Cerita Rakyat Sebagai Media Pembelajaran Filsafat untuk Anak-anak di Indonesia
Abstrak
Sistem pendidikan Indonesia telah melahirkan insan-insan muda yang mampu berpikir melampaui kenyataan konkret, menelusup ke dalam ranah abstrak dan reflektif. Ini adalah buah dari pendidikan yang memberi ruang bagi kebebasan bertanya dan bernalar. Namun, gelombang pemikiran yang bersifat abstrak dan filosofis ini, terutama di kalangan generasi milenial, mesti ditanggapi dengan bijaksana. Sebab, bila tidak, ia dapat berkembang liar tanpa arah dan akhirnya menyesatkan. Tulisan ini hendak menunjukkan bagaimana gabungan antara daya berpikir kritis, abstrak, rasa ingin tahu yang besar, dan lemahnya pengawasan terhadap akses internet anak-anak usia 8 hingga 15 tahun, dapat menimbulkan kerusakan pada pembentukan karakter.
Sebagai jawabannya, penulis mengusulkan gerakan pembelajaran filsafat untuk anak-anak atau Philosophy for Children (P4C). Gerakan ini mula-mula digagas oleh Matthew Lipman, dan kini terus dikembangkan oleh Thomas E. Wartenberg. Dari berbagai pendekatan pembelajaran filsafat yang mereka teliti, metode yang paling efektif bagi anak untuk belajar bernalar secara filosofis adalah melalui cerita. Dalam konteks Indonesia, cerita rakyat dapat menjadi medium yang sangat cocok untuk menerapkan P4C. Sebab, cerita rakyat Indonesia tidak hanya memuat hikmah, tetapi juga menyimpan nilai-nilai filosofis yang telah teruji dalam kearifan budaya. Maka, pemanfaatan cerita rakyat dalam pendidikan bukan hanya melestarikan warisan budaya, melainkan juga menanamkan daya pikir reflektif pada anak-anak.
Kata-kata Kunci: pendidikan, filsafat, anak-anak, milenial, kurikulum, cerita rakyat, Philosophy for Children, P4C.
Pendidikan yang Melahirkan Pemikir Kritis
Setiap zaman menuntut bentuk pendidikan yang sesuai dengan semangatnya. Maka tidak mengherankan bila pola ajar yang berpusat pada guru (teacher oriented) kini ditinggalkan, diganti oleh pendekatan yang menempatkan murid sebagai pusat kegiatan belajar (student oriented). Pemerintah Indonesia menangkap arah perubahan ini dengan menerapkan Kurikulum 2013, yang menekankan bahwa pembelajaran harus berpusat pada peserta didik.1
Dalam pelaksanaannya, pendekatan siswa-sentris ini diwujudkan melalui beberapa praktik baru. Pertama, para murid kini mendapat tugas-tugas presentasi secara berkala. Di awal setiap bab, guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dan memberikan tanggung jawab kepada masing-masing untuk mempresentasikan subtopik tertentu. Dalam prosesnya, murid mencari informasi, berdiskusi, menyusun bahan, dan mempresentasikannya di depan kelas. Sesi tanya jawab di akhir presentasi menjadi ruang dialog, di mana murid lain dan guru sendiri bisa menguji pemahaman kelompok tersebut.
Kedua, munculnya program tutor sebaya. Dalam program ini, beberapa murid yang menunjukkan minat dan kompetensi pada mata pelajaran tertentu ditunjuk menjadi tutor bagi teman-temannya. Di sini terjadi proses belajar ganda: murid belajar dari temannya, dan tutor memperdalam penguasaannya dengan mengajar. Maka, kegiatan ini bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan pengasahan relasi dan kepedulian sosial.
Ketiga, penggunaan media literasi sebagai alat bantu pembelajaran. Proyektor, speaker, dan materi audiovisual digunakan untuk menjembatani pemahaman. Misalnya, film diputar di kelas dan menjadi pemicu diskusi tentang tema-tema pelajaran. Hal ini bukan hanya menambah daya tarik pembelajaran, tetapi juga mengundang siswa untuk berpikir lebih dalam dan reflektif.
Ketiga contoh ini, bersama dengan berbagai program lainnya, dirancang untuk menumbuhkan soft skills murid di samping kompetensi akademik. Harapannya, murid mampu menggali informasi secara mandiri, menyampaikan gagasan secara jelas, berani bertanya, serta menjalin komunikasi yang sehat. Namun lebih dari itu, tanpa disadari, pendekatan ini juga membentuk cara berpikir murid menjadi lebih tajam dan kritis.
