Pendidikan untuk Perdamaian
Hornedo, Florentino H., Christian Education: Becoming Person-for-Others: Essays in Philosophy of Education, (Manila: Santo Tomas University Press, 1995), pp. 111–119. Selanjutnya, acuan pada sumber ini akan ditulis dengan ‘CE’, diikuti dengan nomor halaman. E.g.:(CE 112).
Pengamatan dan Pertimbangan Awal
Florentino H. Hornedo membuka esainya “Education for Peace” dengan menyoroti kecenderungan pendidikan yang terlalu menekankan aspek individual. Pendidikan, dalam pandangan umum, dimengerti sebagai “penangkapan pengetahuan, sikap, dan keterampilan lewat cara-cara formal, non-formal, maupun informal, untuk membantu individu mencapai potensinya.” Namun, justru pada titik itulah Hornedo mengangkat kritiknya. Baginya, tekanan yang berlebihan pada aspek ‘individu’ telah menyuburkan benih individualisme dalam sistem pendidikan kita (CE 111).
Tanda-tanda individualisme ini tampak dari semangat kemandirian yang dijunjung tinggi dalam pendidikan. Kemandirian dimaknai sebagai kemampuan untuk hidup tanpa bergantung pada siapa pun. Namun, di balik semangat ini tersembunyi bahaya: peserta didik mulai memaknai hidupnya sebagai perjuangan soliter, dan keberhasilan sebagai hasil jerih payahnya sendiri, bukan buah dari jaringan sosial tempat ia tumbuh. Pendidikan semacam itu melunturkan kesadaran sosial dan membentuk watak kompetitif yang cenderung melihat orang lain sebagai pesaing, bukan sebagai sesama manusia (CE 112).
Hornedo melihat bahwa anggapan mendasar dari pendidikan yang individualistik ialah bahwa manusia hidup demi dirinya sendiri. Pandangan seperti itu, jika diteruskan, akan membentuk individu yang terobsesi pada kesuksesan personal dan lupa pada tanggung jawab sosialnya. Pendidikan yang demikian melatih manusia untuk melihat dunia sebagai arena kompetisi, dan sesama manusia sebagai lawan. Inilah mengapa Hornedo menyebut pendidikan semacam itu sebagai “pendidikan untuk perang” (CE 113).
Pengamatan Hornedo ini mengingatkan kita pada pandangan Thomas Hobbes tentang state of nature, di mana manusia hidup dalam situasi homo homini lupus — manusia adalah serigala bagi sesamanya. Dalam situasi semacam ini, kebebasan setiap individu bertabrakan satu sama lain, dan yang muncul adalah suasana perang yang terus-menerus. Karena itu, pendidikan — sebagai instrumen utama pembentukan pribadi — harus disusun berdasarkan pemahaman mendalam mengenai hakikat manusia, tujuannya, serta relasinya dengan sesama.
Hornedo menyadari bahwa menekankan kepentingan sosial kadang berisiko mengorbankan hak-hak individu. Namun, pendidikan yang ia tawarkan tidak bermaksud merampas kebebasan pribadi, melainkan menegaskan bahwa kebebasan tersebut hanya dapat berkembang dalam masyarakat yang harmonis. Pendidikan mesti membantu peserta didik menyadari bahwa perkembangan dirinya tidak terlepas dari perkembangan masyarakat. Ia berhak menuntut haknya, tetapi ia pun tak boleh melupakan tanggung jawab sosialnya. (CE 113)
Pandangan Hornedo mengenai manusia sebagai makhluk sosial sangat bersesuaian dengan gagasan Martin Heidegger tentang mit-dasein — bahwa manusia senantiasa adalah “ada-bersama-orang-lain.” Dalam horizon ini, sosialitas bukanlah atribut tambahan, melainkan dimensi esensial dari eksistensi manusia. Dan karena itu pula, pendidikan yang mengabaikan dimensi ini sesungguhnya telah mengkhianati hakikat manusia itu sendiri.
Dari Keadilan Menuju Perdamaian
Hornedo berpendapat bahwa untuk mencapai perdamaian, langkah awal yang harus dilalui adalah keadilan. Tetapi ia menyoroti bahwa keadilan yang dipahami secara legalistik — yaitu sebagai sekadar kesesuaian dengan hukum — tidak cukup untuk membangun masyarakat yang berkembang. Ia memberikan contoh tentang seorang pengusaha yang membayar karyawan sesuai dengan standar upah minimum, tetapi karyawan tersebut tetap hidup dalam kemiskinan. Secara hukum, pengusaha itu adil. Tetapi secara moral dan sosial, apakah ia sungguh berlaku adil? (CE 114)
Di sinilah Hornedo memperkenalkan perspektif cinta kasih sebagai dasar yang lebih tinggi dari hukum. Ia menulis, “akar dari keadilan memang kesesuaian dengan hukum, tetapi hukum yang ada di atas segala hukum adalah hukum Cinta Kasih.” Keadilan sejati, menurutnya, adalah distribusi cinta kasih — yaitu perhatian nyata terhadap perkembangan dan kesejahteraan orang lain. Maka, ketika seseorang yang berpotensi menjadi dokter tidak dapat meraihnya karena kemiskinan dan ketiadaan perhatian sosial, di sanalah letak ketidakadilan yang sesungguhnya. Bahkan, itu adalah bentuk kekerasan — kekerasan yang dilakukan bukan dengan senjata, melainkan dengan ketidakpedulian terhadap potensi ilahi yang ditanamkan dalam diri sesama manusia (CE 114).
