aaron-pm

Stoikisme Seneca: Bersikap Stoik dalam Dunia Politik yang Korup

Tulisan ini disarikan dari: Morford, Mark. “Chapter 6: Seneca and His Contemporaries,” dalam The Roman Philosopher: From the Time of Cato the Censor to the Death of Marcus Aurelius, London: Routledge, 2002, pp. 153–179. Acuan kepada sumber ini selanjutnya akan ditulis dengan ‘MM’, diikuti nomor halaman. E.g.: (MM 154). Semua terjemahan teks asli merupakan terjemahan bebas pengarang. Kata-kata yang penulis sendiri tambahkan akan dikurung oleh tanda ‘[’ dan ‘]‘. Dalam penulisan teks ini, penulis menggunakan ‘kode referensi’ untuk mengacu pada sumber primer maupun sekunder. Kode-kode referensi setiap sumber dapat dilihat di bagian Daftar Pustaka.

Seneca dan Situasi Politik Zamannya

Lucius Annaeus Seneca, seorang filsuf besar yang kita kenal sekarang, lahir sekitar tahun 4 SM–1 M di Corduba, Spanyol, namun mengakhiri hidupnya sendiri pada tahun 65 M di Roma atas perintah Kaisar Nero. Mengapa seorang pemikir Stoik harus menghadapi nasib tragis demikian? Jawabannya terletak pada panggung politik Roma yang begitu bergejolak di zamannya. Saat Seneca muda dia dibawa sang ayah, Annaeus Seneca1, ke Roma untuk menuntut ilmu. Waktu itu dunia politik telah dikuasai oleh para kaisar monarki. Di bawah kekuasaan Tiberius, Gaius, Claudius, hingga Nero, kebebasan berpendapat dan diskusi intelektual para filsuf yang kritis terhadap monarki senantiasa ditekan, bahkan dibungkam. Tak sedikit sejarawan, pujangga, dan filsuf pada masa itu yang harus dihukum mati atau diasingkan dari Roma hanya karena berani mengkritik kekaisaran atau memiliki pemikiran yang bertentangan (MM 153–154).

Meski terhimpit dalam situasi yang mengekang kebebasan berpikir, beberapa aliran filsafat tetap bertahan di Roma. Kaum Neopythagorean, misalnya, meskipun tidak mendominasi, masih memiliki pengaruh. Seneca sendiri pernah berguru pada Sotion, seorang pemikir Pythagorean. Selain Sotion, ada pula Demetrius, filsuf Sinisisme yang menjadi karib Seneca saat keduanya menjadi tutor Kaisar Nero. Kendati akrab dengan pemikiran Pythagorean dan Sinisisme, sumber utama Stoikisme Seneca justru berasal dari Attalus, seorang pemikir Stoik sejati.

Mengikuti ajaran Sotion sang Pythagorean, Seneca sempat mengadopsi pola makan vegetarian, selaras dengan doktrin Pythagorean yang meyakini perpindahan jiwa manusia ke dalam binatang setelah kematian. Namun, pola makan ini ia tinggalkan atas permintaan ayahnya yang kurang menyukai para filsuf. Dari Demetrius sang Sinis, Seneca belajar kesederhanaan, baik dalam gaya hidup maupun pemikiran. Demetrius mengajarkan bahwa kita hanya membutuhkan sedikit maksim sebagai pedoman hidup, tidak perlu terlalu banyak pengetahuan. Kematian, baginya, bukanlah kejahatan; justru ia adalah akhir dari banyak penderitaan yang kita alami dalam hidup. Dapat dikatakan, dalam diri Demetrius, Seneca melihat betapa dekatnya prinsip hidup Sinisme dengan Stoikisme (MM 155).