Dengan kebiasaan bertanya, mencari tahu, dan berdiskusi, benih pemikiran kritis mulai tumbuh. Murid belajar untuk tidak serta-merta menerima setiap informasi yang datang padanya. Ia mulai memilah dan menyaring, tidak percaya hanya karena manis bunyinya, dan tidak menolak hanya karena pahit rasanya. â(…) walau terasa semanis gula, tak bakal langsung direguknya, meski sepahit empedu tidak pula buru-buru dimuntahkannya, (…)â2 â ungkapan ini sangat tepat menggambarkan watak berpikir kritis yang ideal.
Namun, sebagaimana setiap daya manusiawi lainnya, berpikir kritis pun memerlukan arah dan batas. Seorang anak perlu dituntun agar tidak mempertanyakan segala hal secara sembrono. Jangan sampai ia terjatuh ke dalam sikap skeptis yang tidak sehat: mempertanyakan agama, meragukan kasih orangtua, atau mencemooh nilai-nilai luhur yang belum sempat ia pahami. Bagi orang dewasa, batas ini bisa diterima secara wajar. Tetapi bagi anak-anak, tanpa tuntunan yang bijak, pemikiran kritis bisa menjelma menjadi sikap pembangkangan yang kurang ajar.
Teknologi dan Rasa Ingin Tahu Anak
Rasa ingin tahu adalah sifat kodrati anak-anak. Dalam masa pertumbuhan, terutama pada jenjang pendidikan dasar hingga menengah pertama, keingintahuan ini mengalir deras dan tanpa henti. Ia tampil dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, yang sering kali mengejutkan dan tak terduga. Anak yang berpikir kritis akan bertanya tentang hal-hal yang bagi orang dewasa mungkin sepele, tetapi baginya penuh misteri. Dan yang paling menantang adalah saat pertanyaan itu menyentuh ranah abstrakâtentang Tuhan, kebaikan, kejahatan, keadilan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kali membuat orangtua kebingungan. Tidak semua orangtua siap menjawab, bahkan tidak sedikit yang tak pernah sekalipun bertanya hal yang sama dalam hidupnya. Kalaupun ada orangtua yang berusaha menjawab, sering kali mereka kesulitan untuk menyusun penjelasan yang dapat dipahami oleh anak-anak. Maka tak jarang, respon yang diberikan bersifat menghindar: menjawab seadanya, atau bahkan mengalihkan perhatian anak agar berhenti bertanya.
Namun, sifat ingin tahu anak-anak tidak dapat dipadamkan dengan pengalihan semata. Terlebih pada usia 8 sampai 15 tahun, keingintahuan itu menjadi tenaga yang aktif mencari. Ketika tidak menemukan jawaban yang memuaskan dari lingkungan terdekatâguru, orangtua, atau orang dewasa lainnyaâanak-anak akan mencari sendiri jawabannya. Dalam semangat sistem pendidikan Indonesia yang mendorong anak untuk aktif mencari dan berpikir mandiri, sikap ini merupakan konsekuensi yang wajar. Anak-anak yang tidak mudah puas ini, yang terus menggali dan bertanya, layak disebut sebagai ‘anak-anak filosofis’.3
Di zaman ini, informasi bukan barang langka. Justru kelimpahan informasi menjadi ciri khas zaman digital. Dan sumber utamanya adalah internet. Maka, ketika pertanyaan tak terjawab oleh manusia sekitarnya, anak akan bertanya kepada mesin pencari. Internet membuka segala jenis informasi, tanpa penyaring, tanpa pembimbing. Ini adalah saat di mana pikiran kritis anak berisiko melanggar batas. Mereka bisa mengakses apa sajaâbaik yang mencerahkan maupun yang menyesatkan.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk membatasi informasi yang dianggap berbahaya bagi anak. Pemblokiran konten pornografi, misalnya, telah menjadi kebijakan umum. Tetapi persoalan menjadi lebih rumit ketika yang dicari anak bukanlah hal cabul, melainkan jawaban dari pertanyaan tentang makna hidup, asal-usul moral, atau kebenaran agama. Jawaban-jawaban semacam itu tidak datang dari situs terlarang, tetapi dari artikel, opini, berita, bahkan tulisan-tulisan di blog dan media sosialâyang tentu saja tidak masuk dalam kategori yang bisa diblokir.
