aaron-pm

Gaya Filsafat Oxford dalam Kritik H.L.A. Hart atas Teori Hukum John Austin

Pendahuluan: Gaya Filsafat Oxford

Disarikan dari artikel: Weitz, M., “Oxford Philosophy,” The Philosophical Review, Vol. 62, No. 2, April 1953, hlm. 187–233.1

Filsafat Oxford, istilah tersebut merupakan pembagian filsafat yang relatif sempit jika dibandingkan dengan pembagian-pembagian filsafat lainnya. Dalam filsafat, biasa dikenal pembagian historis seperti ‘Filsafat Yunani Kuno’, ‘Filsafat Abad Pertengahan’, ‘Filsafat Modern’, dst. Masing-masing pembagian tersebut memiliki rentang ratusan tahun lamanya. Ada juga pembagian geografis seperti ‘Filsafat Barat’, ‘Filsafat Timur’, dan lebih spesifik lagi ada ‘Filsafat China’, ‘Filsafat Indonesia’, dll. Dibandingkan itu semua, istilah ‘Filsafat Oxford’ merujuk pada pembagian geografis yang sangat spesifik, yaitu pemikiran yang berkembang di Universitas Oxford. Universitas Oxford, dengan klaimnya sebagai “universitas yang paling tua di dunia berbahasa Inggris”,2 punya sejarah pemikiran sejak akhir Abad Pertengahan (sekitar tahun 1090-an, tidak ada tanggal yang pasti. Duns Scotus dan William dari Ockham adalah dua tokoh yang sering dikategorikan sebagai pemikir Filsafat Abad Pertengahan, dan mereka sempat mengajar di Oxford) sampai sekarang. Namun, ‘Filsafat Oxford’ yang dibahas dalam filsafat modern merujuk pada pemikiran di Universitas Oxford yang berkembang mulai awal abad ke-20 atau pasca Perang Dunia II. Waktu itu, tokoh-tokoh besar seperti Bertrand Russell, G.E. Moore, and Ludwig Wittgenstein sedang mengajar di Oxford, dan pemikiran mereka diakui punya pengaruh besar terhadap tokoh-tokoh kontemporer yang sekarang masuk dalam golongan ‘Filsafat Oxford.’ (OP 189)

Pertanyaan ‘apa yang khas dari Filsafat Oxford?’ sangat sulit untuk dijawab. Alasannya adalah para pemikir yang masuk ke dalam golongan ini sendiri tidak mengakui secara eksplisit adanya satu hal yang menyatukan pemikiran mereka. Tidak seperti pada aliran atau gerakan pemikiran yang dapat diberikan suatu ‘-isme’, pemikiran mereka tidak dapat dimasukkan ke bawah satu label. Pada mereka tidak ada suatu ‘Oxford’-isme. Walaupun begitu, ada beberapa hal yang kurang lebih dapat menyatukan pemikiran mereka, dan itu yang akan diuraikan dalam bagian ini. Perlu diakui bahwa ini merupakan usaha eksternal untuk memahami koherensi internal Filsafat Oxford. Uraian berikut sifatnya umum, dan tidak mengandaikan kesamaan partikular yang mutlak. Satu hal yang harus dipegang adalah fakta bahwa “dalam prakteknya mereka tidak mementingkan apakah pemikiran mereka merupakan suatu gerakan, [dan apakah] ada kesatuan ataupun kemiripan” (OP 187). Maka dari itu, penulis memutuskan untuk menambahkan kata ‘gaya’ di depan ‘Filsafat Oxford,’ guna menekankan beragam variasi antar individu di dalam kesatuan pemikiran Filsafat Oxford.

Filsafat Bahasa Sehari-hari (Ordinary Language Philosophy)

Satu hal yang menjadi kesamaan di antara pemikir Oxford adalah mereka berupaya menggali problem filosofis yang muncul dari penggunaan konsep-konsep tertentu dalam ungkapan/bahasa (expression) sehari-hari. Ini menggambarkan ada pergeseran dari analisis logika simbolis ke penggunaan bahasa sebagaimana ia digunakan dalam situasi sehari-hari. Ludwig Wittgenstein dapat dijadikan personifikasi bagi pergeseran ini, dan itu sangat terlihat dari perkembangan pemikirannya. Persis pergeseran inilah yang membuat pemikiran Wittgenstein biasa dibagi menjadi dua periode (Wittgenstein I dan Wittgenstein II).

Dalam karya besarnya yang pertama berjudul Tractatus logico-philosophicus, Wittgenstein berbicara tentang hakikat dan logika bahasa. Salah satu teorinya yang paling terkenal adalah “Teori bahasa sebagai gambaran realitas” (Picture Theory). Apa yang mendasar dalam Tractatus adalah bahwa bahasa memiliki suatu struktur logis. Analisis logis atas bahasa tersebut tidak dapat diuraikan di sini. Namun, dapat dikatakan bahwa kesimpulannya adalah bahwa masalah-masalah filosofis tradisional muncul karena usaha kita untuk mengatakan apa yang tidak bisa dikatakan (berada di luar struktur logis). Ia menuliskan: “Apa yang memang dapat dikatakan, dapat dikatakan dengan jelas, dan tentang apa yang tidak bisa kita bicarakan, kita harus diam.” (KB 58, catatan kaki no. 19). Wittgenstein juga disebut sebagai ‘anti-metafisis’: menurutnya, apa yang dibahas metafisika itu berada di luar realitas, dan apa yang berada di luar realitas tidak dapat ‘tercerminkan/tergambarkan’ dalam bahasa secara valid dan logis. Karena manusia berpikir dengan bahasa dan logika, maka apa yang metafisis itu tidak dapat dipikirkan.

