistensi itu tetap ada bahkan dihadapan ancaman kematian. Untuk melihat resistensi etis dari wajah, perhatikan kutipan berikut:

“Anda masuk ke daftar, orang Amerika memasukkan Anda ke daftar kriminal perang. Menurut mereka Anda telah melakukan kejahatan perang!” kata Paul kepada Jenderal Bizimungu. “Aku tidak pernah melakukan kejahatan perang,” balasnya. “Siapa yang akan mengatakan itu pada mereka? Anda butuh saya untuk mengatakan bagaimana Anda membantu kami di hotel. Mereka menyalahkan Anda atas semua kejadian ini. Mereka bahkan bilang Anda lah yang memimpin pembantaian ini.” (…) “Kamu yang akan mengatakannya pada mereka!,” bentak Bizimungu. “Saya tidak bisa mengatakan apa-apa kalau Anda tidak membantu saya!” Dalam kemarahan karena mendengar balasan membentak dari Paul, Bizimungu meraih pistol yang ada di sabuknya. Namun, ia tidak mengeluarkannya. (HR 01:42:02)

Kira-kira, kenapa jenderal Bizimungu berhenti ketika hendak membunuh Paul? Jika dibandingkan dengan pengalaman Paul yang berhadapan dengan ‘wajah’ yang sudah mati tadi, dalam situasi ini Bizimungu berhadapan dengan wajah yang hidup dan terang-terangan menuntut suatu pertanggungjawaban. Jika dilihat dari kacamata Levinas, dalam situasi itu Bizimungu mengalami suatu ‘resistensi etis’ dari suatu Wajah. Levinas menulis:

Wajah adalah sesuatu yang seseorang tidak bisa membunuhnya, atau setidaknya wajah adalah yang memiliki makna dalam perkataan: “Kamu tidak boleh membunuh.” Pembunuhan, memang benar, suatu fakta yang biasa: yang satu dapat membunuh Yang Lain; urgensi etis bukanlah keniscayaan ontologis. Pelarangan atas pembunuhan tidak membuat pembunuhan mustahil dilakukan, (…). (EI 87)

Semua wajah sebenarnya memiliki daya resistensi etis. Ia memerintahkan kita untuk jangan membunuh. Bizimungu juga dapat dikatakan mengalami epifani, yaitu “manifestasi tiba-tiba atas esensi atau makna realitas tertentu” (THT 82). Esensi apa yang disadari Bizimungu dalam wajah Paul? Jawabannya adalah mortalitas, ke-bisa-mati-an. Bizimungu sadar bahwa tanpa bantuannya, Paul akan mati ditangan Interahamwe saat ia kembali ke hotel. Tanpa Paul, dia akan tetap tercatat sebagai kriminal perang dalam sejarah. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa Bizimungu menyadari mortalitas Paul maupun mortalitas dirinya sendiri. Ia menyadari ‘ke-bisa-mati-an’ dirinya sendiri dalam arti bahwa keseluruhan hidupnya yang selama ini ia bangun (sampai mendapat lima bintang penghargaan) akan runtuh begitu saja dan ditutup dengan cap ‘kriminal perang.’

Refleksi atas Tanggung Jawab Kita Terhadap Yang Lain

Tanggung jawab dan resistensi etis wajah, semua itu tidak hanya ada dalam relasi empat mata antar individu. Bahkan tanggung jawab itu tetap ada bahkan saat kedua individu tidak bertatapan mata. Hal ini dengan baik digambarkan dalam kata-kata Paul:

“Banyak dari kalian tahu orang-orang berpengaruh. Kalian harus menghubungi orang-orang itu. Kalian harus beri tahu mereka apa yang akan terjadi pada kita. Katakanlah selamat tinggal. Tetapi, saat kamu mengatakan selamat tinggal, katakan seolah-olah kamu menggenggam tangan mereka melalui telepon. Biarkan mereka tahu bahwa kalau mereka melepaskan tangan itu, kamu akan mati. Kita harus mempermalukan mereka sampai mereka mengirim bantuan.” (HR 01:04:50)

Walaupun hanya lewat telepon, kita tetap bisa berhadapan dengan wajah. Tanggung jawab itu tetap kita rasakan, karena wajah itu menampakkan diri dalam mortalitas orang yang ada di sisi lain telepon. Begitu juga ketika kita menonton berita di televisi, membaca berita di koran. Di sekitar kita sebenarnya banyak wajah-wajah yang mortal, yang menuntut kita untuk menolong mereka. Tetapi, kita terlalu sibuk membangun dan menikmati kenyamanan lingkungan kita, sehingga kita menutup diri dan tidak merasakannya.