Pengawasan terhadap anak saat mengakses internet pun semakin sulit diterapkan. Anak-anak sudah diberi gawai pribadi sejak usia dini. Mereka membawa dunianya sendiri ke dalam genggaman. Orangtua tak lagi tahu ke mana anak berselancar, apa yang ia baca, siapa yang ia ikuti. Dan menutup akses internet bukanlah pilihan yang masuk akal, sebab kehidupan sosial anak kini terjalin erat melalui jaringan digital. Maka, fakta yang perlu diakui adalah: anak-anak generasi kini memiliki banyak cara untuk masuk ke dunia informasi tanpa pengawasan. Dan dengan watak kritis yang diasah oleh sistem pendidikan, mereka akan terus mencari jawaban atas pertanyaan filosofis mereka.
Di sinilah letak titik rawan pembentukan karakter. Ketika pencarian berjalan tanpa arah dan tanpa pembimbing, anak bisa tersesat. Karakternya bisa terbentuk dari sumber-sumber yang tidak bertanggung jawab. Karena itu, kebutuhan akan pendidikan karakter menjadi sangat mendesak.
Pemikiran ini sejalan dengan seruan para cendekiawan pendidikan di tanah air. Salah satunya adalah Yudi Latif. Ia melihat bahwa ancaman terhadap karakter generasi muda tidak datang pertama-tama dari dalam diri anak-anak itu sendiri, tetapi dari teladan yang buruk dari para pemegang kekuasaan. Ia menyebut tiga penyakit utama: (1) hukum yang tidak adil, (2) korupsi yang merajalela, dan (3) penyalahgunaan agama.4
Anak-anak, dalam masa pertumbuhan, adalah makhluk peniru. Mereka belajar dengan mengamati, meniru, dan mengulang. Walaupun mereka tidak menyaksikan langsung praktik-praktik buruk itu, mereka bisa menemukannya dalam berita, media sosial, dan percakapan di ruang digital. Maka, karakter anak menjadi rentan untuk dibentuk oleh teladan yang rusak. Dan bila ini tidak disikapi secara serius, maka pendidikan kitaâbetapa pun modern dan interaktifnyaâhanya akan mencetak insan-insan kritis tanpa nurani.
Menghadapi Anak-anak Filosofis
Anak-anak zaman kini tidak lagi terbatas ruang geraknya oleh tembok rumah, sekolah, atau bahkan negara. Dengan akses informasi yang nyaris tak terbendung, serta pengawasan yang sering kali hanya bersifat formalitas, ‘anak-anak filosofis’ kini menjelma menjadi pribadi-pribadi pencari kebenaran yang berjalan sendiri tanpa pembimbing. Ketika seorang anak mulai mempertanyakan agamanya sendiri, dan tidak menemukan jawaban yang masuk akal atau menyentuh hatinya, ia bisa menjadi skeptis. Dalam bentuk paling ekstrem, ia bisa menjadi ateis atau agnostik.
Celakanya, media sosial yang seharusnya menjadi ruang dialog, kini dipenuhi oleh konten-konten bernada kebencian, prasangka, dan kekerasan simbolik yang berbau SARA. Seorang anak yang mencari di ruang seperti ini tidak mustahil malah terseret pada pola pikir ekstrem. Maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hidup keimanan anak, dan karakter secara umum, dapat rusak karena pencarian yang salah arah.
Di sisi lain, ketika anak-anak ini mulai mengkritisi didikan orangtuanyaâyang mungkin tidak secepat mereka dalam memahami dunia digital dan informasiâakan muncul sikap tinggi hati. Anak merasa lebih tahu, lebih paham, dan ini akan berujung pada pembangkangan. Maka tampak jelas, bahwa sistem pendidikan baru yang membentuk cara berpikir kritis, serta kemajuan teknologi informasi, sedang menciptakan generasi dengan wajah baru: generasi yang berpikir aktif dan merdeka, namun juga menghadirkan persoalan baru yang tidak sederhana.
Ada benang merah yang mesti kita tarik: pendidikan Indonesia mengasah nalar kritis; anak-anak membawa nalar ini dalam keingintahuan terhadap pertanyaan-pertanyaan abstrak; tetapi pengawasan informasi digital tidak berhasil; maka karakter anak bisa retak. Dalam situasi seperti ini, kita tidak bisa bersikap netral. Harus ada langkah antisipatif, bukan untuk memadamkan nalar kritis anak, tetapi untuk membimbingnya ke arah yang sehat. Dan cara terbaik untuk membimbing anak-anak yang berpikir filosofis adalah dengan menjawab keingintahuan mereka melalui pelajaran filsafat itu sendiri.
