Filsafat Manusia
Filsafat Manusia merupakan bagian filsafat yang mencoba mengungkapkan sebaik mungkin apakah sebenarnya pengada (being) yang disebut manusia itu (LL, 2001:15). Ilmu-ilmu tentang manusia lainnya seperti antropologi dan psikologi memang berupaya menemukan hukum-hukum tindakan manusia, tetapi hanya dari segi empiris saja. Setiap bidang juga mempelajari satu segi saja dari sifat dan tindakan manusia, entah biologisnya, fisiknya, atau psikologisnya saja. Kesimpulan-kesimpulan yang didapat akhirnya diuraikan dalam bahasa matematika (statistika) karena hanya mencakup apa yang dapat diukur dan dihitung. Di lain pihak, Filsafat Manusia bertanya mengenai apa yang menjadi ciri khas dan mendasar manusia, apa yang memberinya sifat kesatuan, apa yang menjadi tindakan khasnya, dan apa sebenarnya yang disebut manusia itu. Maka, sifatnya lebih fundamental, lebih luas, dan lebih mempersatukan (LL, 2001:23). Objek formal atau bahan penyelidikannya adalah unsur-unsur pembentuk manusia yang diakui secara mutlak, material maupun immaterial. Hasil kesimpulan dari kajian filsafat manusia tidak berasal dari persepsi inderawi, melainkan dari hasil penangkapan intelektual atas hal-hal yang membuat manusia memiliki sifat keberadaan yang khas. Filsafat manusia mengandaikan adanya suatu watak-sifat manusia, yaitu suatu kumpulan struktur dan suatu rangkaian bentuk dinamis yang khas baginya (LL, 2001:20). Dari banyak aspek yang dapat kita telusuri mengenai realitas manusia, relasi antarmanusia dan kematian merupakan dua tema besar yang penting dalam filsafat manusia.
Relasi Antarmanusia
Para filsuf mengajukan pandangan yang berbeda-beda mengenai hakikat relasi antarmanusia. Dalam konteks dan cara masing-masing, Martin Buber dan Gabriel Marcel menekankan relasi yang setara dan dialogis. Martin Heidegger memperlihatkan struktur eksistensial “Ada-dengan” pada manusia yang sering justru membuatnya tenggelam dalam kerumunan. Sementara itu, Jean-Paul Sartre menyoroti relasi konflik berdasarkan hakikat kesadaran manusia. Sebaliknya, Emmanuel Levinas menunjukkan relasi asimetris dengan orang lain yang terungkap dalam tanggung jawab padanya.
Manusia tidak hidup sendirian, ia hidup bersama orang lain. Oleh karena itu, sosialitas merupakan dimensi fundamental manusia. Para filsuf mengajukan pandangan yang berbeda-beda mengenai hakikat relasi antarmanusia tersebut. Dalam bab ini, akan dibahas pandangan dari filsuf-filsuf besar seperti Martin Buber, Gabriel Marcel, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Emmanuel Levinas. Masing-masing mengembangkan pikiran mereka dalam konteks dan caranya yang berbeda.
Pandangan Martin Buber
Menurut Buber, ada dua macam relasi antarmanusia, yaitu Aku-Itu dan Aku-Engkau. Dalam relasi Aku-Itu, manusia menempatkan orang lain sebagai objek, (hubungan tuan-budak). Relasi macam ini bersifat fungsional, dan orang lain dianggap hanya sebagai alat atau sarana untuk tujuan tertentu. Tetapi dalam relasi Aku-Engkau, manusia menempatkan orang lain secara setara, sama-sama sebagai subjek yang bermartabat. Relasi macam ini bersifat dialogis, saya berbicara sekaligus mendengar pihak lain, dan ada timbal balik. Menurut Buber, relasi Aku-Engkau inilah yang ideal dalam relasi antarmanusia.
Hubungan Aku-Engkau bukanlah hubungan di antara berbagai hubungan biasa, tetapi merupakan hubungan yang utama, yang menjadi fakta primer setiap antropologi dan filsafat. Berbeda dengan hubungan I-It yang merupakan relasi tuan-budak, hubungan I-Thou tidak pernah merupakan hubungan penguasaan Aku atas Engkau atau, sebaliknya, Engkau atas Aku. Hubungan Aku-Engkau merupakan hubungan dua kutub yang setara, suatu hubungan timbal balik yang sempurna (Gegenseitigkeit). Dalam perjumpaan dan dialog, manusia secara otentik menjadi Aku dan yang lain secara otentik menjadi Engkau.