Dari kesimpulan itu, terlihat kesetiaan Wittgenstein I kepada analisis logika atas bahasa. Tetapi, tidak begitu dengan karyanya yang kedua berjudul Philosophical Investigations. Karya ini adalah penanda pegeseran metode Wittgenstein dari analisis logis ke penyelidikan bahasa sehari-hari. Sekarang, ia melihat bahwa penggunaan bahasa sehari-hari menunjukkan aspek yang lebih bervariasi dibandingkan penggunaan bahasa dalam logika formal. Teorinya yang terkenal dalam karya ini adalah Permainan Bahasa (Language Games).

Permainan adalah aktivitas yang dilakukan menurut aturan. Tetapi, ada banyak sekali macam permainan, aturan, cara bermain, dan alat-alatnya. Tidak ada gunanya dan tidak mungkin menunjukkan satu permainan sebagai model ideal bagi semua permainan lain. Sama seperti banyaknya bentuk permainan tersebut, ada banyak cara untuk menggunakan bahasa. Memberikan perintah, melukiskan suatu objek (deskriptif), melaporkan, bertanya, bercanda. Setiap kata atau kalimat yang dipakai mendapat maknanya dari setiap aktivitas itu. Karena itu, makna suatu kalimat selalu tergantung pada cara dipakainya kalimat tersebut. Makna suatu kalimat dimengerti sebagai penggunaan kalimat itu. Ia menuliskan: “Don’t ask for the meaning, ask for the use” (jangan tanyakan makna, tanyakanlah pemakaiannya) (BK 70).

Dalam periode ke-II ini, teori ‘gambaran realitas’ dalam Tractatus dilihat sebagai kurungan yang membatasi kekayaan analisis bahasa. Dengan ini, Wittgenstein membuka kembali tempat untuk metafisika dalam filsafat. Namun, ia tetap berfokus pada penggunaan sehari-hari bahasa metafisis: “What we do is to bring words back from their metaphsical to their everyday use” (KB 70, catatan kaki no. 37). Pasca perang dunia II, pergeseran Wittgenstein ini memberikan banyak inspirasi bagi para pemikir di Cambridge dan Oxford. Dua tokoh yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu John Austin dan H.L.A. Hart juga terpengaruh oleh pergeseran ke bahasa sehari-hari ini.

Analisis Bahasa Sehari-hari oleh John Austin dan H.L.A. Hart

Teori hukum Austin bertumpu pada analisisnya atas bahasa sehari-hari. Begitu juga dengan kritik Hart kepada Austin. Maka, sebelum masuk ke inti kritik teori hukum Hart, kiranya baik untuk sedikit diuraikan analisis bahasa yang dilakukan kedua tokoh tersebut.

Analisis Austin atas bahasa sehari-hari mengungkapkan sifat performatif dari suatu kalimat. Misalnya, jika ada seseorang mengatakan:

(I) “Budi adalah orang baik.”

Secara tidak langsung ia menyatakan bahwa:

(II) “Aku [‘yakin’, ‘percaya’, atau ‘tahu’] bahwa Budi adalah orang yang baik.”

Maka, wajar bila orang lain bertanya padanya:

(III) “Bagaimana kamu tahu Budi itu orang yang baik?”

Austin melihat bahwa pertanyaan yang wajar itu (III) mengungkapkan logika bahasa yang sering luput dari perhatian. Menurutnya, “Kecurigaan atau pertanyaan [itu punya] dasar yang unik, yaitu bahwa ada suatu ‘alasan’ [yang membuat pernyataan (I) mungkin salah.]” (Austin, sebagaimana dikutip dalam OP 199). Pernyataan (I) dalam pelajaran bahasa sering digolongkan sebagai suatu pernyataan deskriptif. Tetapi, tidak mungkin pernyataan deskriptif “Budi adalah orang baik,” diakhiri dengan “... tetapi aku mungkin salah.” Itu bertabrakan dengan logika kalimat deskriptif yang menyatakan sesuatu deskripsi yang tetap (A itu B). Menurut Austin, kalimat (I) itu bukanlah kalimat deskriptif belaka! Kalimat-kalimat yang punya bentuk seperti kalimat (II) itu sama seperti kalimat:

(IV) “Aku [‘berjanji’, atau ‘bersumpah’] untuk menjadi saksi yang jujur.”

Karena sama seperti kalimat (I), kalimat (IV) juga tidak mungkin dan tidak masuk akal jika diakhiri dengan “... tetapi aku mungkin akan berbohong” (OP 200). Pada titik ini, muncul sifat baru dibalik kalimat (I) dan (II), yang membuatnya tidak dapat digolongkan hanya sebagai kalimat deskriptif. Sifat baru tersebut adalah sifat performatif. Artinya, ketika seseorang mengatakan “Aku tahu ...”, ia tidak hanya sedang mendeskripsikan, melainkan ia juga melakukan sesuatu (sedang membuat ‘janji’). Jadi, sama seperti setiap perbuatan-perbuatan lainnya, ketika seseorang mengatakan kalimat (I), ia dapat dituntut suatu pertanggungjawaban jika pernyataan itu mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Pernyataan-pernyataan seperti itu punya daya untuk mengikatkan tanggung jawab pada orang yang mengutarakannya (illocutionary force). Analisis ini membawa Austin kepada hipotesis bahwa mengatakan suatu kalimat adalah suatu perbuatan (action), singkatnya: Speech-Act. Pengaruh dari hipotesis Austin begitu luas dari ranah linguistik, hukum sampai filsafat. Bagi Austin, “Berbahasa berarti melakukan tindak-tutur (speech-act), tindak-tutur tersebut misalnya mengutarakan pernyataan, memberikan perintah, menanyakan sesuatu, membuat janji, dll.” (KB 88). Tulisan ini persis akan membahas pengaruh legal dari hipotesis Austin.

