Transendensi dan Waktu: Kritik Levinas atas Heidegger
Disarikan dari artikel Branko Klun, “Transcendence and Time: Levinas’s Criticism of Heidegger,” Gregorianum Vol. 88, No. 3 (2007): 587โ603.
Pendahuluan
Tulisan yang saya sajikan ini bersumber dari artikel Branko Klun. Dari judul “Transendensi dan Waktu: Kritik Levinas atas Heidegger”, kita menemukan dua kata kunci yang menjadi poros pembicaraan, yakni ‘Transendensi’ dan ‘Waktu’, serta dua tokoh yang pemikirannya hendak kita renungkan bersama, yakni Levinas dan Heidegger. Ketika kita hendak menelusuri pemikiran dua filsuf besar tersebut kita perlu terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Persiapan itu tidak lain adalah upaya kita untuk menyelami makna kata-kata kunci yang akan menjadi jembatan pemahaman kita. Namun, dalam pencarian makna kata tidaklah cukup jika kita hanya berhenti pada etimologi saja. Kita perlu juga melihat bagaimana kata itu hidup dan berkembang dalam sejarah pemikiran manusia, serta bagaimana kata itu ditafsirkan oleh tokoh-tokoh yang kita bicarakan. Dalam tulisan ini, saya mengajak kita untuk memahami bagaimana Heidegger dan Levinas masing-masing menghayati dan memaknai kata-kata kunci tersebut.1
Hubungan Transendensi dan Waktu dalam Fenomenologi
Klun mengawali penjelasannya dengan menguraikan konsep Transendensi dan Waktu (yang sering juga disebut ‘temporalitas’) dalam fenomenologi. Transendensi memiliki akar kata Latin, yaitu “trans” yang bermakna seberang, melampaui, atau di atas, dan “scandere” yang berarti memanjat. Dalam perkembangan pemikiran manusia, kita mengenal berbagai bentuk kata seperti “transenden”, “transendental”, dan “transendentalisme”, yang masing-masing memiliki nuansa makna tersendiri dalam berbagai konteks sejarah filsafat. Pada zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan, kata ini digunakan dalam konteks teologis untuk menggambarkan relasi antara Tuhan dan dunia. Dalam pemikiran Yunani Kuno, Tuhan disebut ‘transenden’ karena Dia sungguh-sungguh berada di luar dan mengatasi dunia. Ini tampak dalam pemikiran Aristoteles yang memandang Tuhan sebagai ‘penggerak pertama’ yang tidak digerakkan dan berada di luar dunia. Menurut Klun, sejalan dengan pemikiran Plato, waktu merupakan faktor perubahan. Dengan demikian, temporalitas menjadi batas pemisah antara phenomenon (dunia fenomenal) dan noumenon (dunia ideal). Segala sesuatu yang masih terikat oleh waktu tidak dapat disebut sebagai Ada sejati (noumena), karena masih tunduk pada waktu dan perubahan (BK 587).
Pada Abad Pertengahan, ‘transenden’ dipandang sebagai lawan dari ‘imanen’, yaitu pandangan bahwa Tuhan tidak berada di luar dunia, melainkan hadir dan terwujud dalam dunia (EP 107). Memasuki era filsafat modern, Immanuel Kant menggunakan istilah ‘transenden’ dan ‘transendental’ dalam konteks epistemologis, untuk menunjuk pada struktur-struktur kesadaran manusia yang memungkinkan pengetahuan. Setelah masa Kant, kata ‘transendensi’ mulai terlepas dari makna teologisnya dan diterapkan pada manusia (seiring dengan berkembangnya aliran eksistensialisme). Manusia disebut transenden bukan karena ia mahakuasa seperti Tuhan atau berada di luar dunia. Dimensi transenden manusia lebih dipahami sebagai ‘cara’ manusia mengada, yaitu dengan terus-menerus menyempurnakan diri, berkembang, atau terus mengarahkan kesadarannya pada apa yang berada di luar dirinya (intensionalitas Husserl).