Namun, kita harus jujur mengakui kenyataan bahwa pendidikan filsafat di Indonesia masih merupakan hak istimewa. Ia hanya hadir di jenjang pendidikan tinggi, dan itupun tidak semua perguruan tinggi. Artinya, banyak orang dewasa pun belum pernah mengenal filsafat, apalagi anak-anak. Padahal, jika kita mengingat bahwa pemerintah Indonesia memiliki program wajib belajar dua belas tahun yang ditopang oleh Program Indonesia Pintar (PIP), maka justru pada jenjang inilahâdari SD sampai SMAâfilsafat perlu hadir. Di sinilah ruang yang paling menjanjikan untuk memperkenalkan cara berpikir filosofis, karena seluruh anak Indonesia, kaya maupun miskin, dijamin dapat menempuh pendidikan pada jenjang ini.
Sayangnya, sampai hari ini, filsafat belum menjadi bagian dari kurikulum wajib di tingkat dasar dan menengah. Di sinilah pentingnya menoleh pada praktik baik yang telah dilakukan oleh bangsa lain. Di Amerika Serikat, sejak tahun 1971, sudah dikembangkan satu gerakan yang disebut Philosophy for Children (P4C). Gerakan ini dipelopori oleh Matthew Lipman, seorang profesor dari Columbia University, New York. Lipman mengajukan gagasan sederhana namun mendalam: bahwa anak-anak mampu berpikir filosofis, dan bahwa berpikir filosofis akan memperdalam karakter mereka. Maka ia merancang kurikulum filsafat yang bisa diterapkan sejak usia dini.
Gerakan ini terus berkembang, dan sampai sekarang P4C masih diterapkan di berbagai negara, karena terbukti mampu memperkuat daya nalar sekaligus memperhalus karakter anak. Pada bagian berikut, akan dipaparkan beberapa data dan pengalaman dari pelaksanaan P4C yang dapat menjadi bahan renungan bagi kita di Indonesia.
Matthew Lipman â Philosophy for Children (P4C)
Matthew Lipman merupakan pelopor pendidikan filsafat bagi anak-anak yang bukan hanya berbicara dengan semangat moral, tetapi juga dengan ketelitian ilmiah. Ia adalah orang pertama yang meneliti secara empiris bagaimana cara mengajarkan filsafat pada anak. Penelitian tersebut dimulai pada tahun 1971, dan hasil-hasilnya hingga kini masih menjadi fondasi dalam pengembangan metode pengajaran filsafat anak di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, nama Lipman telah menjadi ikon dalam gerakan pendidikan yang mengaitkan filsafat dengan pembentukan karakter dan nalar anak.
Pada dekade 1970-an, sistem pendidikan di Amerika menjadi sorotan tajam para pemikir pendidikan. Keluhan utama terletak pada lemahnya kemampuan bernalar siswa. Saat itu, dua bidang yang dianggap paling esensial dalam melatih penalaran adalah matematika dan membaca. Maka, sekolah-sekolah berupaya keras menciptakan metode-metode baru dalam mengajar matematika serta memperbanyak bahan bacaan bagi siswa.5
Harapan yang tumbuh waktu itu adalah: bila kualitas pengajaran matematika dan membaca ditingkatkan, maka kemampuan menalar anak juga akan meningkat. Namun, suatu eksperimen yang dilakukan untuk mengajarkan logika kepada siswa kelas 5 SD justru membalikkan anggapan tersebut. Hasil eksperimen itu menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan nalar bukan hanya disebabkan oleh kurangnya fakta atau rumus, tetapi oleh cara berpikir yang terlalu bergantung pada fakta-fakta itu sendiri. Anak-anak cenderung sibuk memecahkan masalah, tetapi lemah dalam merumuskan masalah.6
Lipman menangkap satu kelemahan mendasar dalam sistem pendidikan: anak-anak diajarkan banyak hal, tetapi tidak diajarkan untuk berpikir tentang pikiran mereka sendiri. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus melatih kepekaan anak terhadap struktur dan kesesatan nalar (fallacy). Dalam hidup nyata, masalah tidak selalu bisa diselesaikan dengan rumus atau alat ukur. Sering kali, persoalan bermula dari kekaburan makna, kekeliruan definisi, atau sudut pandang yang sempit. Maka, diperlukan suatu pendidikan yang tidak hanya menyampaikan isi pengetahuan, tetapi yang juga melatih cara berpikir.