Di lain pihak, Hart juga melakukan analisis bahasa sehari-hari, dan akhirnya ia mengungkapkan sifat askriptif dari bahasa. Perhatikan kalimat-kalimat berikut:

Kalimat-kalimat I Kalimat-kalimat II
(A) “Ini miliku.” (E) “Aku melakukannya.”
(B) “Baiklah, ini milikmu.” (F) “Kamu melakukannya.”
(C) “Ini miliknya.” (G) “Dia melakukannya.”
(D) “Sekarang, ini milikmu.”

Kalimat-kalimat tersebut secara tradisional digolongkan ke dalam kalimat deskriptif. Kalimat (A, B, C, dan D), misalnya, adalah kalimat yang mendeskripsikan status kepunyaan dari suatu benda. Kalimat (E, F, dan G), adalah kalimat yang mendeskripsikan siapa pelaku suatu tindakan tertentu. Menurut Hart, penggolongan itu terlalu sederhana, dan tidak cukup untuk menjelaskan beragam fungsi sosial dari kalimat-kalimat tersebut. Kita juga harus ingat bahwa kalimat-kalimat itu dalam ranah hukum punya konsekuensi legal yang serius.

Menurut Hart, kalimat-kalimat tersebut tidak hanya mendeskripsikan sesuatu, tetapi juga menunjukkan adanya transaksi hak dan tanggung jawab. Kalimat (A) berfungsi untuk mengklaim hak; kalimat (B) untuk mengakui hak yang di klaim oleh orang lain; kalimat (C) untuk menganggap ada hak orang lain, tanpa harus ada klaim darinya; kalimat (D) untuk mengalihkan hak; kalimat (E) untuk mengakui tanggungjawab; kalimat (F) untuk menganggap ada tanggungjawab pada orang lain; dan akhirnya kalimat (G) untuk mendakwa tanggung jawab pada orang lain (Bdk. OP 201, ARR 171 dan 185). Kalimat-kalimat ini menurut Hart merupakan kalimat askriptif. Artinya, kalimat-kalimat yang berfungsi untuk menyertakan hak atau melekatkan tanggungjawab.

Dalam ranah hukum, konsekuensi dari kalimat (E–G) tentunya menentukan siapa yang bertanggungjawab atas suatu tindakan yang dipermasalahkan. Sementara itu, hak yang dimaksud dalam kalimat (A–D) tidak hanya menyakut sengketa hak milik (atau hak-hak lainnya) antar dua pihak yang harus diselesaikan oleh pengadilan. Hak tersebut juga menyangkut hak fundamental yang dimiliki oleh para hakim sebagai pihak yang menentukan keputusan final dalam pengadilan. Menurut Hart, hak-hak lembaga yudikatif negara (pengadilan, hakim, Mahkamah Agung) tidak dapat dijelaskan kalau sifat askriptif dari suatu kalimat tidak diperhatikan.

Kritik Hart terhadap Teori Hukum Austin3

Analisis Austin, sebagaimana telah dijabarkan di bagian sebelumnya, menghasilkan hipotesis bahwa, “Berbahasa berarti melakukan tindak-tutur (speech-act), tindak-tutur tersebut misalnya mengutarakan pernyataan, memberikan perintah, menanyakan sesuatu, membuat janji, dll” (KB 88). Kesimpulan ini diperluas oleh Austin ke ranah hukum. Menurutnya, semua hukum, yang tentunya ditulis menggunakan bahasa adalah suatu bentuk tindakan memberikan perintah. Tepatnya, hukum adalah ‘perintah yang diperkuat dengan ancaman’ (imperatif-koersif) (CL 24). Analisis panjang yang membawanya pada kesimpulan ini ia tuangkan dalam karyanya yaitu Province of Jurisprudence Determined. Pada bagian ini, akan dijabarkan kritik Hart atas kesimpulan Austin dalam karyanya yang termasyur, berjudul The Concept of Law (CL).

Dalam bab ke-2 buku CL, Hart merumuskan ulang suatu ‘bentuk maksimal’ (strongest form) dari konsep hukum yang dipahami oleh Austin. Perumusan ulang yang dilakukan oleh Hart bertujuan untuk memperjelas dan menonjolkan aspek-aspek yang akan ia kritik di bab ke-3. Perumusan ulang ini juga membantu para pembaca yang tidak terlalu mengenal karya Austin untuk tetap dapat mengerti apa saja kekurangan teori hukum Austin sekaligus betapa pentingnya kritik Hart.