Hubungan Aku-itu adalah hubungan antarmanusia di mana yang satu menganggap yang lain sebagai objek atau benda, atau sebaliknya. Hubungan Aku-itu muncul dalam hubungan tuan-budak. Hubungan Aku-itu didominasi oleh kehendak untuk menguasai orang lain dan dunia. Hubungan ini mereduksi kemanusiaan dan jauh dari hubungan antarmanusia yang ideal.
Walaupun kurang ideal, tetapi bukan berarti relasi Aku-itu harus dilawan dan dihindari. Relasi ini mungkin muncul dalam situasi sehari-hari yang memang bersifat fungsional. Saat kita naik ojek online, misalnya, pertama-tama relasi antara pengemudi dengan penumpang merupakan relasi Aku-Itu. Saat pengemudi atau penumpang mulai menyapa, bertukar cerita, dll., barulah relasi Aku-Engkau terjadi.
Sementara itu, hubungan Aku-Engkau adalah hubungan fundamental manusia. Hubungan Aku-Engkau mendahului semua hubungan. Tidak ada pengantara dalam pertemuan Aku-Engkau. Dalam hubungan ini, Engkau berbeda dari benda, kemanusiaan Engkau tidak pernah aku kebawahkan, dan kemanusiaan Engkau juga tidak tergantung dariku. Dengan demikian, hubungan Aku-Engkau ini tidak berada dalam kerangka hubungan tuan-budak. Tidak pernah ada hubungan penguasaan Aku atas Engkau ataupun sebaliknya. Maka, implikasi dari hubungan Aku-Engkau adalah hubungan yang setara.
Engkau adalah misteri tak terkatakan yang tak pernah merupakan pengalaman ilmiah. Engkau tidak pernah merupakan “objek.” Engkau sebagai yang lain tak pernah secara penuh “kuketahui,” tetapi hadir sebagai misteri yang tak bisa ditangkap, dan menjadi sumber refleksi atas hubunganku dengan Yang Ilahi. Hubungan antarmanusia (Aku-Engkau) tidak terpisahkan dari hubungan dengan Allah: perjumpaan dengan Engkau juga merupakan jalan menuju Allah. Hubungan antarmanusia mengaitkan kita dengan hubungan dengan Engkau yang Mutlak. Relasi Aku-Engkau bersifat:
- Langsung hadir: kedua subjek sepenuhnya hadir dalam suatu relasi. Pikirannya tidak melayang ke mana-mana.
- Tanpa prasangka: subjek yang satu tidak berprasangka dari awal mengenai subjek yang lainnya, tetapi menerima sebagaimana adanya ia sekarang.
- Setara: kedua subjek berada pada tingkat yang sama, bukan relasi tuan-hamba, atau bos-karyawan.
- Merupakan jalan menuju Allah: menurut Buber, relasi Aku-Engkau dapat menjadi jalan menuju Allah.
Pandangan Gabriel Marcel
Gabriel Marcel berbicara tentang relasi antarmanusia seperti yang digambarkan Martin Buber, yaitu dialogis, namun sifatnya lebih intim. Marcel melihat filsafat tradisional cenderung melihat dunia, orang lain, bahkan diri kita sendiri sebagai objek yang perlu dikenali, yang perlu diselidiki atau diketahui. Tetapi menurut Marcel, seharusnya relasi dengan para ‘Ada’ (beings, yang termasuk di dalamnya manusia) seharusnya terungkap dalam partisipasi (menikmati kehadiran), dan bukan sekadar observasi atau pengamatan.
Marcel melihat manusia sebagi ada-yang-menjelma (l’etre incare). Pengalaman utama manusia yang mendalam adalah pengalaman antarmanusia yang termanifestasi dalam cinta. Jadi, sebagaimana dalam pemikiran Martin Buber, hubungan antarmanusia yang ideal merupakan hubungan Aku-Engkau, yang menurut Gabriel Marcel memiliki ciri-ciri (1) Ketersediaan (DisponibilitĂ©), yaitu siap hadir untuk orang lain; (2) Penerimaan (RĂ©ceptivitĂ©), yaitu secara aktif menerima atau memberikan perhatian dan bersedia mendengarkan; (3) Keterlibatan (Engagement), yaitu tidak hanya mengamati, tetapi ambil bagian, bukan sikap acuh tak acuh; (4) Kesetiaan (FidĂ©litĂ©), yaitu menganggap penting relasi dengan orang lain, ada komitmen, ikut bertanggung jawab atas rencana dan proyek bersama; (5) Kreativitas (CrĂ©ativitĂ©), yaitu mengembangkan relasi yang sudah ada, dalam arti membuat ruang untuk terwujudnya kebebasan yang lain dan realisasi diri, membiarkan orang lain berkembang.