Dalam artikelnya, Klun menekankan ‘transendensi’ sebagaimana dipahami oleh Heidegger. Husserl memandang fenomenologi sebagai ilmu tentang fenomena, dan memusatkan perhatian pada ‘apa yang menampakkan dirinya’. Persoalannya, pandangan ini tidak memberikan ruang bagi transendensi manusia, karena transendensi manusia senantiasa bergerak menuju sesuatu di luar dirinya (transcends). Jika manusia selalu terarah pada yang transenden, dan yang transenden itu menampakkan dirinya (masuk ke dalam kesadaran dan menjadi bahan diskusi fenomenologi), maka ia telah menjadi bagian dunia dan tidak lagi transenden. Sebaliknya, jika yang transenden tetap tidak menampakkan diri, maka fenomenologi tidak dapat mengatakan apa-apa tentangnya (BK 587), karena tidak pernah hadir dalam kesadaran sebagai fenomena. Menurut Klun, inilah sebabnya mengapa pemikiran Husserl tentang ‘kesadaran transendental’ dan ‘ego transendental’ selalu menjadi tema yang penuh kontroversi. Kontroversi ini bersumber dari suatu paradoks dalam analisis transendental fenomenologi. Paradoks transendensi manusia ini perlu kita ingat dan renungkan sepanjang penjelasan Klun mengenai pemikiran Heidegger dan Levinas!
Paradoks ini juga diungkapkan oleh Levinas ketika membahas Epistemologi:
Teori pengetahuan [(epistemologi)] adalah teori tentang kebenaran. Seperti dalam Parmenides karya Plato, [epistemologi] mempertanyakan: bagaimana pengada yang absolut memanifestasikan dirinya dalam kebenaran? Karena untuk dapat diketahui, ia harus memanifestasikan dirinya ke dalam dunia di mana kesalahan dimungkinkan. Bagaimana pengada yang tunduk pada kesalahan dapat menyentuh pengada absolut tanpa merusak sifat absolutnya? Dapat dikatakan sebagian besar usaha Filsafat Yunani dikerahkan untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu bagaimana menjebatani penampakan dan realitas. (EL 60)2
Menurut Klun, Heidegger berhasil mendamaikan transendensi dan fenomenologi karena ia memulai analisisnya dengan waktu atau temporalitas. Fenomenologi Heidegger yang berangkat dari analisis tentang Waktu/Temporalitas (seperti terlihat dalam karyanya yang berjudul Being and Time) dipandang lebih konsisten daripada fenomenologi Husserl, dan berhasil menghindari paradoks Husserlian. Analisis tentang temporalitas manusia inilah yang merupakan sumbangan berharga Heidegger bagi fenomenologi (BK 587).
Temporalitas dalam Fenomenologi Heidegger
Klun menjelaskan bahwa Heidegger, sebagaimana Husserl, mengkritik Sains yang cenderung mengidentikkan diri dengan cara berpikir ‘teoretis’ tentang dunia. Bagi Heidegger, pengalaman tentang ‘kehidupan’ sehari-hari (factial life) lebih mendasar daripada pandangan teoretis. Sikap memandang dunia secara teoretis merupakan langkah yang justru menjauhkan kita dari kehidupan, dari fenomena sebagaimana adanya. Makna-makna tidak lagi ditemukan dalam kehidupan dan pengalaman, melainkan dari konsep-konsep umum (hukum-hukum alam, asumsi saintifik, pengetahuan apriori, dan sebagainya) yang telah ada sebelumnya. Fenomenologi dipandang sebagai ilmu yang lebih mendasar karena berfokus pada fenomena dan setia pada pengalaman kehidupan. Dengan demikian, fenomenologi bersifat pre-teoretis (mendahului teori) dan bahkan menurut Heidegger, harus pre-kognitif (mendahului kesadaran, berbeda dengan Husserl yang berangkat dari kesadaran). Dalam hal ini, Heidegger meneruskan semangat fenomenologi Husserl, tetapi meninggalkan metodenya. Metode Husserl yang berangkat dari analisis kesadaran dipandang tidak cukup. Metode fenomenologi Heidegger adalah hermeneutika atau penafsiran atas fenomena itu sendiri. Menurutnya, dengan melakukan penafsiran, kita tidak menjauh dari fenomena, melainkan justru masuk lebih dalam ke dalamnya. Penafsiran mengandaikan bahwa kita larut dalam fenomena dan kemudian mengungkapkannya. Berbeda dengan pandangan teoretis yang mengambil jarak dari fenomena. (BK 588). Klun melihat bahwa perbedaan mendasar antara sikap teoretis dan sikap interpretatif (hermeneutis) Heidegger yang melebur dalam kehidupan sehari-hari, adalah temporalitas. Temporalitas merupakan sifat dasar dari kehidupan sehari-hari. Waktu bukanlah fenomena, bukan pula objek kajian atau pemikiran, melainkan dinamika dari fenomena itu sendiri. Waktu adalah ‘cara’ kita dan fenomena mengada (BK 589).