Kritik Pertama: Isi Hukum

Dua Jenis Hukum Menurut Hart

Teori hukum Austin yang dirumuskan ulang oleh Hart berbunyi “Hukum adalah perintah yang diperkuat dengan ancaman (imperatif-koersif)” (CL 24). Kritikan pertama Hart merupakan bantahan langsung atas bagian pertama simpulan tersebut: “jelaslah bahwa tidak semua hukum merupakan perintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu” (CL 26). Dalam analisisnya, Hart membedakan dua jenis hukum, yaitu: (1) hukum yang ‘menuntut kewajiban’ (imposing duties) dan (2) hukum yang ‘memberikan kuasa/hak’ (conferring power). Hart membagi dua bentuk hukum tersebut berdasarkan isi dan fungsi sosialnya.

Contoh jenis hukum yang pertama adalah hukum kriminal atau pidana. Menurut Hart, hukum pidana memiliki fungsi sosial untuk “mendefinisikan dan menuntut beberapa jenis tindakan sebagai sesuatu yang harus dihindari atau yang harus dilakukan kepada pihak tertentu, terlepas dari kehendak pihak tersebut” (CL 27). Sehingga, hukum pidana ‘menuntut kewajiban’ pada kita untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Kegagalan untuk melaksanakan kewajiban tersebut disebut ‘salah,’ ‘pelanggaran,’ ‘melawan hukum,’ dan berakibat dijatuhkannya sanksi. Dalam hal ini, Hart mengakui bahwa hukum pidana mirip dengan konsep imperatif-koersif dalam teori hukum Austin. Tetapi, satu sifat yang luput dari Austin adalah sifat askriptif dari hukum, tepatnya sifat untuk ‘menuntut kewajiban’ atau ‘melekatkan tanggungjawab’ yang telah diangkat oleh Hart di bagian awal tulisan ini.

Sama seperti sifat askriptif yang juga berfungsi untuk ‘memberikan hak’, Hart mengatakan ada jenis hukum yang lain, yaitu hukum yang ‘memberikan kuasa.’ Misalnya, hukum yang berlaku saat orang membuat surat wasiat, membuat kontrak, atau menikah, dan juga hukum yang memberikan hak pada hakim untuk memukul palu keputusan dalam pengadilan. Dalam kasus-kasus tersebut, hukum tidak dapat dimengerti sebagai hanya memberikan perintah ataupun ancaman. Saat aku membuat wasiat, maka ada hukum yang memberikan kuasa padaku untuk membagikan hartaku sesuai kemauanku. Jika suatu kontrak dibuat, maka ada hukum akan memberikan kuasa bagi kedua pihak untuk menuntut dari satu pada yang lain sesuai apa yang tertera pada kontrak (CL 27–28). Jenis hukum ini punya fungsi sosial “menyediakan individu fasilitas-fasilitas untuk merealisasikan keinginan mereka.” Fungsi sosial inilah yang tidak terakomodasi dalam konsep hukum imperatif-koersif Austin. Hart juga lebih jauh lagi membedakan dengan teliti jenis-jenis aturan yang menjadi isi dari hukum ‘pemberi kekuasaan’ ini (CL 28).4

Perbedaan antara hukum yang ‘menuntut kewajiban’ (pidana) dan hukum yang ‘memberikan kuasa/hak’ akan terlihat saat terjadi suatu penyimpangan. Jika ada penyimpangan dari hukum yang memberikan kekuasaan, kita tidak mengatakan bahwa hal itu ‘melanggar’ atau ‘melawan hukum,’ sebagaimana kita akan mengatakannya jika ada pelanggaran hukum pidana. Melainkan, kita akan mengatakan bahwa ada ketentuan yang tidak ‘dipenuhi.’ Dalam membuat wasiat misalnya, ada ketentuan yang harus dipenuhi agar hukum dapat memberikan kuasa pada kita: saksi harus berjumlah dua orang atau lebih, misalnya. Jika hal itu tidak kita penuhi, wasiat kita akan menjadi ‘tidak sah,’ dan saat itu terjadi kita tidak akan mendapat sanksi, tidak ada kekuatan legal (legal force) yang akan dilakukan pada kita. Yang ada hanyalah ‘pembatalan’ (nullity).

Dua Argumen yang Melawan Pembedaan Dua Jenis Hukum Hart

Hart menyadari ada dua argumen yang sering dipakai untuk mengkritik perbedaan dua jenis hukum tersebut. Argumen pertama menyatakan bahwa ‘pembatalan’ (nullity) itu sama saja dengan sanksi, dan dengan begitu hukum ‘pemberi kekuasaan’ Hart sebenarnya merupakan bagian dari ‘perintah yang diperkuat dengan ancaman.’ (CL 33). Tanggapan Hart atas argumen ini adalah bahwa ada kasus di mana pembatalan sama sekali tidak dianggap sebagai sanksi atau ancaman, bahkan malah suatu keuntungan.^5\ ^Misalnya seseorang dituntut karena oleh pihak yang lain dinilai telah melanggar kontrak. Tetapi, seseorang tersebut ternyata menurut hukum yang berlaku saat itu masih dibawah umur, sehingga kontrak tersebut tidak valid, maka yang terjadi adalah kontrak itu dibatalkan, dan pihak penuntut tidak lagi punya dasar untuk menuntut anak tersebut. Dengan itu, argumen penyamaan pembatalan dan sanksi (nullity as sanction) tidak dapat dipertahankan (CL 34). Menurut Hart, argumen pertama di atas adalah argumen yang memperluas arti ‘sanksi,’ sehingga ‘pembatalan’ dimasukkan kedalam konsep ‘sanksi’.