Dengan keyakinan itu, Lipman menyimpulkan bahwa filsafat adalah pelajaran yang tepat. Bukan filsafat dalam bentuk yang kaku dan akademis, tetapi filsafat sebagai seni bertanya dan berpikir. Filsafat yang bersandar pada rasa ingin tahu anak-anak sebagai daya penggerak, dan bukan sekadar hafalan konsep. Filsafat, dalam pandangan Lipman, adalah pelindung anak terhadap kesalahan berpikir, sekaligus jalan pembimbing untuk mengenali dunia secara lebih mendalam.
Untuk mewujudkan ide ini, Lipman tidak langsung membuat buku pelajaran, tetapi menciptakan sebuah novel berjudul Harry Stottlemierâs Discovery. Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang anak yang, secara tidak sengaja, menemukan hukum pembalikan dalam logika, dan mulai mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Cerita ini ditulis dengan gaya yang akrab bagi anak-anak, namun sarat muatan logis dan filosofis.
Novel ini dijadikan media belajar di Rand School, Montclair, New Jersey, dan digunakan dalam kelas 5 SD. Hasilnya, kemampuan bernalar siswa meningkat secara nyata. Dengan pendekatan naratif dan dialogis ini, Lipman membuktikan bahwa anak-anak mampu merenungkan pertanyaan-pertanyaan besarâtentang makna, kebenaran, keadilanâasal diberi ruang, metode, dan bahasa yang sesuai dengan dunianya.
Thomas E. Wartenberg â P4C Goes to College
Pada tahun-tahun berikut, gagasan Lipman dijadikan pijakan oleh banyak pihak dalam merumuskan cara mengajarkan filsafat kepada anak-anak. Salah satu tokoh yang muncul adalah Thomas E. Wartenberg, dosen filsafat di Mount Holyoke College di Massachusetts, Amerika Serikat. Dalam satu dekade terakhir, Wartenberg menjalin kerja sama dengan guru-guru sekolah dasar untuk mengembangkan kembali metode pembelajaran filsafat bagi anak-anak. Setelah melewati beragam tantangan, ia berhasil merumuskan dan menerapkan metode pengajaran filsafat untuk anak-anak usia delapan hingga lima belas tahun. Metode ini kini banyak dipakai di berbagai sekolah dasar di Amerika untuk mengajarkan filsafat.
Guru-guru sekolah dasar yang terlibat tidak semuanya berlatar belakang filsafat. Bahkan sebagian yang berpendidikan filsafat pun belum siap mengajarkan filsafat kepada anak-anak, sebab ilmu tersebut mereka sendiri pelajari di jenjang perguruan tinggi. Metode pembelajaran di perkuliahan mengasumsikan peserta didik sudah memiliki pola pikir matang dan kemampuan abstrak yang berkembang, sedangkan anak-anak belum dapat menerima konsep filsafat yang abstrak ala perguruan tinggi. Keterbatasan sumber daya manusia yang mampu mengajarkan filsafat kepada anak-anak menjadi masalah utama di awal penelitian Wartenberg. Oleh karena itu, Wartenberg terlebih dahulu merumuskan metode untuk mengajar para calon pengajar filsafat itu sendiri. Penelitian ini ia lakukan dengan membuka mata kuliah “belajar mengajar filsafat” di Mount Holyoke College. Dalam tujuh minggu, mahasiswa dilatih intensif dan diberi tugas praktik mengajar di sekolah dasar yang telah bekerja sama.7
Pendidikan Menalar di Indonesia
Lipman menegaskan bahwa walaupun matematika dan membaca memberi kontribusi penting dalam penalaran, keduanya tidaklah cukup untuk menghasilkan kemampuan menalar yang baik. Kemahiran dalam operasi hitung dasar maupun kecepatan membaca buku cetak atau novel tebal tidak bisa dijadikan tolok ukur kecakapan bernalar anak.8 Pernyataan ini sangat relevan bagi kondisi pendidikan di sekolah dasar sampai menengah atas di Indonesia. Dalam hal ini, penulis melihat ada empat hal utama yang perlu dikritisi.
Pertama, pelajaran matematika dianggap mengandung penalaran logis, tetapi seringkali cara bernalar dalam matematika terlalu abstrak sehingga anak kesulitan menemukan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari. Ketidaksadaran akan manfaat praktis menjadi salah satu faktor utama hilangnya motivasi belajar anak. Maka tidak mengherankan bahwa hanya sedikit anak di Indonesia yang menjadikan matematika sebagai mata pelajaran favoritnya. Ini bukan bermaksud meremehkan matematika, melainkan mengurangi pandangan umum yang menempatkan matematika sebagai indikator utama kecerdasan.