“Sebentar Paul, aku minta maaf soal siang tadi. Kalau aku tahu kau ada di dalam ruangan, aku tidak akan—“Tidak apa-apa, saya senang Anda merekam hal itu sehingga seluruh dunia bisa melihat. Itu satu-satunya kesempatan supaya ada orang yang mau turun tangan.” (…) “Tetapi, Paul. Menurutku… saat orang-orang melihat rekaman ini, mereka akan mengatakan ‘Ya Tuhan, itu sangat mengerikan,’ dan mereka akan melanjutkan makan malam mereka.” (HR 00:43:48)

Begitulah ucapan Daglish, seorang jurnalis yang baru saja merekam pembantaian orang-orang Tutsi di jalanan, kepada Paul. Ini adalah kritik etis untuk kita sebagai pribadi yang melihat berbagai kejahatan di sekitar kita, tetapi tidak berbuat apa-apa. Penulis teringat suatu puisi dari Zbigniew Herbert, seorang penyair dari Polandia. Berikut sebagian kutipan puisi Herbert yang berjudul “Mr Cogito Reads the Newspaper”:

Bahasa Inggris Bahasa Indonesia
ā€œMr. Cogito Reads the News Paperā€
By: Zbigniew Herbert
“Tuan Cogito Membaca Koran”
Oleh: Zbigniew Herbert
(…) (…)
It’s no use trying to find
120 lost men on a map
a distance too remote
hides them like a jungle
Tidak ada gunanya mencari-cari
120 orang hilang di atas peta
jarak yang terlalu jauh
menyembunyikan mereka bagai hutan
They don’t speak to the imagination
there are too many of them
the numeral zero on the end
turns them into an abstraction
Mereka tidak merangsang imajinasi
jumlahnya terlalu banyak
barisan angka nol di belakang
mengabstraksikan mereka
A theme for further reflection:
the arithmetic of compassion
Satu tema untuk kita refleksikan:
hukum matematik perasaan iba

Di televisi, gambar-gambar orang yang menderita sering tidak menggerakkan hati kita. Angka jumlah korban di koran hanya tetap menjadi angka, tetapi wajah dibalik angka itu tidak kelihatan. Jika kita berefleksi atas puisi Herbert, wajah itu tidak kelihatan karena Tuan Cogito-lah yang sebenarnya menonton televisi dan membaca koran itu. Tuan Cogito selalu mengabstraksikan dan menundukkan yang disekitarnya kedalam pengetahuan. Selalu melaksanakan kecenderungan The Same, menyerap segalanya ke dalam Yang Sama. Tuan Cogito juga selalu berhitung-hitung, apakah tindakanku untung atau rugi? Di hadapan satu anak pengemis kita masih bisa dengan relatif mudah memberikan sedekah kita, tetapi jika kita membaca bahwa pada tahun 2018 ada sekitar 513.900.000 orang di Asia, 256.100.000 orang di Afrika, dan 42.500.000 orang di Amerika Latin dan Karibia yang kekurangan nutrisi,4 kita tidak akan merasa apa-apa. Bahkan mungkin sebagian dari Anda para pembaca juga tidak memperhatikan dan hanya melewati angka-angka di atas. Di hadapan jumlah yang besar itu, Tuan Cogito akan mulai bertanya, “Apakah sumbanganku akan berpengaruh? Apakah akan membuat perubahan?” Jawabannya sering kali tidak, dan akhirnya kita diam saja. Kita lupa bahwa ‘kita’ adalah seluruh umat manusia di Bumi. Bagi Levinas, kita bertanggung jawab atas semua 812.500.000 orang yang kekurangan nutrisi itu. Kita bertanggung jawab persis karena kita menunda-nunda tuntutan untuk menolong itu.