Pandangan ini bergaung dengan filsafat Emmanuel Levinas, yang menekankan tanggung jawab etis terhadap yang-lain. Menurut Levinas, dalam diri manusia selalu hadir wajah yang-lain, yaitu jejak sesama yang memanggil tanggung jawab kita. Kewajiban etis ini muncul bukan karena kontrak sosial, melainkan karena pengalaman eksistensial akan kehadiran orang lain dalam hidup kita. Demikian juga Hornedo: cinta kasih bukanlah aksesori, tetapi fondasi dari keadilan dan perdamaian.
Peran Pendidikan dalam Menyebarkan Perdamaian
Hornedo menyimpulkan bahwa ada tiga pergeseran pokok yang perlu terjadi dalam sistem pendidikan: (1) dari individualisme menuju sosialitas, (2) dari keuntungan pribadi menuju keuntungan bersama, dan (3) dari keadilan legalistik menuju keadilan yang humanis (CE 116). Namun, perubahan ini tidak akan terjadi tanpa pembaruan struktur pendidikan — baik dalam hal pengajar, peserta didik, maupun fasilitas pendukung.
Hornedo mengkritik pendidikan yang terlalu fokus pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan secara intelektual. Pengetahuan, dalam sistem ini, dikumpulkan sebanyak mungkin dengan harapan bahwa generasi mendatang akan lebih bijaksana. Namun kebijaksanaan tidak hanya soal kuantitas informasi, melainkan kualitas sikap hati. Pendidikan yang hanya mendidik pikiran, tetapi tidak menyentuh hati, gagal menciptakan manusia damai. Sebab, damai hanya mungkin tumbuh dari hati yang terdidik (CE 116–117).
Menurut Hornedo, akar dari pendidikan yang individualis ini bisa ditelusuri hingga gerakan Romantisisme abad ke-18. Romantisisme memindahkan fokus dari esensi universal manusia ke ciri khas individual yang aksidental. Akibatnya, semangat kebangsaan yang sebelumnya merupakan pemerdekaan dari penindasan, berubah menjadi penekanan terhadap keunggulan bangsa sendiri atas bangsa lain. Dari situ, tumbuhlah intoleransi dan konflik. Pendidikan yang lahir dari semangat seperti itu, menurut Hornedo, adalah pendidikan yang menyuburkan permusuhan, walau terselubung dalam baju nasionalisme (CE 117–118).
Hornedo tidak menolak keberagaman. Namun, ia menegaskan bahwa perbedaan harus menjadi ruang saling memperkaya, bukan saling membandingkan. Pendidikan yang mengajar untuk menghargai perbedaan, tetapi dalam kenyataannya menanamkan rasa keunggulan atas yang lain, adalah pendidikan yang kontradiktif. Pendidikan sejati adalah pendidikan yang membentuk sikap hati yang terbuka terhadap sesama — dalam persamaan maupun dalam perbedaan.
Kesimpulan
“Pendidikan untuk Perdamaian” yang digagas Hornedo bertujuan membentuk manusia yang sadar bahwa keberhasilannya bukanlah hasil mutlak dari usahanya sendiri, melainkan buah dari hubungan sosial yang menopangnya. Dari kesadaran itu, lahirlah tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Untuk mencapainya, pendidikan harus memutar arah: dari menekankan pencapaian pribadi menuju pelayanan dalam cinta kasih; dari melihat orang lain sebagai batu pijakan menuju penerimaan atas sesama sebagai saudara seutuhnya.
Pendidikan semacam ini harus membentuk keadilan sebagai nilai utama, sebab hanya dalam keadilanlah perdamaian dapat bertumbuh. Keadilan tidak lagi dibatasi oleh hukum positif, tetapi diperluas dalam horizon cinta kasih. Dengan demikian, pendidikan menjadi medan pembentukan hati nurani, bukan sekadar intelek.
Gagasan Hornedo ini amat relevan bagi Indonesia. Dalam masyarakat yang ditandai oleh keragaman budaya, agama, dan etnis, pendidikan yang membentuk hati yang adil dan penuh cinta kasih adalah kunci bagi persatuan. Hukum dapat menjaga perdamaian formal, tetapi hanya pendidikanlah yang dapat menanamkan perdamaian di dalam hati setiap warga negara.
Daftar Pustaka
Hornedo, Florentino H., Christian Education: Becoming Person-for-Others: Essays in Philosophy of Education, (Manila: Santo Tomas University Press, 1995), pp. 111–119.
Catatan Akhir
Tulisan ini disusun sebagai Tugas Terstruktur untuk mata kuliah Filsafat Pendidikan.