Dalam suasana hidup dan politik yang penuh tekanan dari kaisar, ajaran Stoikisme laksana oase ketenangan dan kelegaan bagi para pemikir. Ketika dunia politik dipenuhi oleh imoralitas yang memuakkan, Stoikisme menawarkan nasihat-nasihat yang menguatkan jiwa. Guru Stoikisme Seneca, Attalus, mengajarkan kehidupan ideal yang minimalis. Kekayaan sejati, bagi Attalus, adalah merasa cukup dengan harta yang sedikit. Seseorang yang kekuasaannya berasal dari harta, sesungguhnya tidaklah bebas. Justru, seseorang dapat disebut merdeka jika kekuasaannya tidak bergantung pada harta. Gaya berpikir dan berbicara yang mengontraskan dua kutub ekstrem—seperti harta dengan kemiskinan, kekayaan dengan harta secukupnya, kematian dengan kenikmatan hidup—sangat kentara dalam pemikiran Seneca, dan itu berakar dari ajaran-ajaran Attalus sang Stoik (MM 156–157).

Para kritikus masa kini kerap membandingkan gaya menulis Seneca dengan Cicero, pujangga dan filsuf Latin terkemuka. Tulisan dan pemikiran Seneca dipandang berbeda dari Cicero. Seneca sering dianggap sebagai filsuf amatir; saran-sarannya menarik tetapi banyak yang menganggapnya menyesatkan. Retorika dan puisinya memang baik, tetapi di bidang filsafat, ia terkesan ceroboh dan tidak konsisten. Menurut Mark Morford, tidaklah adil mengkritik gaya tulisan Seneca dengan membandingkannya dengan pujangga sekelas Cicero. Cicero hidup pada zaman Republik Roma, era keemasan politik Roma, di mana keadilan dan keutamaan dijunjung tinggi. Pada masa itu, hiduplah para pejabat yang terkenal karena memegang prinsip politik yang bermoral, seperti Scipio Aemilianus dan Lelius. Semua kondisi ideal itu tidak ada pada masa hidup Seneca (MM 159).

Untuk menggambarkan situasi politik yang dihadapi Seneca, ada baiknya kita menelusuri awal karier politiknya. Ketertarikan pada politik mulai tumbuh dalam diri Seneca saat ia berusia 30-an (tahun 31 M). Berkat pengaruh bibinya, ia menjabat di Senat sebagai pengurus keuangan di bawah pemerintahan Kaisar Tiberius. Enam tahun kemudian, Tiberius meninggal pada tahun 37 M. Memasuki satu dekade jabatannya, Seneca sudah dikenal sebagai orator ulung. Kaisar Caligula, penerus Tiberius, tidak menyukai popularitas Seneca dan nyaris merencanakan hukuman mati. Namun, Seneca selamat karena ia menderita tuberkulosis yang cukup parah. Caligula pun berkata, “toh dia sebentar lagi akan mati” (MPE xiii).

Pada Januari tahun 41 M, Caligula dibunuh, dan digantikan oleh pamannya, Kaisar Claudius. Pada tahun yang sama, Seneca dituduh menjalin hubungan dengan saudari Caligula, dan ia diasingkan ke kepulauan Corsica. Delapan tahun kemudian, Claudius menikah dengan Agrippina, salah satu saudari Caligula. Agrippina memanggil kembali Seneca ke Roma untuk mengumpulkan popularitas di kalangan politikus, karena ia berencana menempatkan anaknya, Nero, sebagai penerus Claudius—mendahului Britannicus, anak Claudius yang lebih muda. Rencananya berhasil, dan Seneca ditugaskan menjadi tutor pribadi Nero sebagai imbalan atas pembebasannya dari pengasingan. Nero kemudian menjadi kaisar menggantikan Claudius di usianya yang ke-17 (MPE xvi).