Setelah mendalami penjelasan Klun, saya menjadi lebih memahami kritik onto-teo-logis Heidegger terhadap metafisika Barat (ID 54).3 Metafisika sebelum Heidegger dikenal sebagai pembicaraan tentang “ada sebagaimana ada-nya sendiri (being qua being). Kata “being” merujuk pada apa saja, baik yang dapat dipahami maupun yang dapat diindera. Melampaui pertanyaan apakah malaikat dapat dilihat atau tidak, apakah meja dapat dilihat atau tidak, yang jelas malaikat dan meja itu “ada”. Metafisika tidak tertarik pada aspek-aspek khusus dari “ada” (seperti berat, panjang, dan sebagainya).
Heidegger menunjukkan bahwa metafisika semacam itu ternyata memiliki struktur onto-theo-logis. Maksudnya: setelah melampaui pembahasan tentang binatang atau malaikat dari sudut ilmu khusus, dan berusaha membahas ada-nya dalam dirinya sendiri, orang biasanya akan sampai pada sebuah ‘ada’ yang paling umum atau universal, atau pada sebuah ‘ada’ yang paling ilahi. ‘Ada’ tersebut kemudian dijadikan sebagai ‘sebab akhir’ atau sebagai ‘pengasal,’ atau ‘pencipta’. Ada sejauh ‘ada’ (to on) akhirnya ditampilkan sebagai ‘yang paling umum’ dalam arti yang paling tinggi atau yang paling ilahi (theos). Metafisika semacam ini bersifat ontologi sekaligus teologi. Semuanya itu kemudian diungkapkan dalam sebuah wacana dan uraian yang benar (logos).
Heidegger melihat bahwa dengan demikian, metafisika onto-theo-logis senantiasa berpretensi atau berambisi menemukan ‘kebenaran tertinggi’ melalui representasi yang ditemukan di sekitarnya. Namun, Heidegger melihat persoalan mendasar: benda-benda, terlepas dari kesadaran kita, sudah mem-presentasi-kan dirinya. Ketika kita menyadari benda tersebut, yang terjadi adalah kita me-representasi-kan benda tersebut dalam kesadaran kita. Representasi tidak pernah mengacu pada realitas benda secara penuh dan utuh. Representasi selalu mencerabut kekayaan realitas, selalu mereduksinya. Inilah persoalan utamanya: metafisika selalu berambisi mencari yang mewakili keseluruhan, padahal dalam proses kesadaran atas realitas selalu ada reduksi.