Argumen selanjutnya adalah argumen yang mempersempit arti ‘hukum,’ sehingga aturan yang ‘memberikan kekuasaan’ itu tidak lagi dianggap hukum. Argumen yang kedua ini dalam bentuknya yang paling ekstrem bahkan “tidak mengakui aturan hukum pidana (...) sebagai hukum yang sebenarnya (genuine).” Ini adalah argumen yang diajukan oleh Kelsen: “Hukum [yang sebenarnya] adalah norma utama yang menetapkan sanksi. Tidak ada hukum yang melarang pembunuhan: yang ada hanyalah hukum yang mengatur aparat untuk menerapkan sanksi tertentu pada situasi tertentu, kepada siapa yang melakukan pembunuhan.” (CL 35). Maka, hukum yang dipahami oleh Kelsen itu bentuknya perintah bersyarat: “Jika ada perbuatan X yang dilakukan, tidak dilakukan, atau terjadi, maka jatuhkanlah sanksi Y!,” dan perintah bersyarat itu ditujukan bagi aparat hukum yang berwenang (CL 36).

Dalam pandangan Kelsen tersebut, hukum-hukum ‘pemberi kekuasaan’ Hart bukanlah hukum, melainkan hanyalah syarat-syarat kondisional hukum. Dalam kata lain, hukum ‘pemberi kekuasaan’ hanyalah ‘fragmen-fragmen hukum’ (fragments of law) atau hukum yang tidak lengkap. Aturan yang mengatur sah atau tidaknya wasiat, jika ingin disebut hukum, maka harus dirumuskan ulang (recasting) menjadi bentuk perintah bersyarat: “jika dan hanya jika ada wasiat yang memenuhi ketentuan-ketentuan berikut, dan jika … maka sanksi [Y] harus dijatuhkan padanya” (CL 37). Pandangan Kelsen ini mempertahankan unsur ‘perintah’ dan ‘sanksi’ seperti konsep hukum Austin. Dalam bagian selanjutnya, Hart menguraikan tanggapan lebih lanjut atas pandangan Kelsen tersebut.

Distorsi akibat penyeragaman pandangan atas hukum

Sampai titik ini, Hart mengatakan bahwa pandangan Kelsen dan Austin terlalu fokus pada ‘perintah’ dan ‘sanksi,’ dan itu akan menyebabkan ‘distorsi’ dalam memahami hukum. Yang dimaksud ‘distorsi’ adalah kesalahan dalam melihat bagaimana hukum digunakan dalam kehidupan sosial. Selain itu, fokus pada perintah dan sanksi juga mempersempit pandangan sehingga membuat kita tidak melihat (obscuring) fungsi hukum yang paling penting, yaitu sebagai kontrol sosial.

Dalam pandangan Austin dan juga Kelsen, yang disebut hukum hanyalah aturan yang berbentuk perintah bersyarat kepada aparat untuk menerapkan sanksi kepada warga yang melanggar aturan tersebut. Tetapi menurut Hart, fungsi hukum yang utama, yaitu sebagai kontrol sosial, tidak punya tempat dalam pandangan tersebut. Fungsi hukum pidana bukan hanya sebagai pedoman yang digunakan dalam pengadilan untuk menerapkan sanksi, melainkan hukum juga digunakan sebagai pedoman yang digunakan warga untuk bertindak dalam kehidupan sehari-hari (CL 39). Pandangan Kelsen dan Austin atas fungsi sosial hukum terlalu sempit. Mereka melihat fungsi hukum sebagai kontrol sosial hanya dalam proses pengadilan. Tetapi Hart melihat bahwa fungsi kontrol sosial hukum justru paling jelas saat “warga menggunakan hukum dalam berbagai cara dan sebagai pedoman untuk merencanakan hidupnya di luar pengadilan” (CL 40). Inilah fungsi hukum yang tak terlihat (obscured) dalam pandangan Austin dan Kelsen.

Dalam contoh kasus, Austin dan Kelsen ketika melihat sebuah permainan baseball, akan menyatakan bahwa “semua aturan [yang ada dalam permainan ini] (...) sebenarnya adalah aturan yang memerintahkan [wasit] untuk melakukan sesuatu dalam kondisi tertentu.” Jadi, saat bola dipukul dan pemain berhasil sampai ke base-1, atau saat pemain tersebut gagal dan disebut ‘out,’ aturan yang berlaku hanyalah aturan yang memerintahkan wasit untuk ‘catatlah posisi pemain di base-1’ atau ‘bawa pemain tersebut keluar lapangan.’ Padahal, nyatanya aturan dalam permainan baseball tidak hanya digunakan seperti itu. Aturan-aturan tersebut juga digunakan oleh pemain untuk merancang strategi, untuk bekerjasama, dan untuk berkompetisi (CL 40). Bukankah persis itu cara hukum digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari?

Pandangan yang tepat, luas, dan terbuka bagi Hart sangat penting dalam memahami konsep dan fungsi sosial hukum. Hart menuliskan, “Aturan-aturan pemberi kekuasaan, jika ingin dimengerti, harus dilihat dari sudut pandang mereka yang menggunakannya. Dengan begitu, mereka dapat dilihat sebagai unsur tambahan yang disediakan oleh hukum bagi kehidupan sosial, mengatasi dan melebihi kontrol yang mengandalkan ancaman.” (CL 41).