Di masa awal pemerintahan Nero, Seneca masih memiliki pengaruh dalam membimbingnya. Ia menulis pidato-pidato Nero dan memberikan dukungan politik di belakang layar, memanfaatkan pengaruh dan popularitasnya. Namun, setelah kematian Agrippina (eksekusinya diperintahkan oleh Nero sendiri), tindakan Kaisar Nero menjadi tak terkendali. Ia menjadi kaisar yang tamak dan tak segan membunuh demi mempertahankan kekuasaan dan kehormatannya. Pada tahun 62 M, Seneca sadar bahwa dirinya tak lagi berguna untuk membimbing Nero. Ia mengajukan pengunduran diri, namun ditolak Nero karena dianggap akan merusak pengaruhnya dalam pemerintahan. Sejak itu, Seneca berada dekat dengan Nero hanya demi publisitas; pengaruhnya sebagai pembimbing moral Nero sudah tak ada. Dua tahun kemudian, Seneca mengajukan pengunduran diri yang kedua, dan kali ini diterima oleh Nero. Setahun kemudian, Seneca dituduh terlibat dalam konspirasi yang mengancam kekuasaan Nero. Setelah proses pengadilan, hukuman mati dijatuhkan kepada Seneca dalam bentuk perintah bunuh diri. Pada tahun 65 M, Seneca meninggal dunia dengan menyayat nadinya sendiri (MPE xv).

Kini kita dapat melihat bahwa situasi politik yang dihadapi Seneca sepanjang hidupnya penuh dengan pembunuhan dan ketidakadilan, semuanya di bawah kendali penguasa. Cicero menggaungkan keutamaan-keutamaan ideal dalam politik, sementara Seneca memberikan saran bagi mereka yang berada dalam situasi politik yang jauh dari ideal. Ia berfokus pada individu dan bagaimana seseorang harus bertindak dalam situasi moral, sosial, dan politik yang tidak ideal. Karena latar belakang zaman dan kariernya dalam politik, pemikiran Stoik Seneca juga berbeda dengan para pendahulunya. Para Stoik sebelum Seneca berusaha mendeskripsikan cara berpikir dan gaya hidup manusia sempurna, yaitu ‘orang-orang berkeutamaan’ dan ‘orang-orang bijak.’ Seneca justru berusaha mencari bagaimana orang-orang yang tidak sempurna (dan diakuinya tidak akan bisa sempurna), yang ingin hidup sebaik mungkin, harus mengatur kehidupan dan perilakunya (MPE xvii).

Stoikisme Seneca

Karya-karya Seneca dapat dibagi menjadi empat kelompok pemikiran besar berdasarkan tema-temanya (MM 160–161):

  1. Mengapa Orang Baik Mengalami Hal Buruk: Di sini, Seneca membahas mengapa seseorang yang baik masih mengalami nasib buruk. Ini sering menjadi perhatian dalam dunia politik yang korup: jika seseorang jujur dan adil, ia malah tertekan oleh penguasa yang korup.
  2. Mengatur Emosi dan Menjadi Pemimpin Bijaksana: Karya-karya ini ditulis saat Seneca menjadi tutor Kaisar Nero yang baru berusia 17 tahun. Dalam situasi politik yang korup, sangat sulit menjaga emosi dan stres akibat tekanan. Meskipun demikian, Seneca tetap memberikan arahan untuk tetap bijak dan menjadi politikus yang berkeutamaan, terutama bagi para pemimpin.
  3. Etika Stoik: Ini adalah kumpulan surat yang ditulis Seneca untuk membimbing Lucillus, sahabat baiknya, agar menjadi seorang Stoik yang berkeutamaan dan bijak.
  4. Fenomena Alam: Kelompok ini berisi pemikiran Seneca tentang berbagai fenomena alam dan penjelasannya—karya-karya ‘fisika’ Seneca yang menjelaskan tentang api, air, angin, petir, gempa bumi, dan sebagainya. Namun, tema terakhir ini tidak termasuk dalam pembahasan tulisan ini.

Kelompok Pemikiran Pertama: Menerima Takdir dan Mengolah Derita

Sekarang marilah kita selami pemikiran Seneca yang pertama. Dalam karyanya De Providentia, Seneca berupaya menjawab persoalan “mengapa hal buruk masih dapat terjadi pada orang baik atau bijak.” Menurut Seneca, sesungguhnya tidak ada hal yang benar-benar buruk dapat menimpa orang bijak. Itu karena orang bijak mampu melihat apa yang tampak sebagai kesulitan, justru sebagai sarana untuk melatih keutamaannya. Dengan demikian, di masa depan ia bisa menghadapi cobaan yang lebih berat lagi (MM 161).