Kita seharusnya malu ketika kejahatan terjadi di depan kita, tetapi kita diam saja. Kita tahu kita seharusnya berbuat apa, tetapi kita memalingkan wajah dan sibuk dengan keseharian kita. Rasa malu ini tergambarkan dengan jelas oleh kutipan film berikut, dan biarlah dengan rasa malu ini refleksi kita atas film Hotel Rwanda berakhir:

Siang itu barisan turis-turis berkulit putih berjalan keluar dari hotel, menembus hujan, menuju bus evakuasi. Orang-orang Rwanda tidak boleh ikut. “Tolong, jangan lakukan itu,” kata Daglish sambil menolak seorang pelayan hotel yang memberikannya payung untuk melindunginya dari hujan. “Tuhan Yesus, aku sangat malu!” (HR 00:54:08)

Pelayan itu mengantar Daglish menuju bus yang akan membawanya ke tempat aman, sementara pelayan itu sendiri akan tetap tinggal di hotel dan masih dalam ancaman pembantaian oleh Interahamwe. Daglish merasa malu karena yang melindunginya dari hujan adalah orang-orang yang terkutuk untuk mati dalam beberapa hari berikutnya. Dalam situasi seperti itu, hak orang-orang Eropa nya untuk hidup dipertanyakan persis oleh wajah-wajah pelayan hotel yang terancam kematian. Begitu juga dengan hak-hak kita semua.

Daftar Pustaka

[BPW] Levinas, Emmanuel. Basic Philosophy Writings, eds. Adriaan T. Peperzak, Simon Critchley, and Robert Bernasconi. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1996.

[EI] Levinas, Emmanuel. Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard A. Cohen. Pittsburg: Duquesne University Press, 1982.

[TI] Levinas, Emmanuel. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis. Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969.

[OB] Levinas, Emmanuel. Otherwise than Being or Beyond Essence, trans. Alphonso Lingis. Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998.

[THT] Tjaya, Thomas Hidya. Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain, Jakarta: KPG, 2018.

Sumber Daring

Stanton, Gregory H., “The Ten Stages of Genocide,” Genocide Watch, 2016. http://genocidewatch.net/wp-content/uploads/2012/06/The-Ten-Stages-of-Genocide-handout.pdf (diakses 27 November 2019).

Stanton, Gregory H., “10 Stages of Genocide,” University and College Union. https://www.ucu.org.uk/media/9609/10-Stages-to-Genocide/pdf/10_Stages_to_Genocide.pdf (diakses 27 November 2019)

World Health Organization, “World hunger is still not going down after three years and obesity is still growing–UN report,” 15 July 2019.\
https://www.who.int/news-room/detail/15-07-2019-world-hunger-is-still-not-going-down-after-three-years-and-obesity-is-still-growing-un-report\
(diakses tanggal 30 Desember 2019).

Sumber Film

George, Terry. “Hotel Rwanda,” Lions Gate Films: 11 September 2004.

Catatan Akhir

Tulisan ini dibuat sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah “Emmanuel Levinas”


  1. Film Hotel Rwanda dirilis pada akhir tahun 2004. Disutradarai oleh Terry George. Selanjutnya, kutipan dari film tersebut akan ditulis dengan ‘HR’ diikuti dengan waktu (dalam format hh:mm:ss). 

  2. Lihat sepuluh tahap kejahatan genosida yang dirumuskan dalam: Stanton, Gregory H., “The Ten Stages of Genocide,” Genocide Watch, 2016. http://genocidewatch.net/wp-content/uploads/2012/06/The-Ten-Stages-of-Genocide-handout.pdf (diakses 27 November 2019). Bandingkan juga dengan versi tabel: Stanton, Gregory H., “10 Stages of Genocide,” University and College Union. https://www.ucu.org.uk/media/9609/10-Stages-to-Genocide/pdf/10_Stages_to_Genocide.pdf (diakses 27 November 2019) 

  3. Kita juga ingat kata-kata Aristoteles dalam buku Metafisika: “All men by nature desire to know.” 

  4. World Health Organization, “World hunger is still not going down after three years and obesity is still growing–UN report,” 15 July 2019. https://www.who.int/news-room/detail/15-07-2019-world-hunger-is-still-not-going-down-after-three-years-and-obesity-is-still-growing-un-report (diakses tanggal 30 Desember 2019).