Persoalan yang dilihat Gabriel Marcel adalah hubungan antarmanusia dalam masyarakat modern mengalami kemerosotan karena telah diperbudak oleh mesin dan teknologi. Itu membawa manusia pada semangat abstraksi yang dominatif. Hal ini memerosotkan relasi Aku-Engkauâyang sebenarnya merupakan fakta primer dan kecenderungan utama manusia yang diperlukan bagi eksistensinyaâmenjadi sekadar hubungan subjek-objek atau I-It (Aku-itu).
Filsafat harus bertolak dari situasi konkret, dan pengalaman langsung sangat kaya untuk digali. Karena itu, Marcel juga berpendapat bahwa perilaku manusia tidak dapat ditangkap sepenuhnya dengan suatu kejelasan sistematik dan abstraksi saja. Bagi Marcel, manusia dan hubungan antarmanusia harus didekati sebagai misteri. Dalam pemikirannya, ia membedakan dua pendekatan terhadap realitas antarmanusia: (1) memandang yang lain sebagai “problem” atau “objek,” dan (2) sebagai “misteri.”
Kata “problem” berasal dari kata dalam bahasa Latin “pro ballo,” artinya ‘melempar objek di hadapanku.’ Maka, problem berarti objek yang dilemparkan di hadapanku. Memandang manusia sebagai problem berarti mengobjekkan manusia yang ada di hadapanku. Mengapa? Karena: (a) aku hanyalah pengamat, (b) ada jarak yang memisahkan aku dengan yang lain, dan (c) manusia dipandang sebagai “benda” atau “It” (dalam bahasa Buber).
Memandang manusia sebagai misteri berarti mengakui adanya suatu kedalaman yang tidak bisa ditimba sampai habis dalam kerangka sistematik ilmiah. Misteri berarti sesuatu yang mengejawantahkan diri padaku untuk terlibat di dalamnya. Aku tidak bisa mengenal atau mengetahui dia lebih dalam karena selalu ada sesuatu yang tidak aku ketahui (masih tersembunyi). Dalam perjalanan hidup, yang tersembunyi itu akan termanifestasi ketika aku terlibat untuk mengenalnya (menekankan adanya keterlibatan). Saat itulah manusia lain dipandang sebagai “Thou” (dalam bahasa Buber).
Marcel melihat manusia sebagai “ada-yang-menjelma” (l’ĂȘtre incarĂ©). Artinya, manusia harus dilihat dalam keutuhan dirinya. Dia juga adalah “peziarah”, “the becoming,” yang tidak pernah selesai berproses, terbentuk, atau menjadi (dalam bahasa Driyarkara, manusia disebut dengan makhluk ‘membelum’). Bagi Marcel, pengalaman utama manusia yang paling mendalam adalah pengalaman antarmanusia, yang termanifestasi dalam cinta. Dalam cinta itulah terjadi realisasi diri tertinggi.
Dalam arti tertentu, Marcel juga dapat dilihat sebagai pemikir ‘anti-sistem.’ Yang dimaksud dengan ‘sistem’ adalah pengelompokan atau penggolongan manusia (generalisasi atau stereotyping). Ketika manusia dimasukkan ke dalam sistem, keunikan diri manusia tidak lagi diakui.
Pandangan Martin Heidegger
Dalam membicarakan relasi antarmanusia, Heidegger tidak mencari bagaimana relasi ‘yang ideal’, melainkan ia melihat dari sudut struktur yang ada pada manusia itu sendiri. Menurutnya, salah satu struktur eksistensial manusia sebagai Da-Sein (Ada-di-Sana) adalah Mit-Sein (Ada-Dengan: berada dengan benda-benda dan orang lain dalam dunia), dan secara keseluruhannya manusia adalah Mit-Dasein, yaitu ada-dengan-orang-lain.
Dengan demikian, keprihatinan (sorge) setiap Dasein bukan hanya keprihatinan terhadap benda-di-dunia, tetapi juga Fursorge, yaitu keprihatinan terhadap manusia lain (kepedulian). Entah ia berusaha menyanjung yang lain ataupun menjatuhkan yang lain, satu kenyataan yang tidak terbantahkan adalah bahwa manusia tidak pernah terlepas dari yang lain. Dari struktur ini, tampak bahwa manusia memang tidak bisa hidup terpisah dari orang lain. Namun, struktur itu membuat manusia sering hilang dalam kerumunan masyarakat (crowd/they). Dalam kerumunan, yang ada adalah hubungan impersonal (tanpa pribadi, tanpa individu, non-individual, anonim). Hubungan impersonal ini adalah bentuk tirani terhadap manusia, karena menempelkan anonimitas pada identitas individu. Keunikan individu menjadi hilang. Di situ, manusia bukan lagi subjek tertentu, bukan aku, bukan kamu, bahkan bukan kita.