Seneca meyakini, orang yang menderita adalah mereka yang hidup tidak selaras dengan Takdir-nya; mereka yang hidup selaras dengan Takdir pasti akan bahagia. Orang bijak memahami takdir dan rancangan yang terhampar di hadapannya, dan karena itu ia tidak perlu takut pada masa depan. Untuk dapat menyadari dan mengikuti Takdir, seseorang harus menjadi bijak, yaitu dengan menjadi seorang filsuf. Sebab, menurut Seneca, filsafat mengajarkan kita untuk “mengikuti Tuhan dengan kebebasan kita, dan mengikuti Keberuntungan dengan berani.” Menjadi filsuf bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga penuh dengan keutamaan dan keberanian menghadapi kesulitan hidup (MM 162). Berikut terjemahan dari tulisan Seneca:

“Tuntunlah aku ya Bapa, penguasa langit yang tinggi. Kemanapun engkau kehendaki: aku siap mengikuti. Inilah aku, yang semangat mengikuti. Kalau aku tidak mengikuti-Mu, berarti aku mengikuti rintihan, dan aku menderita karena pilihanku sendiri. Padahal, aku dapat bahagia hanya dengan mengikuti-Mu. Takdir memimpin mereka yang mau mengikuti, dan menyeret mereka yang menyimpang.”2 (MM 163)

Dari sini, kita dapat merefleksikan kehidupan dalam dunia politik. Dalam politik, persaingan kepentingan dan kekuasaan begitu kentara. Seringkali, kita berada dalam posisi lemah dan tak berdaya. Kita kemudian mendapat tekanan untuk bertindak tidak sesuai kemauan. Entah itu atasan yang tirani, ataupun kolega yang korup. Godaan dan ancaman senantiasa menghantui dan membuat kita menderita. Seneca mengalami itu sepanjang karier politiknya, bahkan hingga kematiannya. Namun, Seneca mengingatkan bahwa kita memang tidak sempurna, dan untuk bertahan hidup, kita harus mengikuti yang namanya Takdir. Kita harus ingat bahwa menuruti Takdir dalam pandangan Seneca tidak berarti menutup mata dan buta mengikutinya. Justru menurut Seneca, mereka yang bisa mengikuti Takdir hanyalah mereka yang bijaksana dan berkeutamaan. Artinya, kita harus dapat melihat secara keseluruhan Takdir itu, bukan hanya dalam kasus-kasus partikular. Jika kita sekarang terpaksa berbuat menyimpang, bukan berarti kita harus meneruskannya di masa depan. Kita boleh kalah dalam satu pertempuran, tetapi tidak boleh menyerah untuk meneruskan perang.

Kelompok Pemikiran Kedua: Mengendalikan Amarah, Merangkul Kemanusiaan

Dalam kelompok karya yang kedua, Seneca membahas bagaimana mengatur emosi untuk menjadi pemimpin yang bijaksana. Karya-karya ini ditulis saat Seneca menjadi tutor Kaisar Nero yang baru berusia 17 tahun. Seneca sangat menaruh perhatian pada emosi kemarahan. Tidak heran, sebab Kaisar Nero selama pemerintahannya bertindak gegabah dan tanpa ampun membunuh siapa pun yang ia curigai. Dalam karyanya De Ira, yang berarti Kemarahan (On Anger), Seneca mendefinisikan kemarahan sebagai “kegilaan sesaat.” Ini berarti kemarahan menutupi rasio dan keutamaan seseorang. Dalam kemarahan, seseorang tidak dapat berpikir jernih maupun bertindak dengan bijak. Lalu, bagaimana mengendalikan kemarahan? Menurut Seneca, salah satu caranya adalah pendidikan. Seneca menceritakan sebuah anekdot: Seorang anak pulang dari sekolah Plato. Di rumah ia melihat ayahnya yang marah-marah. Anak itu berkata, ‘aku tidak melihat hal seperti ini di sekolah Plato.’ Bagi Seneca, kemarahan tidaklah sesuai dengan jati diri manusia, dan harus ditekan serta dihilangkan dengan rasio. Seorang yang berpendidikan, rasionya akan terlatih dan dapat mengatasi amarahnya (MM 168).