Saya melihat kritik Heidegger tersebut sangat terkait dengan masalah temporalitas. Hal ini karena dalam pandangan metafisika Barat, theos selalu dianggap berada di luar waktu, entah sebagai entitas yang ada di luar ruang-waktu, maupun kebenaran yang status kebenarannya abadi melampaui waktu. Tetapi, seperti yang Heidegger katakan, hal itu tidak mungkin dilakukan karena selalu ada reduksi. Reduksi itulah yang justru membawa theos ke dalam temporalitas. Mari kita ingat kembali paradoks Husserlian yang telah dijabarkan Klun di awal. Bagaimana kita dapat membicarakan theos (Be) yang transenden dalam ranah metafisika dan fenomenologi? Paradoks ini hanya dapat diselesaikan jika kita mengubah pandangan kita tentang temporalitas.
Kembali pada penjelasan Klun, temporalitas dalam pemikiran Heidegger adalah horison dan dasar pemaknaan dari segala yang ada. Inilah awal reduksi fenomenologis Heidegger. Kehidupan sehari-hari dianalisis dari temporalitasnya (BK 590). Klun mengutip Heidegger: “Even the ‘non-temporal’ and the ‘supra-temporal’ are ‘temporal’ with regard to their Being.” (dari Being and Time, hlm. 40). (Bahkan yang ‘non-temporal’ dan yang ‘supra-temporal’ itu ‘temporal’ berkaitan dengan cara meng-Ada nya).
Saya juga teringat bahwa ‘Ada,’ bagi Heidegger, tidak pernah dapat diuraikan secara tuntas karena setiap kali ia muncul, ia muncul dalam bentuk sebuah representasi, sehingga pada saat yang sama ia juga menyembunyikan dirinya. Hakikat ‘Ada’ bagi Heidegger adalah a-letheia (tidak lupa, sejauh tersingkap dari kelupaan, suatu ‘ke-tak-tersembunyi-an’). Bila kebenaran adalah aletheia, konsep ini dengan sendirinya mengandaikan adanya lethe (sesuatu yang masih menunggu untuk disingkapkan dari kelupaannya). Bukankah temporalitas adalah dasar dari aletheia ini? Bukankah sesuatu hanya dapat dikatakan ‘tersingkap’ atau ‘muncul’ hanya jika sebelumnya ia tersembunyi dan baru kemudian ia tersingkap dan muncul? ‘Sebelumnya’ dan ‘kemudian’ merupakan konsep yang lahir dari temporalitas. Tidak masuk akal memikirkan sebelum dan kemudian tanpa kerangka temporalitas. Begitu pula tidak masuk akal memikirkan konsep aletheia tanpa temporalitas sebagai dasarnya.
Transendensi sebagai (qua) Waktu
Sekarang, kita telah melihat bagaimana metode fenomenologis Heidegger memiliki dasar atau horison pada temporalitas. Pada bagian ini, Klun menunjukkan bagaimana Heidegger menganalisis transendensi manusia (Dasein) dari sudut temporalitasnya. (BK 591)
Dengan pandangan fenomenologisnya, Heidegger melihat manusia sebagai pengada yang temporal. Waktu bukanlah sesuatu objek yang ada di luar manusia, melainkan ‘cara’ manusia berada di dunia. Keberadaan manusia di dunia adalah fenomena awal temporalitas, dan manusia yang memandang waktu sebagai fenomena hanyalah langkah berikutnya. Langkah itu sudah menjauh dari fenomena, dan masuk ke cara berpikir teoretis (BK 592).
Dalam kerangka berpikir ini, transendensi manusia (sifat terus menyempurnakan diri, terus berkembang, dan terus terarah pada apa yang di luar dirinya) juga tunduk dalam struktur temporalitas. Artinya, kita tidak dapat berhenti pada kesimpulan bahwa manusia itu bersifat transenden (seperti pada ego transendental Husserl). Itu adalah cara berpikir yang tidak mempertimbangkan temporalitas. Temporalitas tidak dipertimbangkan karena kesimpulan itu dianggap sebagai ‘kebenaran’ yang tetap, dari dulu, sekarang, sampai selama-lamanya. Manusia itu bersifat transenden, titik. Cara berpikir inilah yang ingin dihindari oleh Heidegger.