Kritik Kedua: Lingkup Penerapan Hukum

Kritikan Hart yang kedua adalah: “tidak semua hukum merupakan perintah yang hanya diberikan pada orang lain.” Paham atas hukum sebagai ‘perintah’ punya nuansa bahwa hukum tersebut dicetuskan atau dikeluarkan dari satu pihak untuk mengikat atau memaksa pihak lain. Menurut Hart, “Perintah yang diperkuat ancaman [(teori Austin)] pada dasarnya adalah ekspresi kehendak [seseorang] bahwa orang lain harus melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan” (CL 42). Dalam bentuk negara monarki absolut, memang seringkali pihak yang punya kuasa membuat hukum akan berada di luar lingkup hukum yang ia buat. Tetapi dalam bentuk negara modern, kuasa membuat hukum dipegang oleh lembaga legislatif. Hart menjelaskan bahwa lembaga legislatif itulah contoh di mana ruang lingkup hukum tidak hanya mencakup pihak lain, tetapi juga pihak yang membuatnya (CL 42). Hukum yang dibuat lembaga legislatif tidak hanya mengikat orang lain, tetapi juga mengikat masing-masing dari anggota lembaga itu?

Contoh lain Hart ambil dari kehidupan sehari-hari kita, yaitu tindakan membuat janji atau kontrak. Saat berjanji, kita mengutarakan kata-kata atau menyetujui pernyataan-pernyataan yang mengikatkan kewajiban kepada diri kita sendiri. Begitu juga dengan kontrak, di mana kewajiban diikatkan kepada dua pihak. Untuk itu, harus ada aturan yang mengatur seperti apa dan dalam kondisi seperti apa kata-kata tersebut diutarakan. Misalnya, kata-kata tersebut harus diutarakan oleh orang yang waras, sadar, dan saat menandatangani kontrak tidak sedang mendapat ancaman dari pihak manapun. Jika hal tersebut dipenuhi, maka orang yang mengutarakan kata-kata tersebut terikat untuk menepati apa yang ia katakan, dan kontrak dapat dikatakan sah (CL 43).

Dengan contoh itu, Hart menunjukkan bahwa membuat hukum, mirip dengan membuat janji, mengandaikan adanya aturan-aturan yang mengatur proses pembuatan, dan juga aturan yang dari awal ‘memberikan kekuasaan’ bagi sang legislator itu sendiri (CL 44).

Kritik Ketiga: Asal-usul Hukum

Keberatan Hart yang ketiga adalah bahwa “ada hukum-hukum yang bukan merupakan ekspresi kehendak, tujuan, atau keinginan sang pembuat hukum.” Kritik ini bertumpu pada rumusan konsep hukum Austin di bagian sebelumnya: “Perintah yang diperkuat ancaman pada dasarnya adalah ekspresi kehendak [seseorang] bahwa orang lain harus melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan” (CL 42). Kritik Hart yang kedua fokus pada bagian ‘orang lain,’ tetapi dalam kritik yang ketiga ini Hart fokus pada bagian ‘ekspresi kehendak.

Untuk memahami kritik Hart di bagian ini, perlu dijelaskan latar belakang kata ‘custom’ yang merupakan titik berangkat argumentasi Hart. Kata ‘custom’ (hukum ‘kebiasaan’), merujuk pada aturan-aturan lokal gugus kerajaan (realms) Inggris yang kedudukannya setara dengan hukum. Aturan-aturan tersebut merupakan warisan periode Anglo-Saxon, yaitu dari abad ke-5 sampai tahun 1066 ketika Inggris ditaklukan oleh bangsa Norman. Selama periode 600 tahun tersebut, yang dipakai sebagai hukum adalah aturan-aturan lokal (belum ada aturan legal atau yang dalam sistem hukum Inggris disebut common law). Aturan-aturan lokal tersebut mengatur hak-hak kekeluargaan, hak milik, warisan, kontrak, bahkan kekerasan. Selama berkuasa di Inggris, bangsa Norman mengadopsi aturan-aturan tersebut ke dalam sistem feodal mereka, dan menggunakannya sebagai aturan yang setara dengan hukum. Sekitar abad ke-13 dan 14, aturan-aturan tersebut mendapat kedudukannya yang sah dalam sistem hukum Inggris, dan dengan begitu “customs of the realm became England’s common law.” Sejak saat itu aturan lokal (custom) di luar hukum legal (common law) dapat secara sah digunakan dalam pengadilan sebagai hukum.6

Hart dalam bab ini ingin menunjukkan bahwa konsep hukum dalam pandangan Austin (hukum imperatif-koersif) maupun Kelsen (hukum sebagai perintah bersyarat dari pemegang kekuasaan (sovereign) kepada aparat hukum), sama-sama tidak dapat menjelaskan bagaimana aturan lokal (custom) di atas mendapat pengakuan (recognized) sebagai hukum dalam sistem peradilan Inggris. Ketika diminta untuk menjelaskan hal tersebut, seorang Austinian-Kelsenian akan menjelaskan dalam dua langkah. Pertama, mereka akan meragukan status aturan lokal tersebut sebagai hukum. Hal ini wajar saja karena memang banyak aturan lokal yang tidak digunakan dalam ranah hukum. Jadi, menurut mereka aturan lokal tidak begitu saja dapat disebut hukum, melainkan harus terlebih dahulu ‘diakui’ (recognized) oleh sistem legal yang ada (CL 44–45).