Lebih lanjut, yang impersonal tersebut mengatur individu untuk menghilangkan tanggung jawab pribadi. Semua tindakannya hanya ikut-ikutan. Dengan itu, kehidupan sosial sehari-hari menjadi kawasan yang impersonal, yang ditandai dengan heteronomi dan ketidakotentikan, manusia tidak lagi memiliki dirinya, tidak bisa menentukan dirinya sendiri. Maka, manusia sebagai ada-di-dalam-dunia-dengan-yang-lain sering kali justru membuatnya tenggelam dalam kerumunan masyarakat.
Pandangan Jean-Paul Sartre
Menurut Sartre, ada-bersama (Mit-Dasein) Heidegger tidak menunjukkan adanya hubungan pengakuan dan perjuangan timbal balik. Padahal, eksistensi yang lain tidak dapat dipisahkan dari aku atau Ego. Manusia bagi Sartre pada hakikatnya adalah sadar dan bebas (berada pada tingkat being-for-itself). Kesadaran ini selalu berusaha menjadikan orang lain sebagai objeknya. Dalam relasi dengan orang lain, manusia berusaha menghindar dari situasi yang menjadikan saya objek dari kesadaran orang lain, karena itu akan mengurangi kebebasan saya. Itulah kenapa bagi Sartre, ‘orang lain adalah neraka’. Jadi, relasi antarmanusia menurut Sartre adalah relasi yang saling mengobjekkan.
Realitas manusia adalah pelaku yang sama sekali bebas, yaitu pengada yang membuat dirinya sebagaimana ia kehendaki. Kebebasan menjadi satu-satunya sumber nilai bagi martabat manusia. Masalahnya, kebebasanku selalu terancam oleh kehadiran yang lain. Apabila aku dilihat atau dipandang orang lain, aku menjadi objek. Sebaliknya, jika aku memandang atu melihat orang lain, ia menjadi objek. Begitulah relasi antarmanusia. Ketika yang lain memandang aku sebagai objek, ia membendakan aku menjadi entitas-di-antara-entitas-di-dunia, membuatku kehilangan martabat, dan juga mengurangi kebebasanku karena sekarang tindakanku dibatasi oleh pandangan orang lain. Oleh karena itu, aku lalu berjuang melepaskan diri dari cengkraman yang lain. Akan tetapi, pada saat yang sama yang lain pun berusaha membebaskan diri dariku. Di situlah hubungan timbal balik sangatlah penting yaitu berupa dinamika perjuangan timbal balik. Bagi Sartre, relasi antarmanusia selalu berbentuk konflik.
Pandangan Sartre atas relasi antarmanusia sama dengan pandangan Thomas Hobbes tentang situasi masyarakat sebagai “perang semua melawan semua.” Setiap kesadaran selalu dalam potensi konflik dengan kesadaran yang lain. Kesadaran manusia akan kebebasan eksistensialâyang harus direalisasikan ituâakhirnya bertabrakan dengan kebebasan eksistensial yang lain.
Kehadiran Yang Lain tak dapat dipisahkan dengan “aku.” Yang lain adalah yang kulihat dan yang melihat aku. Bagi Sartre, hubungan timbal balik ini sangat penting: bila aku dilihat orang lain, aku menjadi objek. Maka, antarsubjektivitas itu mustahil; yang ada adalah antarobjek, dan yang mungkin adalah konflik. Kebebasan Yang Lain mengancam kebebasanku. Dalam pemikirannya, Sartre membedakan dua kategori realitas: Being-for-itself dan Being-in-itself
Being-for-itself adalah manusia (subjek) yang memiliki kesadaran. Manusia menyadari bahwa “aku bukanlah Yang Lain.” Akan tetapi, karena dalam perjalanan hidupnya manusia selalu berbeda atau berubah, ia juga sadar bahwa “aku bukanlah diriku,” atau “aku tidak selalu diriku yang sekarang.” Ia tidak identik dengan dirinya (aku sekarang tidak sama dengan aku masih bayi), dan identitas ‘aku yang sekarang’ juga sebenarnya belum dapat tercapai atau ditemukan. Dengan begitu, dalam arti tertentu, “aku bukanlah diriku” juga dapat berarti “aku tidak memiliki identitas,” atau “aku bisa menyangkal diriku.” Ketidakmampuan aku untuk mendefinisikan diri ini menimbulkan kecemasan dan frustrasi.
Being-in-itself adalah benda (objek) yang tidak memiliki kesadaran. Benda-benda identik dengan dirinya. Ia juga tidak mengalami frustrasi. Yang lain adalah yang kulihat dan yang melihat aku. Hanya bila aku berada di hadapan yang lain, aku merasa menjadi objek. Aku menjadi malu (menjadi objek) karena perbuatan yang tak seharusnya dilihat orang ternyata dilihat orang lain.
