aaron-pm

Ketidakadilan Epistemik dalam Dunia Kesehatan

Setelah merenungkan pengaruh rasa sakit terhadap cara seseorang berinteraksi dengan dunianya secara umum, kini Carel membawa kita pada sebuah persinggungan yang lebih konkrit: pertemuan orang sakit dengan dunia kesehatan modern. Persinggungan ini, menurut Carel, adalah lahan subur bagi munculnya Ketidakadilan Epistemik—sebuah gagasan yang dibingkai oleh Miranda Fricker, yang akan kita dalami di bagian pertama. Bagi Carel, ketidakadilan inilah akar dari kusutnya komunikasi antara pasien dan dokter. Di bagian kedua, kita akan disajikan contoh-contoh konkret bagaimana ketidakadilan ini merugikan, bahkan bisa berakibat fatal, bagi pasien.

Carel tidak hanya menyoroti faktor personal—pasien yang sulit bersaksi atau dokter yang sulit mengerti—tetapi juga mengungkap faktor sistemik yang melanggengkan ketidakadilan epistemik. Salah satunya adalah Hak Khusus Epistemik (Epistemic Privilege) yang dipegang dokter. Berbekal pelatihan dan pendidikan medis, dokter memiliki otoritas untuk menginterpretasi dan mengambil tindakan atas penyakit, acap kali tanpa benar-benar mendengar atau melibatkan kesaksian pasien. Faktor sistemik lain, tak kalah pentingnya, adalah tuntutan efektivitas dan kinerja kuantitatif dalam dunia kesehatan modern. Akibatnya, dokter seolah tak punya waktu lagi untuk menyimak testimoni pasien. Hal ini akan kita telaah lebih lanjut di bagian ketiga.

Di bagian keempat, Carel mengulurkan tangan dengan menawarkan sebuah solusi: loka karya fenomenologis. Loka karya ini akan mempertemukan pasien, dokter, dan anggota keluarga pasien untuk berdiskusi seputar penyakit-penyakit tertentu. Dengan bantuan konsep-konsep fenomenologis, loka karya ini bertujuan melatih pasien untuk lebih mahir mendeskripsikan pengalamannya, melatih dokter untuk lebih peka menyimak kesaksian pasien, dan melatih anggota keluarga untuk berempati pada pasien.

Ketidakadilan Testimonik dan Hermeneutik

Di bagian ini, Carel membedah pemikiran Miranda Fricker tentang ketidakadilan epistemik, lalu menggunakannya sebagai pisau analisis untuk memahami praktik-praktik yang secara epistemik tidak adil dalam dunia kesehatan modern. Ketidakadilan epistemik, menurut Fricker, adalah “bentuk ketidakadilan yang dilakukan pada atau dialami seseorang berdasarkan kapasitas pengetahuannya” (PI 183). Fricker membagi ketidakadilan epistemik ini ke dalam dua wujud: ketidakadilan Testimonik dan ketidakadilan Hermeneutik.

Ketidakadilan Testimonik terjadi ketika pendengar memiliki prasangka (prejudice) atau asumsi yang memengaruhi penilaiannya terhadap kredibilitas kesaksian orang lain (PI 185). Ambil contoh penderita Chronic Fatigue Syndrome (Sindrom Letih dan Lesu Kronis). Mereka sering kali diasumsikan memiliki gangguan mental (psikologis), bukan somatis (medis). Dokter kerap merujuk pasien ke psikiater, bahkan mencurigai bahwa pasien adalah korban perlakuan menyimpang (abuse) dari keluarganya. Kesaksian pasien maupun keluarga bahwa hal-hal tersebut tidak terjadi, diabaikan (PI 186). Sebaliknya, penderita Munchausen Syndrome (Sindrom Munchausen) langsung mendapatkan perawatan medis sesuai dengan keluhannya. Kesaksian pasien diasumsikan kredibel, padahal Sindrom Munchausen adalah gangguan mental dengan ciri pura-pura atau sengaja membuat diri sendiri sakit demi menarik simpati dan perhatian orang lain. Kredibilitas kesaksian pasien baru diragukan ketika pasien terlalu sering datang untuk perawatan (PI 187).

Menurut Carel, kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa dokter sering kali menilai terlalu rendah atau terlalu tinggi tingkat kredibilitas kesaksian pasien. Dokter mengabaikan kesaksian pasien dan hanya mengambil keputusan berdasarkan asumsinya. Akibatnya, pasien menerima perawatan yang tidak sesuai dengan kondisinya. Penilaian kredibilitas ini, menurut Carel, selalu terjadi dalam interaksi antara pasien dan dokter. Namun, dalam pendidikan medis, hal ini kurang mendapat perhatian (PI 187).

Ketidakadilan Hermeneutik terjadi karena dua sebab. Pertama, pemberi testimoni kekurangan sumber daya pengetahuan untuk menginterpretasi dan mendeskripsikan hal-hal yang dialaminya. Sumber daya interpretasi ini dipengaruhi oleh latar belakang budaya (PI 188). Kedua, karena dinilai terlalu subjektif dan emosional, interpretasi pasien atas pengalaman sakitnya sering diabaikan. Ungkapan pasien atas kondisinya kerap dinilai kurang jelas (inarticulate) karena tidak memiliki pengetahuan medis. Kedua hal tersebut membuat dokter merasa tidak perlu mendengarkan, dan pasien juga merasa tidak perlu membagikan perasaannya. Namun, bahkan saat interpretasi pasien diperhatikan, dokter sering kali mereduksinya menjadi data-data semata. Menurut Carel, dalam dunia kesehatan modern, ada tendensi untuk menyamakan pengalaman orang pertama dengan laporan orang ketiga (PI 189).

Carel menegaskan, kedua bentuk ketidakadilan epistemik di atas sering dialami pasien saat berinteraksi dengan dokter. Namun, Carel tidak mengatakan dunia kesehatan modern pada dasarnya tidak adil. Beliau hanya mengatakan bahwa beberapa kebijakan, tata cara, dan pengaruh budaya dapat membuat ketidakadilan epistemik terjadi (PI 184). Untuk mewujudkan keadilan epistemik, menurut Carel, para dokter harus lebih menyadari pentingnya mendengarkan kesaksian pasien, dan juga mengakui adanya jurang epistemik yang menyulitkan mereka untuk mengerti interpretasi pasien (PI 189).


  1. Disarikan dari Carel, Havi. Phenomenology of Illness. Oxford: Oxford University Press, 2016, Bab 8, hlm. 180–203. Selanjutnya, acuan pada karya ini akan ditulis dengan ā€˜PI’ diikuti dengan nomor halaman. E.g.: (PI 180).