Langkah kedua, mereka akan menjelaskan apa dan bagaimana ‘pengakuan legal’ atas aturan lokal tersebut dijalankan. Pandangan Austinian dapat menjelaskannya dengan rumusan yang sederhana, yaitu bahwa ‘aturan lokal dapat diakui sebagai hukum jika penguasa memerintahkan agar aturan lokal tersebut harus diikuti.’ Tetapi, supaya aturan lokal yang sudah diakui tersebut itu dapat dijalankan sebagai hukum, harus ada ‘pendelegasian otoritas’ dari penguasa ke aparat hukum di pengadilan. Hart telah menjelaskan bahwa ada hukum yang mengatur tata cara pendelegasian otoritas tersebut yang disebut hukum ‘pemberi kekuasaan.’ Tentang hal ini, kita sudah melihat bagaimana Hart menunjukkan bahwa pandangan Austinian terlalu sempit untuk menjelaskan hukum ‘pemberi kekuasaan.’

Maka, untuk menambal argumen Austinian yang kurang itu, Kelsenian akan merumuskan dengan lebih teliti. Aturan lokal itu diakui sebagai hukum karena ada penguasa yang memberikan perintah bersyarat kepada aparat hukum: ‘jika suatu aturan memenuhi ciri-ciri aturan lokal, dan juga memenuhi kondisi A, B, C... maka pakailah aturan tersebut dalam pengadilan setara dengan hukum legal!’ Hukum ‘pemberi kekuasaan’ bagi Kelsenian hanyalah ‘kondisi A, B, C...’ dari keseluruhan bentuk imperatif di atas. Namun kita juga ingat bagaimana Hart telah menunjukkan pandangan ini terlalu sempit dan tidak dapat menjelaskan bagaimana fungsi hukum di luar pengadilan, yaitu fungsi hukum sebagai kontrol sosial.

Setelah melihat perkembangan teori mereka, Hart menuliskan: “Jika teori [mereka] berhenti di sini, jelaslah mereka tidak dapat menjelaskan permasalahan ini [(tentang bagaimana custom dapat diakui sebagai common law)]; maka mereka memperluas teori mereka dengan mengklaim bahwa terkadang sang penguasa mengekspresikan kehendaknya dengan cara yang tidak langsung. Perintahnya dapat ia berikan tanpa ucapan (tacit)” (CL 45). Artinya, jika saat ada aparat hukum yang menggunakan suatu custom sebagai hukum, dan penguasa tidak melarangnya, itu sama saja penguasa menghendaki custom tersebut menjadi hukum. Pembiaran itu dipandang sebagai mencerminkan keinginan penguasa, dan dengan begitu penguasa secara tidak langsung memerintahkan custom supaya menjadi hukum legal. Begitulah custom mendapatkan pengakuannya (recognition) sebagai hukum legal menurut Austinian-Kelsenian.

‘Perintah tidak langsung’ (tacit order) ini dapat terlihat dalam situasi militer (CL 46). Misalkan ada seorang sersan yang menghukum anak buahnya dengan memerintahkan hukuman lari keliling lapangan. Jenderal dari sersan tersebut tahu, lalu membiarkan hukuman tersebut berjalan walaupun dia dapat menghentikannya. Dalam situasi ini, jenderal tersebut dapat disebut secara tidak langsung sudah mengekspresikan kehendaknya agar anak buah sersan tersebut dihukum. Diamnya sang jenderal itu menggantikan kata-kata yang akan dipakai jenderal seandainya dia yang memerintahkan hukuman.

Atas konsep ‘Perintah tidak langsung’ itu, Hart punya dua tanggapan. Pertama, “Dipakainya suatu custom dalam pengadilan bukanlah keniscayaan supaya custom tersebut disebut sebagai hukum” (CL 46). Hal ini juga tidak hanya berlaku untuk custom, melainkan juga bagi hukum yang sudah ada. Bukankah hukum-hukum yang sudah dirancang dan ditetapkan, walaupun tidak sedang dipakai dalam pengadilan tetap disebut hukum? Tidak ada alasan yang mendukung bahwa custom harus terlebih dahulu dipakai dalam pengadilan supaya dapat dipandang sebagai hukum. Pengakuan custom sebagai hukum tidak perlu terjadi hanya saat pengadilan perlu menggunakannya. Jadi, tidak perlu juga ada yang ‘memerintahkan’ agar custom itu diakui sebagai hukum. Perintah bukanlah syarat niscaya adanya pengakuan (recognition) custom sebagai hukum. (CL 46–47)

Tanggapan kedua adalah: “pembiaran dalam diam (tacit) sang penguasa tidak selalu berarti dia menghendaki atau memerintahkan suatu hal.” Dalam contoh sersan yang menghukum anak buahnya tadi, misalnya, mungkin saja sang jenderal malah tidak menghendaki anak buah tersebut dihukum. Tetapi ia tetap diam hanya karena menghargai kebijakan dan wewenang yang sersan itu miliki. Dengan dua tanggapan ini, Hart menunjukkan bahwa tacit order masih belum dapat menjelaskan bagaimana custom mendapat pengakuannya sebagai hukum legal dalam sistem hukum Inggris.