Heidegger justru memandang transendensi sebagai ‘cara’ manusia berada. Manusia adalah “transcendence in actu.” Keberadaan manusia itulah transendensi. Transendensi bukan suatu konsep yang kemudian ditempelkan pada manusia (manusia itu transenden, A = B), melainkan transendensi-lah yang ‘memungkinkan’ manusia menyadari keberadaan dirinya sendiri, sekaligus keberadaan yang lain (yang di luar dirinya). Klun menulis: “it is because of the specific temporality of human existence that man is capable of transcendence and distinguished from any other being” (BK 593).
Dengan cara berpikir ini, Heidegger terlepas dari paradoks transendensi yang dihadapi oleh Husserl. Husserl berhenti pada ‘ego transendental’, bahwa manusia selalu keluar dari dirinya, selalu terarah pada apa yang di luar dirinya (intensionalitas), pada yang transenden. Persoalannya: 1) jika sesuatu yang transenden tersebut dapat diraih, maka sesuatu itu bukanlah sesuatu yang transenden; 2) jika yang transenden tidak dapat diraih (tetap transenden), maka intensionalitas manusia tidak masuk akal. Kepada apa kesadaran kita terarah (intensio)? Heidegger tidak berhenti dengan ego transendental, tetapi ia kembali pada fenomena apa adanya dan melihat temporalitas sebagai dasar eksistensi manusia. Karena itu, ia dapat melihat bahwa ada satu karakteristik pada temporalitas manusia (karakteristik yang tidak dibahas oleh Husserl) yaitu bahwa temporalitas manusia bersifat terbatas (finite, finitude). Keterbatasan temporal manusia membuat transendensi manusia juga bersifat terbatas. Husserl terjebak paradoks karena ia tidak memiliki cara untuk membatasi transendensi manusia. Tetapi, dalam kerangka temporal Heidegger, transendensi manusia memiliki batasnya. Karena itu, transendensi manusia dalam kerangka pemikiran Heidegger terlepas dari paradoks (BK 593).
Transendensi manusia itu terbatas bukan dari kemampuannya untuk mentransendensi, melainkan dari durasi aktualisasi kemampuannya. Jadi, kemampuan transendensi manusia dalam pemikiran Heidegger itu tidak lebih lemah dari yang dipikirkan Husserl. Hanya saja, durasi untuk mengaktualkan kemampuan transendensi lah yang terbatas. Kita tentu sudah akrab dengan batasan durasi kita di dunia ini: kematian. Manusia bagi Heidegger adalah Sein-zum-Tode (Being-towards-death, Ada-menuju-kematian). Kematian adalah akhir dari transendensi manusia, tetapi tidak dipandang negatif. Justru kematianlah yang membuat hidup manusia bermakna (BK 592). Bagaikan kalimat yang tidak bermakna jika tidak ada akhirnya, kehidupan manusia tanpa kematian tidak dapat bermakna.
Kritik Levinas atas Transendensi Manusia
Pada awal karir filsafatnya, Emmanuel Levinas mengagumi metode fenomenologi Heidegger, terutama kritik Heidegger terhadap pemikiran Barat (pelupaan Ada, metafisika sebagai onto-teo-logi). Tetapi, berangkat dari pengalaman tragis genosida Holocaust oleh partai Nasional-Sosialis (Nazi), fokus Levinas bergeser ke Etika. Menurut Klun, Levinas melihat bahwa martabat manusia berkaitan erat dengan transendensi. Heidegger telah merevisi bagaimana kita harus memahami transendensi manusia. Sekarang pertanyaannya: Apakah dengan kemampuan transendensinya, manusia mengatasi seluruh realitas dan memiliki kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan makhluk lain? Dengan kata lain, Levinas hendak menyelidiki apa sebenarnya implikasi etis dari transendensi manusia yang telah dijabarkan oleh Heidegger. Heidegger telah memberikan dasar yang kokoh bagi transendensi manusia melalui analisisnya atas temporalitas. Temporalitas adalah dasar segalanya, menurut Heidegger. Di sinilah letak persoalan bagi Levinas. Ia melihat bahwa martabat manusia justru ditundukkan oleh Heidegger di bawah temporalitas. Karena temporalitas manusia itu terbatas, maka begitu pula martabatnya. Dalam pemikiran Heidegger, tidak ada tempat untuk menjunjung martabat manusia sebagai yang tertinggi, sebagai yang utama dan pertama (BK 595). Heidegger menggantikan metafisika dengan ontologi fundamental, dan kini Levinas ingin menggeser ontologi fundamental itu dengan Etika: Ethics as First Philosophy.