Pada akhir karya ini, Seneca menuliskan meditasinya atas kemarahan dan kematian:

”(…) Untuk apa marah dengan budakmu, tuanmu, penguasa-mu, dan pelangganmu? Bersabarlah: kematian selalu ada, dan di hadapannya kalian semua itu setara (…) Sekarang, selama kita hidup di antara manusia, marilah kita mengolah kemanusiaan. Janganlah menjadi sumber ketakutan atau bahaya bagi orang lain. Biarlah kita memandang rendah kekalahan, kesalahan, makian, dan kritikan. Tetapi, tetap berjiwa besar di hadapan masalah-masalah yang bersifat sementara. Karena seperti ada pepatah yang mengatakan, ketika kita melihat dan berpaling ke belakang, kematian masih terus mendekat.”3 (MM 169)

Jika pada kelompok karya pertama Seneca berfokus untuk menenangkan diri di bawah kuasa Takdir dan otoritas penguasa yang opresif, maka dalam kelompok karya ini Seneca fokus untuk menenangkan diri sebagai pemegang kuasa. Sebagai pemegang jabatan, mungkin saja bawahan kita berbuat salah. Mungkin juga bawahan kita itu korup dan tindakannya itu malah mengancam jabatan kita sebagai atasan mereka. Mungkin juga kita tahu bahwa bawahan kita tidak menyukai posisi kita sebagai atasan. Persaingan posisi bukanlah hal asing bagi Seneca yang seumur hidupnya berada di dalam kekaisaran monarki. Untuk mendapatkan jabatan, tidak jarang terjadi pembunuhan. Mungkin persis karena itu Seneca mengaitkan meditasinya atas kemarahan dengan meditasi atas kematian. Kemarahan kaisar adalah pertanda akan datangnya kematian. Situasi politik kita di zaman sekarang jauh lebih baik dari zaman Seneca. Namun, kita tetap perlu mengatur emosi dan amarah kita. Meditasi Seneca mengingatkan bahwa semua manusia itu setara di hadapan kematian. Karena itu, tidak perlu terlalu marah dengan bawahan kita. Kita semua bukanlah manusia yang sempurna.

Kelompok Pemikiran Ketiga: Keutamaan dalam Pengunduran Diri dan Kematian

Kelompok karya yang ketiga berbicara tentang etika Stoik. Salah satu doktrin Stoik adalah keutamaan seseorang terlihat dalam partisipasinya di bidang politik. Namun, kita harus mengingat kembali latar belakang dunia politik di zaman Seneca. Pertanyaannya adalah, bagaimana seseorang harus mempertahankan keutamaannya dalam dunia politik yang korup? Salah satu sikap yang sering menjadi jalan keluar adalah dengan pensiun (otium). Annaeus Serenus, teman Seneca, bercerita tentang perasaannya yang masih ingin aktif dalam dunia politik, tetapi ia merasa muak dengan dunia politik Roma saat itu dan ingin pensiun. Menanggapi temannya itu, Seneca masih mendukung Serenus untuk tetap aktif dalam dunia politik dan tidak pensiun (MM 172).

Namun, bagi mereka yang sudah benar-benar merasa tidak cocok dengan dunia politik di zamannya, Seneca memberikan jalan ‘mundur perlahan-lahan.’ Jalan ini adalah jalan seorang berkeutamaan untuk mengambil jarak dari dunia politik tanpa kehilangan martabatnya. Seneca menjelaskan:

“Untuk mereka yang tidak boleh menjadi tentara: jadilah petinggi politik. Untuk mereka yang tidak dapat menjadi petinggi politik: jadilah seorang orator. Untuk mereka yang omongannya dibungkam: tolonglah sesama masyarakat secara privat. Untuk mereka yang tidak diterima dalam rapat Musyawarah (Forum): jadilah teman yang baik dan tamu yang sopan di pesta-pesta dan di rumah orang. Untuk mereka yang sudah kehilangan perannya sebagai warga negara: jalankanlah peranmu sebagai manusia. Dengan begitu, kita tidak menutup diri di dalam satu kota saja, tetapi terbuka pada seluruh dunia. Jagat raya ini menjadi tanah air kita, dan kita mendapat keutamaan yang jauh lebih luas.” (MM 172)