Tetapi di satu sisi, malu adalah pengakuan. Aku mengakui siapa diriku di hadapan yang lain. Di saat itu, ia (yang lain) menjadi objek dan aku menjadi subjek yang mengobjekkan yang lain. Contohnya, bila seseorang mengintip aku di pintu, aku menjadi objek. Tetapi ia akan menjadi malu, dan juga akan menjadi objek bila ia kuketahui sedang mengintip. Maka, hubungan antarsubjektivitas itu mustahil; yang mungkin adalah konflik.
Realitas manusia adalah pelaku yang sama sekali bebas, yang membuat dirinya sekehendaknya. Sumber nilai (martabat) manusia hanyalah kebebasannya. Tetapi kebebasanku selalu terancam oleh kehadiran yang lain, karena dengan memandang aku sebagai objek, yang lain “membendakan aku, menjadikan diriku suatu benda di antara benda.” Yang lain menjadikan kesadaran subjektif (pour-soi) menjadi benda (en-soi) oleh pandangan (le regard) yang lain. Begitu aku diobjekkan, aku kehilangan kebebasanku. Untuk mendapatkan kebebasanku kembali, aku harus melepaskan diri dari cengkeraman yang lain, begitu pula sebaliknya.
Dalam kerangka berpikir seperti itu, Sartre dapat menjelasakan berbagai bentuk hubungan kita dengan orang lain. Mencintai, misalnya, berarti menempatkan yang lain sebagai pusat perhatian, sekaligus bersedia menjadikan diri sebagai objek bagi yang lain. Saling mencintai berarti saling mengidentifikasi, saling menyingkirkan keunikan atau ke-lain-an yang satu dengan yang lain. Saya juga dapat mengatur kehendakku ketika orang lain menolak diriku, aku sadar dan mengakui bahwa dia punya kehendak sendiri, aku punya kehendak sendiri. Sementara itu, hubungan yang ‘seksual saja’ berarti aku menjadikan yang lain sebagai objek. Perhatian kepada orang lain itu semu, yang dipentingkan adalah individualisme dan kenikmatan sendiri.
Masokisme berarti aku membiarkan diri dikendalikan yang lain, memberi kebebasan bagi yang lain untuk memanipulasi diriku. Dengan mengambil posisi sebagai yang dimanipulasi, orang lain juga menjadi objek dari keinginanku. Sementara sadisme berarti aku secara aktif memanipulasi yang lain, yang lain tunduk dan mengikuti kehendakku tanpa syarat. Tetapi, kesadaran yang lain sebagai being-for-itself tidak mati, sesungguhnya ia menolak kumanipulasi.
Pandangan Emmanuel Levinas
Menurut Levinas, pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan egonya saat berelasi dengan orang lain. Kecenderungan itu disebut ‘Kecenderungan The Same’. Karena kecenderungan itu harus dilawan, dalam berelasi manusia harus berusaha untuk sungguh-sungguh mengutamakan orang lain (transendensi total—trans-asendensi). Dengan begitu, orang lain ditempatkan sebagai yang lebih tinggi. Hal ini terungkap dalam bentuk suatu tanggung jawab kepada orang lain. Jadi, relasi antarmanusia yang ideal menurut Levinas bersifat asimetris: Orang lain lebih penting daripada saya. Menurut Levinas, Wajah orang lain itu selalu menuntut pertanggungjawaban dari aku. Wajah orang lain juga merupakan jejak dari Yang Tak Terbatas (the infinite).
Gagasan dasar Levinas itu bertumpu pada kritiknya terhadap filsafat Barat (lihat bagian “Kritik Levinas terhadap filsafat” di Bab Metafisika), khususnya pada konsep egologi yang ditujukan pada pemikiran Descartes, dan menegaskan Yang Lain sebagai paling utama sebagai kebenaran fundamental manusia. Egologia filsafat barat menempatkan totalitas sebagai pusat, yang menandakan keinginan akan kekuasaan. Inilah hubungan antara Aku dan benda-benda (objek).
Gagasan Levinas tentang relasi antarmanusia dapat dimengerti dengan menjelaskan pokok-pokok pikirannya, yaitu: Apa yang dimaksud Emmanuel Levinas dengan “Wajah Orang Lain”? Bagaimana hal itu dikaitkan dengan “Yang Etis”? Bagaiamana “Tiga Momen Epifani Wajah” menghubungkan kedua pokok pikiran itu?