Temporalitas manusia menurut Levinas
Temporalitas manusia ditolak oleh Levinas sebagai yang utama, karena ia menurunkan martabat ‘pengada’ ke bawah ‘cara’ meng-adanya. Klun menjelaskan: “He [Levinas] rejects the priority of the flow of existence (Being) over an existent being or entitiy, and calls for a return from existence to an existing subject (existent) or a bearer of Being” (BK 595). Levinas tidak dapat mengabaikan begitu saja pemikiran Heidegger, terutama kritiknya terhadap metafisika dan pola berpikir teoretis. Tetapi, ia juga perlu menyelamatkan dimensi tak-terbatas (infinity) martabat manusia yang telah ditutup Heidegger dengan temporalitas eksistensi manusia.
Temporalitas masih dipegang oleh Levinas sebagai titik awal analisisnya. Tetapi, ia mengkritik Heidegger bahwa temporalitas yang dia pahami bukanlah temporalitas manusia yang sejati (genuine). Temporalitas Heidegger tidak sejati karena dalam analisisnya ia tidak mempertimbangkan orang lain sama sekali. Temporalitas Heidegger itu milik subjek sendiri, yang terisolasi. Kematian yang menjadi batas temporalitas itu juga merupakan kematian Aku sendiri, bukan kematian orang lain. Temporalitas yang seperti ini tidak ditolak oleh Levinas. Namun, dimensi temporalitas manusia yang sejati baru muncul dan tersingkap ketika ia berjumpa dengan sesuatu yang benar-benar Lain dari dirinya (Absolutely Other), dan itu adalah Orang Lain (BK 596).
Kritik Levinas yang pertama untuk mendobrak keterbatasan (finitude) temporalitas manusia dalam pemikiran Heidegger, dimulai dari analisisnya atas Kematian. Kematian menjadi titik berangkat karena justru kematian memiliki peran penting dalam pemikiran Heidegger. Heidegger memandang manusia sebagai makhluk temporal, dan temporalitas itu bersifat terbatas karena kematian. Di sinilah pertanyaan Levinas: apakah kematian benar-benar merupakan batas temporalitas manusia? Dari mana Heidegger mendapatkan kesimpulan itu? Apakah dalam ‘fenomena kematian’ terdapat insight seperti itu? Di sini, Levinas melihat bahwa Heidegger tidak setia pada fenomena apa adanya. (BK 597).
Menurut Levinas, kematian justru bukan fenomena sama sekali. Kematian tidak dapat dijadikan titik awal analisis fenomenologi. Kematian, dalam bentuknya yang sejati adalah suatu misteri! Klun menjelaskan: “The relation to death is not primarily a relation to one’s own nothingness, but to mystery, to alterity, to something which goes beyond my abilities of understanding, transcending my own self” (BK 597). Menurut Klun, analisis Levinas tentang kematian sebagai misteri justru lebih konsisten dengan metode fenomenologi. Tetapi, karena sudah dikatakan bahwa kematian tidak dapat dijadikan titik awal fenomenologi, maka analisis Levinas justru melampaui fenomenologi! Kematian yang dipandang sebagai misteri tidak lagi menjadi batasan bagi temporalitas manusia. Kematian justru membuka temporalitas tersebut menjadi tak-terbatas (infinity).