Kesimpulan

Sampai di sini, kiranya kita dapat menarik beberapa pokok dari ‘gaya’ Filsafat Oxford:

  1. Pertama, ‘Filsafat Oxford’ merujuk pada lingkar pemikiran di Universitas Oxford yang berkembang mulai awal abad ke-20 atau pasca Perang Dunia II sampai sekarang.
  2. Terinspirasi oleh Wittgenstein, ada pergeseran dari analisis logika simbolis atas bahasa ke analisis bahasa sehari-hari (ordinary language philosophy).
  3. Analisis bahasa sehari-hari tersebut membuahkan suatu metode yang khas dalam para pemikir Oxford, yaitu: perhatian khusus terhadap pemakaian sehari-hari dan fungsi sosial dari suatu konsep.
  4. Perhatian tersebut membuat mereka tidak lagi mengajukan pertanyaan klasik filsafat seperti “Apa hakikat dari X?”, tetapi justru bertanya “Dengan cara apa saja konsep X itu digunakan?” atau “Apa saja kegunaan dari konsep X?” Seperti yang Ausin sendiri katakan: “Menjelaskan cara-cara konsep ‘X’ itu digunakan memang bukan tujuan akhir, tetapi itu adalah awal dari semua kegiatan berfilsafat.” (OP 189)

Dengan perhatian kepada bahasa sehari-hari dan fungsi sosial hukum, Hart berhasil menunjukkan bahwa konsep hukum sebagai ‘perintah yang diperkuat oleh ancaman’ (imperatif-koersif) itu tidak memadai untuk menjelaskan hukum legal modern. Kelsen mencoba menyelamatkan pandangan imperatif-koersif Austin dengan menambahkan unsur ‘persyaratan,’ dan ia mengklaim bahwa semua hukum yang sejati memiliki bentuk imperatif-koersif-kondisional. Saat diminta untuk menjelaskan bagaimana status hukum ‘kebiasaan’ (custom) Inggris dalam bentuk itu, mereka menambahkan satu konsep lagi, yaitu ‘perintah tidak langsung’ (tacit orders). Namun, Hart juga menunjukkan bahwa konsep hukum imperatif-koersif-kondisional-tacit masih belum dapat menjelaskan bagaimana hukum custom di Inggris mendapatkan pengakuannya (recognition) sebagai hukum legal.

Austin dan Hart hanyalah dua dari serangkaian pemikir-pemikir cemerlang dalam lingkaran Oxford. Dari diskusi kritis antara mereka berdua mengenai konsep hukum kita dapat mengenal kekhasan dan gaya berfilsafat lingkaran Oxford. Kritik Hart atas teori hukum Austin dan Kelsen merupakan contoh gaya Filsafat Oxford dalam bentuknya yang prima.

Daftar Pustaka

  • [CL] Hart, H.L.A., The Concept of Law, New York: Oxford University Press, 1994.

  • [ARR] Hart, H.L.A., “The Ascription of Responsibility and Rights,” Proceedings of the Aristotelian Society, Vol. 49 (1948–1949), hlm. 171–194.

  • [OP] Weitz, M., “Oxford Philosophy,” The Philosophical Review, Vol. 62, No. 2, April 1953, hlm. 187–233.

  • [KB] Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman,\
    Jakarta: Gramedia, 2014.

Catatan Akhir

Tulisan ini dibuat sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah “Filsafat Hukum Kontemporer,” STF Driyarkara 2020.


  1. Selanjutnya, acuan dari karya ini akan ditulis dengan ‘OP’ diikuti dengan nomor halaman. E.g.: (OP 187). Semua terjemahan kutipan langsung merupakan terjemahan bebas pengarang. Kata-kata yang penulis sendiri tambahkan akan dikurung oleh tanda ‘[’ dan ‘]‘. 

  2. As the oldest university in the English-speaking world (...).” Lih. University of Oxford, Introduction and history, https://www.ox.ac.uk/about/organisation/history

  3. Disarikan dari buku: Hart, H.L.A, The Concept of Law, New York: Oxford University Press, 1994, pp. 26–49. Selanjutnya, acuan dari karya ini akan ditulis dengan ‘CL’ diikuti dengan nomor halaman. E.g.: (CL 26). Semua terjemahan teks asli merupakan terjemahan bebas pengarang. Kata-kata yang penulis sendiri tambahkan akan dikurung oleh tanda ‘[’ dan ‘]‘. 

  4. “Aturan-aturan mengenai kemampuan atau kualifikasi minimal yang harus dimiliki pihak yang akan menerima kekuasaan tersebut.” Inilah aturan yang dimaksud Hart dalam pembahasan mengenai wasiat dan kontrak.”; “Aturan-aturan yang menjelaskan cara atau bentuk pelaksanaan dari kekuasaan yang diberikan.” Misalnya, aturan yang menentukan apakah wasiat atau kontrak dapat dibuat dalam bentuk tulisan atau lisan. Kalau dalam tulisan, maka bentuknya seperti apa, dll.”; “Aturan-aturan yang membatasi variasi atau durasi maksimum/minimum dari struktur hak dan kewajiban yang telah dibuat individu dengan tindakan hukumnya.” Misalnya, aturan yang menentukan durasi maksimal akumulasi bunga pendapatan dari kontrak yang dibuat oleh seorang individu yang sudah meninggal. 

  5. Contohnya hukum perlindungan kontrak dengan anak dibawah umur: “The general rule regarding contracting with minors or infants is that such a contract is voidable by the minor. This rule has been established to protect younger individuals who may not fully grasp the consequences of certain contracts. Minors are believed to lack (...) the capacity to contract. Therefore, courts and statutes provide minors with the ability to exit the contract at the minor’s discretion. This right does not belong to the other contracting party; it is only at the discretion of the minor.” https://www.hg.org/legal-articles/can-a-minor-enter-into-a-contract-34024 (diakses 25 Februari 2020). 

  6. https://www.britannica.com/topic/custom-English-law (diakses 3 Maret 2020).