Kedua, pelajaran bahasa Indonesia juga memiliki kekurangan. Sebagian besar teks dalam buku bahasa Indonesia disusun sedemikian rupa agar sesuai dengan struktur, kosakata, dan tata bahasa formal yang sedang dipelajari dalam buku tersebut. Hal ini tidak mendukung anak mengembangkan kemampuan menalar terhadap teks dan pernyataan kompleks di luar buku pelajaran. Karenanya, saat rapor akhir semester dibagikan, kita sering menjumpai anak yang cemerlang dalam matematika tetapi kurang dalam pelajaran bahasa.
Ketiga, pelajaran sains seperti fisika, kimia, dan biologi yang tampak sarat dengan penalaran dan metode penelitian, sesungguhnya banyak menggunakan penalaran induktif yang kurang dapat diandalkan, yakni penalaran yang memungkinkan kesimpulan keliru meski premisnya benar.9 Metode yang diajarkan juga lebih bersifat praktis dalam panduan praktikum, bukan analitis. Dengan demikian, tugas laporan yang mestinya menjadi sarana anak mulai bernalar justru menjadi ajang menulis ulang teori dari buku atau internet. Dari ketiga poin tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan menalar di sekolah-sekolah Indonesia saat ini belum berjalan secara optimal.
Menalar Cerita Rakyat
Menghadapi rendahnya kemampuan bernalar anak-anak, Lipman memilih cerita sebagai medium pengajaran filsafat. Demikian pula Wartenberg, dalam upayanya menambah sumber daya manusia yang mampu mengajar filsafat pada anak, akhirnya juga menempatkan cerita sebagai media paling tepat. Namun, seiring waktu, budaya bercerita (story telling) mulai meredup di Indonesia. Khusus untuk cerita rakyat, popularitasnya mengalami penurunan tajam. Penulis berpendapat bahwa harapan terakhir agar cerita rakyat bertahan dalam dunia pendidikan Indonesia terletak pada pelajaran bahasa. Pelajaran ini sesungguhnya menyimpan potensi terbesar untuk menjalankan Philosophy for Children.
Dalam buku pelajaran bahasa cetak, terdapat banyak teks cerita rakyat berbentuk cerpen. Di akhir teks biasanya disajikan beberapa pertanyaan terkait cerita itu. Pertanyaan tersebut kerap membahas unsur-unsur yang terdapat dalam cerpen. Cerpen terdiri atas unsur intrinsik dan ekstrinsik, unsur intrinsik seperti tema, tokoh dan watak, latar, serta amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik misalnya latar belakang penulis dan budaya. Dari sekian unsur tersebut, yang paling dekat dengan fungsi mengajarkan filsafat pada anak adalah pencarian amanat cerita.
Namun, amanat-amanat seperti âJangan durhaka kepada orangtuaâ, âJangan serakahâ, âKita harus bersyukur dengan apa yang kita milikiâ tidak membutuhkan penalaran abstrak. Ketika anak membaca, ia akan menemukan konflik di dalam cerita. Dalam konflik itu, tokoh antagonis dan protagonis dapat diidentifikasi dengan memperhatikan tindakan-tindakan yang mereka lakukan. Selanjutnya, tindakan protagonis atau malapetaka yang menimpa antagonis dapat menggambarkan amanat cerita. Terlihat bahwa âmencari amanatâ tidak pernah mendorong anak untuk bernalar â proses itu disebut âmencariâ karena âamanatâ memang sudah ada di dalam teks cerita itu sendiri. Pesan-pesan klise dalam amanat tidak memberi dampak mendalam pada karakter anak, sehingga sulit dimanfaatkan untuk pembelajaran menalar filosofis.
Menalar melampaui sekadar menemukan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Hal ini lebih mudah dipahami melalui contoh. Dalam salah satu versi cerita Si Kancil Mencuri Timun, digambarkan bagaimana tindakan Kancil mencuri timun membuatnya dikurung oleh Pak Tani. Untuk mulai mencari unsur intrinsik, pertanyaan yang diajukan misalnya âBagaimana watak Kancil?â, âBagaimana watak Pak Tani?â, yang secara tersirat tergambar dalam tindakan tokoh. Amanatnya pun jelas: Kancil mencuri, lalu dihukum Pak Tani, sehingga amanatnya adalah âjangan mencuri.â
Namun, dalam menalar cerita, pertanyaan yang diajukan tidak selalu dapat dijawab dari teks. Contohnya, untuk menalar cerita Si Kancil Mencuri Timun, pertanyaan yang dapat diajukan adalah âMengapa mencuri itu salah?â Pertanyaan ini tampak konyol dan tidak terkait langsung dengan cerita, namun pertanyaan seperti ini yang justru melatih anak untuk bernalar. Anak harus mulai memikirkan, apa sebenarnya mencuri itu? Apakah mencuri salah karena orang yang mencuri dihukum, ataukah orang dihukum karena mencuri memang salah? Tetapi kembali ke pertanyaan utama: mengapa mencuri itu sendiri salah? Terlihat bahwa pertanyaan bernalar ini jauh lebih dalam dan abstrak dibandingkan pertanyaan mencari unsur cerita. Pertanyaan ini dengan efektif memanfaatkan rasa ingin tahu anak untuk memulai diskusi filosofis.