Mengapa kematian sebagai misteri membuka temporalitas manusia menjadi tak-terbatas? Itu karena kematian merupakan masa depan yang selalu ‘akan datang’ (a-venir), tetapi tidak pernah datang. Saya juga teringat pemahaman kaum Stoa tentang kematian: kalau saya hidup, kematian tidak ada; kalau kematian datang, saya tidak ada. Kematian adalah masa depan yang pasti ada, tetapi tidak pernah kita jumpai. Kematian tidak pernah tampak kepada kita dalam bentuk fenomena. Karena, ketika ia menampakkan diri, kesadaran kita sudah tidak ada untuk menangkapnya sebagai fenomena. Kematian adalah masa depan yang abadi (eternel avenir de la mort) (BK 598). Dengan kerangka berpikir seperti ini, Levinas dapat juga menjelaskan masalah transendensi manusia tanpa jatuh ke dalam paradoks Husserl.
Trans(asen)densi (Trans-ascen-dence) manusia menurut Levinas
Kematian adalah masa depan yang menjadi tujuan dari transendensi manusia. Tetapi, ia tetap tidak akan pernah diraih, ia tetap menjadi masa depan yang abadi. Dengan ini, transendensi manusia (dan juga martabatnya) tidak terbatas oleh temporalitas. Temporalitas manusia juga sekarang menjadi temporalitas yang sejati, temporalitas yang tidak tertutup dan hanya sibuk dengan waktu-ku saja, tetapi terbuka terhadap temporalitas orang lain.
Di sinilah letak etika atau ‘yang-etis’ bagi Levinas: “sebuah situasi atau ruang di mana kita merasa terusik dan dituntut untuk memberikan tanggapan pada kehadiran orang lain” (THT 47:22). Kita tidak lagi terkurung dan sibuk dengan waktu kita sendiri. Orang lain lah tujuan dari transendensi kita. Waktu yang kita miliki, kita persembahkan sepenuhnya untuk Wajah-wajah yang menunjukkan mortalitas (ke-dapat-matian). Transendensi manusia dalam pemikiran Levinas melampaui transendensi Husserl (yang terjebak paradoks) dan juga transendensi Heidegger (yang dibatasi temporalitas dan kematian diri saya sendiri). Klun menjelaskan: “My time now becomes a single happening of the relation to the other, who is always the future one with respect to me. It is a time that does not anticipate and does not take possesion of the future (Heidegger)” (BK 599).
Di sinilah sumbangan terbesar Levinas dalam pemikiran Etika kontemporer: manusia terbuka pada kematian orang lain. Temporalitas manusia yang sejati tidak terlihat dari caranya ‘meng-ada’ dalam kehidupan sehari-hari dan ‘menikmati waktu’. Temporalitas manusia yang sejati terlihat saat kita melihat dan berhadapan dengan Wajah orang Lain. Temporalitas manusia itu terbuka juga pada temporalitas orang lain. Mengapa dapat terbuka pada temporalitas orang lain? Ingatlah kematian yang telah kita bicarakan! Ingat pula pengalaman tragis Holocaust yang dialami Levinas. Kematian tidak pernah masuk ke dalam kesadaran kita sebagai kematian-ku, tetapi hanya sebagai kematian yang ada di wajah orang lain.