Wajah orang lain dalam pemikiran Levinas tidak sekadar merujuk pada rupa fisik atau kehadiran inderawi orang lain. Wajah bagi Levinas bukan semata-mata soal fisik, melainkan cara ‘Yang Lain’ memperlihatkan dirinya, melampaui gagasan yang saya miliki mengenai dirinya. Melalui Wajah, orang lain menampakkan diri seutuh-utuhnya dan melampaui apa yang bisa saya pikirkan mengenai orang itu. Wajah juga bukan hanya persepsi, konsep, ide atau pikiran yang dapat ditanggkap dari orang lain. Wajah orang lain sama sekali lain dari pikiran kita tentang dia. Lebih dari itu, wajah orang lain merupakan keseluruhan cara yang lain itu berada dan mengungkapkan dirinya secara penuh. Ia sama sekali tidak terikat dengan konteks dimana ia ditemukan melainkan sungguh-sungguh mencerminkan totalitas dirinya, yang melampaui konsepsi tentangnya atau penginderaan tentangnya.
Dihadapan Wajah yang seperti itu, kita tidak bisa ‘mengetahui’ apa-apa. Semua usaha kita untuk menguasai Wajah akan selalu gagal, kita tidak bisa mendapatkan pengetahuan, dan—karena ‘mengetahui’ bagi Levinas adalah juga ‘menguasai’—kita tidak dapat menguasai Wajah Yang Lain itu. Di hadapan Wajah, yang kita ‘dapatkan’ hanyalah Epifani, yaitu suatu “manifestasi tiba-tiba atas esensi atau makna realitas tertentu” (THT 82). Epifani itu pun bukan kita dapatkan karena usaha kita untuk mendapatkannya, tetapi karena keterbukaan kita untuk menerimanya. Epifani tersebut oleh Levinas dibagi menjadi Tiga Momen Epifani:
- Momen pertama adalah keberadaan yang lain dalam wajah yang tegak. Yang lain menampakkan diri dalam wajah yang tidak terlindungi, rentan, telanjang dan menderita.
- Momen kedua adalah momen face-to-face. Dalam momen ini aku berjumpa secara langsung dan berhadapan dengan yang lain.
- Momen ketiga adalah momen yang lain menuntut aku untuk bertanggung jawab. Dalam perjumpaan dengan wajah yang lain, yang lain ini tidak hanya diam. Ia mengusik dan mengganggu kebebasan-kenyamananku. Ia meminta pertanggungjawaban atas keberadaan dirinya.
Dalam tiga momen Epifani di atas, ‘Yang Etis’ menurut Levinas terjadi dalam momen ketiga. Dalam perjumpaan dengan wajah yang lain, yang lain ini tidak hanya diam. Ia mengusik dan mengganggu kebebasan-kenyamananku. Ia meminta pertanggungjawaban atas keberadaan dirinya. Dengan demikian, relasi yang terbentuk dari perjumpaan ini adalah relasi asimetris. Yang Lain berada di posisi yang lebih tinggi dari aku.
Dalam relasi asimetris demikian, makna dari yang etis ditemukan. Yang etis adalah keadaan di mana yang lain mengusikku dan meminta pertanggung jawabanku atas keberadaaanya. Lebih dari itu, aku diminta untuk menjawab iya dan bertanggung jawab atasnya. Levinas memilih untuk menggunakan kata ‘Yang Etis’ dari pada ‘Etika’ supaya kita tidak terjebak hanya pada teori moral yang abstrak (yang melupakan bahwa dalam relasi etis kita selalu sedang berhadapan dengan orang lain, dan bukan hanya masalah bagaimana aku bertindak).
Wajah secara langsung menghancurkan kekuatan totalitasi yang bersifat anonim dan impersonal. Kalau kita ingin ‘menuntut’ orang maka kita harus hadir di depannya. Kata pertama dari wajah adalah “Jangan Bunuh Saya.” Maka di sini bisa dipahami bahwa ‘Yang Etis’ itu pada pertemuan dengan orang lain. Etika hanya masuk akal ketika ada pertemuan dengan orang lain. ‘Yang Etis’ itu bersifat cair dan harus menjadi landasan dalam pertemuan dengan orang lain. Oleh karena itu, etika harus dimulai dengan sensibilitas terhadap penyingkapan wajah pada kita yang menuntut kita untuk bertanggung jawab.
Kecenderungan The Same (Yang Sama) selalu mereduksi segala sesuatu dengan konsep-konsep yang menyeragamkan semua (semua disamaratakan). Filsafat yang bertolak dari Ego mereduksi segalanya sebagai “objek” yang dapat disamaratakan atau diseragamkan. Melihat segalanya dari kacamata Ego merupakan mengungkapkan rasa ingin menguasai segalanya. Sementara itu, The Other (Yang Lain) itu tidak dapat direduksi, diseragamkan, atau disamaratakan. Yang Lain tidak sama dengan diriku. Memandang manusia sebagai Yang Sama berarti mereduksi dan menundukkannya. Sebaliknya, Memandang manusia sebagai Yang Lain berarti menganggap Yang Lain sebagai yang khas, mengakui perbedaan Yang Lain dari diriku.