Jalan keluar lain yang Seneca lihat sering terjadi di masanya adalah bunuh diri. Bunuh diri, bagi Seneca, merupakan jalan yang berkeutamaan hanya dalam konteks untuk membebaskan diri dari otoritas yang tirani. Bunuh diri karena kebosanan hidup, karena menginginkan kematian, atau karena takut kematian bukanlah sesuatu yang berkeutamaan menurut Seneca. Seneca menjelaskan: “Orang yang bijak akan keluar dari kehidupan secara wajar, demi negara atau teman-temannya. Atau jika ia sedang dalam kesakitan yang tidak tertahankan, kehilangan anggota tubuhnya, atau terkena penyakit yang tidak dapat disembuhkan.” Ia juga menuliskan: “Mereka yang berani dan bijaksana tidak lari dari kehidupan melainkan keluar dari kehidupan” (MM 174).

Pada zaman Seneca, orang-orang yang dipandang bijak, yang punya status sosial atau pengaruh politik yang tinggi, diperbolehkan untuk bunuh diri, bukan mati di tangan algojo jika dijatuhi hukuman mati. Seneca sendiri dihukum mati oleh Kaisar Nero karena dituduh ikut dalam konspirasi. Namun, Seneca memilih bunuh diri sebagai jalan keluar yang bermartabat, dan juga sebagai simbol bahwa dia tetaplah seseorang yang bebas menentukan nasib diri sendiri di hadapan tirani (MM 173).

Kesimpulan

Demikianlah pemaparan singkat mengenai kehidupan dan pemikiran Stoik Seneca. Ia adalah seorang filsuf Stoik yang menjunjung tinggi keutamaan dan martabat manusia. Situasi politik zamannya jauh dari ideal dan penuh dengan darah. Persis karena itu, pemikirannya berisi saran-saran yang membawa ketenangan bagi mereka yang ingin tetap berkeutamaan dalam dunia politik yang korup. Dunia politik dari masa ke masa tidak lepas dari imoralitas dan korupsi. Sampai sekarang, walaupun jauh lebih sedikit darah ditumpahkan dalam dunia politik, mereka yang terjun dalam dunia politik harus siap menghadapi dilema moral. Dalam politik yang demikian, Seneca mengajarkan kita untuk mengendalikan emosi, memaklumi ketidaksempurnaan, dan tetap menjadi manusia yang berkeutamaan.

Daftar Pustaka

  • [MM] Morford, Mark. The Roman Philosopher: From the Time of Cato the Censor to the Death of Marcus Aurelius, London: Routledge, 2002. [Chapter 6: “Seneca and His Contemporaries,” pp. 153–179]

  • [MPE] L.A. Seneca, J.M. Cooper dan J.F. Procope (eds.), Seneca: Moral and Political Essays, Cambridge: University Press, 1995.

Tulisan ini dibuat sebagai Tugas Akhir Kuliah “Stoikisme” di STF Driyarkara, 2020.


  1. Nama yang sama dengan Seneca. Seneca sang pemikir yang dibahas dalam tulisan ini dikenal sebagai “Seneca the Younger,” sementara ayahnya dikenal sebagai “Seneca the Elder.” 

  2. Lead me, O Father, ruler of the lofty heavens, wherever you wish: readily I will obey. Here am I, eager to follow. If I am unwilling, I shall follow groaning, and suffer myself to do with ill grace what I could have done happily. Fate leads on the willing, and drags the unwilling.” 

  3. (…) Why be angry with your slave, your master, your ruler, your client? Be patient for a little while: death, you can see, is at hand, which will make you all equal (…) In the meantime, while we live, while we are among human beings, let us cultivate humanity. Let us not be a source of fear or danger for anyone. Let us despise losses, wrongs, abuse, criticism. Let us be high-minded and put up with short-lived nuisances. While we look behind us, as the proverb goes, and turn our backs, death draws near.”