Kematian bagi Heidegger merupakan sesuatu yang diantisipasi di masa depan, manusia adalah Sein-zum-Tode, katanya. Masa depanku adalah kematian. Tetapi, bagi Levinas, kematian bukanlah suatu akhir dari waktu, ia bukan bagian dari fenomena waktu. Kematian adalah dimensi transenden manusia yang misteri. Di hadapan kematian, aku selalu ‘yang nomor dua’. Yang pertama selalu kematian orang lain, baru kemudian aku teringat akan kematianku sendiri. Sama seperti kita dalam kehidupan sehari-hari tidak mengingat kematian, dan hanya teringat ketika membaca berita tentang kematian di media massa. Transendensi manusia dalam pemikiran Levinas adalah “Trans-asen-densi.” Gerak Aku menuju orang lain itu: “tidak hanya berarti melampaui dan menyeberangi (trans), melainkan juga menaiki (scando). Artinya, transendensi selalu menyangkut gerakan keluar (outward) dan naik (upward) ke arah ketinggian (the height) atau sesuatu yang lebih superior. Dengan demikian, gerakan metafisik, sebagai sebuah transendensi, selalu merupakan [trans-asendensi] (transascendence)” (THT 90โ91, bdk. TI 35:19). Gerakan itu terdiri dari dua langkah karena kita tidak pernah berjumpa dengan kematian secara langsung. Pertama kita selalu keluar untuk melihat wajah orang lain (trans), dan kemudian menemukan suatu misteri yang lebih agung dan lebih tinggi (ascend upward). Dengan ketinggian ini, hubungan antara aku dan yang lain menjadi asimetris. Asimetris berarti orang lain lebih tinggi dan utama daripada Aku. Martabat manusia, dalam pemikiran Levinas, adalah yang tertinggi. Ia tidak boleh ditundukkan kebawah analisis saintifik atau filsafat apapun. Klun menuliskan: “(...) the mystery of my own death is no longer the starting point, from where the questioning of transcendence begins. (...) the death of the other affects me more than my own” (BK 600).
Daftar Pustaka
-
[ID] Heidegger, Martin. Identity and Difference, New York: Harper Torchbooks, 1974.
-
[BK] Klun, Branko. “Transcendence and Time: Levinas’s Criticism of Heidegger,” Gregorianum 88, no. 3 (2007): 587โ603.
-
[TI] Levinas, Emmanuel. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, (terj. Alphonso Lingis. Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969.
-
[EL] Levinas, Emmanuel. “Martin Buber and the Theory of Knowledge,” dalam The Levinas Reader. Translated by Seรกn Hand. Oxford: Basil Blackwell, 1989.
-
[EP] Owen, H.P. “God, Concepts of”, dalam M. Borchert, Donald (ed.), Encyclopedia of Philosophy, 2nd ed., Vol. 4, Detroit: Macmillan Reference USA, 2006, pp. 107โ113.
-
[THT] Tjaya, Thomas Hidya. Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain, Jakarta: KPG, 2018.
Catatan Kaki
-
Disarikan dari artikel Branko Klun. “Transcendence and Time: Levinas’s Criticism of Heidegger.” Gregorianum Vol. 88, No. 3 (2007): 587โ603. Selanjutnya, acuan dari karya ini akan ditulis dengan ‘BK’ diikuti dengan nomor halaman. E.g.: (BK 587). Semua terjemahan teks asli merupakan terjemahan bebas pengarang. Kata-kata yang penulis sendiri tambahkan akan dikurung oleh tanda ‘[’ dan ‘]‘. Dalam penulisan teks ini, penulis menggunakan ‘kode referensi’ untuk mengacu pada sumber primer maupun sekunder. Kode-kode referensi setiap sumber dapat dilihat di bagian Daftar Pustaka. ↩
-
The theory of knowledge is a theory of truth. Like the Parmenides of Plato it poses the question: how can the absolute being manifest itself in truth? For to be known, it must manifest itself in the world where error is possible. How can a being, subject to error, touch the absolute being without impairing its absolute character? It is reasonable to suggest that the efforts of ancient Greek philosophy were largely devoted to this question of how to mediate between appearance and reality. (EL 60) ↩
-
Dalam “The Onto-Theo-Logical Constitution of Metaphysics,” Identity and Difference, New York: Harper Torchbooks, 1974, hlm. 54, Heidegger menulis: “Western metaphyiscs, however, since its beginning with the Greeks has eminently been both ontology and theology, still without being tied to these rubrics. For this reason my inaugural lecture What is Metaphysics (1929) defines metaphysics as the question about beings as such and as a whole. The wholeness of this whole is the unity of all beings that unifies as the generative ground. To those who can read, this means: metaphysics is onto-theo-logy.” ↩