“Yang baik” (the Good) adalah yang dicari dalam perjumpaan dengan Yang Lain. Di dalam pencarian ini memang terdapat risiko, yaitu ketidakpastian, salah penafsiran dan pengenalan akan terus ada sampai kita benar-benar berjumpa dengan Yang Lain. Perjumpaan dengan “Yang Lain” membawa manusia pada pengalaman metafisika (perjumpaan memunculkan kesadaran akan Ada Yang Lain) dan pengalaman religius. Dalam hubungan Aku dengan Yang Lain, ada seberkas cahaya kemuliaan Ilahi yang termanifestasi. Mengapa hanya ‘seberkas’? Karena memang hubungan ini tidak menyebabkan Allah benar-benar hadir. Allah itu Totally Other (Yang Sama Sekali Lain).
Di dalam perjumpaan itu, Yang Lain menampakkan diri (epifani). Yang Lain itu tampil di depan saya, tampak dengan wajahnya. Wajah Yang Lain mengundang kebaikan saya terhadapnya, menarikku, menyandera, dan memberikan kewajiban kepadaku, terutama wajah-wajah mereka yang menderita. Dengan demikian, pengakuan akan “Yang Lain” menjadi tuntutan etis. Oleh karena itu menurut Levinas, Etika adalah filsafat yang pertama dan utama. Perbuatanku atau perjumpaanku dengan Yang Lain tidak dinilai secara ontologis (semata-mata yang penting adalah kehadiranku), melainkan melibatkan segala tindakan dan pengakuanku akan keistimewaan Yang Lain.
Menurut Levinas, filsafat pertama adalah Etika, yaitu berhadapan dengan Yang Lain. Etika tidak sekadar berhadapan dengan perintah moral seperti dalam pemahaman Kant, tetapi lebih lagi berhadapan dengan Yang Lain. Etika merupakan panggilan manusia untuk merespons Yang Lain, yaitu menghargai keunikan dan ketidaksamaan (alteritas) dari Yang Lain.
Pokok-pokok Lain
Apa yang dimaksud dengan “Relasi Antarmanusia”?
Relasi Antarmanusia adalah struktur mendasar dari kenyataan bahwa manusia hidup bersama orang lain dalam dunia. Struktur ini juga sering disebut sebagai ‘sosialitas manusia.’ Relasi antarmanusia lebih luas daripada relasi antarsubjek. Manusia (Ego) menjadi nyata dan utuh ketika berelasi dengan manusia lain. Ia menyadari bahwa “saya sedang berelasi dengan orang lain.” Pandangan ‘hubungan intersubjektivitas’ dalam filsafat abad XX ini merupakan reaksi terhadap hilangnya pemahaman atas Ego (manusia utuh) dalam filsafat modern.
Mengapa ‘Ego’ dikatakan hilang dalam Rasionalisme, Idealisme, dan Empirisme?
Sebabnya adalah dalam kerangka berpikir rasionalisme dan idealisme, Ego dipandang tidak lebih daripada sekadar syarat untuk terbentuknya pengetahuan. Penjelasannya demikian: antropologi modern Descartes dicirikan oleh cara memandang Ego sebagai “yang terarah pada dunia materiil.” Manusia ditafsirkan sebagai individu menyendiri, tertutup dalam dirinya sendiri, dan terisolasi dari manusia lain. Hubungan dengan manusia lain tidak disangkal, tetapi juga tidak dipandang penting dalam memahami misteri manusia.
Terlebih lagi, keberadaan manusia lain hanya diakui secara tidak langsung. Keberadaan manusia lain diafirmasi melalui proses penalaran sebagai berikut: (1) Aku mengetahui diriku (bahwa aku sadar diriku adalah manusia); (2) Lalu, aku mengetahui bahwa aku dapat mengekspresikan diriku melalui tubuh, kata-kata, senyuman, gerak-gerik dan lain-lain; (3) Ditemukan bahwa di antara benda-benda materiil di sekitarku, ada beberapa ekspresi yang analog (mirip) dengan ekspresi interioritasku.; (4) Aku menarik kesimpulan bahwa ekspresi itu disebabkan oleh adanya subjek yang sama dengan egoku; (5) Jadi, Ego (identitas manusia utuh) itu merupakan hasil proyeksi dari olah rasio yang kulakukan.