Tindakan mencuri dalam contoh itu sendiri tidak abstrak, namun pertanyaan yang diajukan memperlakukannya seakan abstrak. Ini bukan tanpa tujuan, melainkan menganggap suatu hal abstrak adalah cara efektif untuk membahasnya secara mendalam. Proses bernalar membutuhkan banyak waktu dan pemikiran. Oleh karena itu, bila proses ini dilakukan sampai tuntas, kesimpulan yang diperoleh akan berdampak besar pada karakter anak. Bila seorang anak menyimpulkan âsaya tidak boleh mencuriâ dari hasil penalarannya sendiri, ia cenderung lebih mematuhinya dibandingkan sekadar menerima larangan dari orang lain. Jika anak melanggar kesimpulan hasil pikirannya, maka sesungguhnya ia melanggar dirinya sendiri. Di sinilah moral seorang anak, atau siapa saja, berkembang. Moral tumbuh melalui proses bernalar.
Cerita Rakyat sebagai Media Penerapan P4C
Dalam perjalanan perkembangannya, P4C selalu dituntut untuk menciptakan cerita-cerita baru yang dirancang secara khusus. Kenyataan ini muncul karena tidak semua cerita dapat dijadikan media untuk membuka pembahasan filosofis. Oleh karena itu, agar cerita rakyat Indonesia dapat digunakan sebagai media pembelajaran filsafat, cerita-cerita tersebut hampir pasti harus ditulis ulang tanpa menghilangkan kekhasan daerah asal maupun alur ceritanya, agar efektif dalam pembelajaran filsafat.
Dalam cerita rakyat Indonesia, narasi menguasai porsi jauh lebih besar dibanding dialog antar tokoh. Sebaliknya, cerita P4C seperti Harry Stottlemier’s Discovery karya Lipman sangat didominasi oleh dialog. Dialog antar tokoh atau konflik batin menjadi kunci penting dalam memancing diskusi filosofis. Di dalam dialog itu, pembaca diajak mengikuti pola pikir filosofis yang disusun penulis. Dengan dialog, penulis dapat dengan leluasa membimbing proses ‘menalar’ pembaca.
Menulis ulang cerita rakyat dengan gaya ‘filosofis’ membutuhkan seseorang yang kompeten di bidang filsafat. Inilah kendala paling utama dalam memulai gerakan P4C di Indonesia. Metode âmengajar orang agar bisa mengajarkan filsafatâ yang dikembangkan Wartenberg perlu diterapkan terlebih dahulu di Indonesia. Metode ini bergantung pada instansi pendidikan filsafat yang berani melakukan eksperimen jangka panjang dengan membuka mata kuliah âmengajar filsafat.â
P4C bersifat eksperimental di Indonesia, memerlukan dosen dan mahasiswa yang bersedia mengorbankan waktu dan tenaga. Penulisan ulang cerita rakyat bukanlah hal mudah; diperlukan bimbingan dari para dosen agar pola pikir yang tertulis dalam cerita mampu mengarahkan pembaca pada proses penalaran. Banyak tantangan harus dihadapi, tetapi apabila semua itu berhasil, akan lahir karya-karya yang memberi dampak besar pada pola pikir generasi mendatang.
Kesimpulan
Di tengah gegap gempita isu-isu yang memecah belah, kemampuan menalar anak-anak harus diperkuat. Pemikiran abstrak yang belum mantap mudah tersesat oleh arus informasi palsu di internet, yang menjadi sumber utama mereka. Oleh sebab itu, pola pikir abstrak anak-anak harus dibimbing, mereka harus dilindungi dari arus destruktif seperti ekstremisme dan intoleransi.
P4C sangat bergantung pada media cerita, dan di Indonesia penerapannya bisa dilakukan dengan menulis ulang cerita rakyat ke dalam gaya filosofis. Proses penulisan ini diharapkan mampu membimbing pembaca untuk bernalar ala filsuf â penalaran yang kritis, abstrak, dan paham akan batas-batasnya. Cerita rakyat mengandung ‘filosofi’ yang melekat dalam budaya masyarakat Indonesia, sehingga ia dapat menjadi media yang mudah diterima dan dipahami.
Menerapkan P4C ke dalam sistem pendidikan Indonesia pada jenjang sekolah dasar hingga menengah atas merupakan solusi yang berpotensi besar memperkuat daya nalar anak. Jenjang ini adalah masa wajib ditempuh oleh semua anak. Bila P4C berhasil diterapkan di sini, dapat dipastikan bahwa lulusan SMA â yang sebagian besar segera terjun ke masyarakat â telah memperoleh bekal untuk melindungi diri dari kesesatan nalar. Bahkan, bekal itu dapat menjadi senjata ampuh untuk menumbangkan segala aliran pemikiran yang berpotensi memecah belah bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
-
Gorard, Stephen, Nadia Siddiqui, dan Beng Huat See. “Philosophy for Children: Evaluation report and executive summary.” Education Endowment Foundation, (Millbank: Durham University, 2015).
-
Gordon, Ronni. “Philosophy Teaches Kids to Think before Making up Their Minds.” National Catholic Reporter, Kansas City 42, no. 2, 28 Oktober 2005: 22A, 23A.
-
Latif, Yudi. “Hancurnya Karakter Hancurnya Bangsa, Urgensi Pendidikan Karakter.” Majalah Basis (2007), No. 07–08, p. 38.
-
Lipman, Matthew. Harry Stottlemier’s Discovery, Revised Edition, (New Jersey: Montclair State College, 1974).
-
Lipman, Matthew. “Philosophy for children.” Metaphilosophy, vol. 7, no. 1, (1976): 17–33.
-
Lipman, Matthew. “Thinking skills fostered by philosophy for children.” Thinking and Learning Skill, Vol. 1: Relating Instruction to Research, 1985, 83–108.
-
Wartenberg, Thomas. E., “Philosophy for Children goes to college.” School Field, 5(3), (2007): 329–340.
-
Wartenberg, Thomas. E., (et. al.), “Examining the effects of philosophy classes on the early development of argumentations skills.” Philosophy in Schools: An Introduction for Philosophers and Teachers. (New York: Routledge, 2013.)
-
Wartenberg, Thomas. E., “Teaching Philosophy by Teaching Philosophy Teaching.” Teaching Philosophy 26, no. 3 (2003): 283–97.
Daftar Pustaka Daring
-
Chris Weller. “Schools are starting to teach kids philosophy—and it’s completely changing the way students think.” Business Insider, 31 Juli 2015. (Diakses 30 November 2019). (http://www.businessinsider.com/teaching-philosophy-in-schools-has-huge-impacts-2015-7)
-
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum. (Diakses 30 November 2019). (https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/bsnp/Permendikbud81A-2013ImplementasiK13Lengkap.pdf)
-
Vickers, J. “The Problem of Induction.”, E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Stanford University, 2016. (Diakses 1 Desember 2019) (https://plato.stanford.edu/archives/spr2016/entries/induction-problem/)
Catatan Akhir
Tulisan ini ditulis sebagai tugas pengganti UAS Mata Kuliah “Alam Pikiran Indonesia” di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, tanggal 5 Desember 2019
-
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum, hlm. 13, par. 5 ↩
-
Ini adalah penggambaran watak tokoh Makaji dalam cerpen “Juru Masak” karya Damhuri Muhammad. ↩
-
Thomas E. Wartenberg, seorang dosen filsafat di Mount Holyoke College (Massachusetts, USA), menyebut mereka dengan julukan “Natural-born Philosophers.” ↩
-
Latif, Yudi. “Hancurnya Karakter Hancurnya Bangsa, Urgensi Pendidikan Karakter.” Majalah Basis (2007), No. 07–08, hal. 38. ↩
-
Lipman, Matthew. “Philosophy for children.” Metaphilosophy, vol. 7, no. 1, (1976): 17–33, hlm. 18 ↩
-
Lipman, Matthew. “Philosophy for children.” Metaphilosophy, vol. 7, no. 1, (1976): 17–33, abstrak. ↩
-
Wartenberg, T. E. (2007). Philosophy for Children goes to college. School Field, 5(3), 329–340. ↩
-
Lipman, Matthew. “Philosophy for children.” Metaphilosophy, vol. 7, no. 1, (1976): 17–33, hlm. 19, par. 3 ↩
-
Vickers, John. “The Problem of Induction”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2016 Edition), Edward N. Zalta (ed.), par. 3 ↩