Dalam Idealisme pasca-Kantian, hilangnya Ego menjadi semakin terlihat. Kant mereduksi Ego sebagai prasyarat a priori yang mengatur pengalaman manusia supaya pengetahuan dapat diperoleh. Dengan kata lain, Ego terutama bukan dipandang sebagai manusia utuh, melainkan sebagai prasyarat yang memang harus ada di dalam struktur untuk mencapai pengetahuan. Sementara itu, dalam Rasionalisme, Ego diekstremkan menjadi Ego yang melampaui individu; individu konkret merupakan perwujudan diri dari suatu Ego Absolut, (atau oleh Hegel disebut juga Roh Absolut) yang dapat berpikir secara rasional dan objektif. Permasalahan manusia konkret ketika ia berada bersama yang lain dalam dunia sama sekali diabaikan.
Dalam kerangka yang sama, di mana Ego menyendiri dan terarah terutama pada dunia materiil, empirisisme menambah hilangnya Ego dengan menghilangkan konsep Ego yang bertubuh dan terkait dengan dunia material. Bagi David Hume, misalnya, Ego pada dasarnya adalah hasil berbagai kesan, impresi, dan ide. Ego itu dibentuk oleh kesan-kesan atay opini dari luar (kata orang, aku ini A, B, C, dst.) serta dikaitkan dengan benda lain (di sekitarku, di sekitar Ego-ku, terdapat piring, sendok, garpu, dan makanan, yang ketika semuanya terhubung dalam kegiatan makan barulah dapat dikatakan bahwa aku makan). Jadi, aku sendiri tidak pernah memutuskan “siapakah diriku.”
Realitas Kematian
Sementara Martin Heidegger memandang kematian sebagai bagian dari struktur ontologis eksistensi manusia dan tolok ukur autentisitasnya, Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, dengan alasan yang berbeda, melihatnya sebagai faktor yang menciptakan absurditas dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian, Sartre dan Camus menolak tindakan bunuh diri sebagai solusi atas absurditas ini. Terlepas dari berbagai pandangan ini, haruslah diakui bahwa kematian memiliki sejumlah nilai edukatif.
Para filsuf memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai kematian, suatu realitas yang tidak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Berikut ini akan disarikan pandangan Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Perbedaan-perbedaan refleksi filosofis para pemikir ini tidak menghalangi kita untuk dapat mengambil sejumlah nilai edukasi dari realitas kematian.
Pandangan Martin Heidegger
Heidegger memandang kematian sebagai bagian dari struktur ontologis dari eksistensi manusia. Selain itu, kematian menjadi tolok ukur autentisitas manusia. Pemikirannya berangkat dari kenyataan bahwa kematian itu tidak terhindarkan. Ia tertanam sejak awal dalam struktur ontologis dari eksistensi manusia. Maka, eksistensi manusia dapat didefinisikan sebagai Sein-zum-Tode, ada-menuju-kematian. Akan tetapi, dengan itu pula, kematian memungkinkan kehidupan memiliki makna.
Bayangkan bila manusia tidak dapat mati. Hidup tidak akan memiliki pola atau keutuhan, hanya merupakan rangkaian peristiwa tanpa makna seperti halnya kalimat tanpa titik. Sebaliknya, kehidupan akan memiliki makna dan kesatuan apabila ada akhir hidup, sebagai suatu batas yang memberikan perspektif (horizon). Kematian memungkinkan kita melihat kehidupan sebagai keseluruhan (totalitas) yang terbatas dan kita dapat menghayatinya dengan suatu tujuan dan daya kekuatan, dalam bayangan kematian. Di situlah autentisitas manusia sebagai eksistensi terwujud, yaitu ketika manusia dengan dingin dan realistis menghadapi kehidupan yang tak terelakkan dari kematian. Dalam menghidupi kematian, tak ada orang lain yang dapat berpartisipasi, tak ada orang lain yang menggantikan. Manusia menghadapinya dengan tanggung jawabnya sendiri, dalam kesepian yang sempurna dan penuh. Demikianlah, kematian menjadi jalan dan tolak ukur autentisitas manusia.
Dalam pemikiran Heidegger, kematian terkait dengan keotentikan manusia. Manusia dan hewan berbeda, termasuk kematian-kematiannya. Manusia menyadari bahwa kematian manusia adalah kematian yang disadari (bermakna atau tidak). Manusia itu sudah tahu bahwa dia harus mati dan harus menerima kenyataan itu. Oleh karena itu, Heidegger menyatakan bahwa manusia itu mati, sedangkan hewan itu musnah karena hewan tidak dapat menyadari kematiannya. Kematian adalah akhir dari posibilitas, ketidakmungkinan dari kemungkinan-kemungkinan yang kita miliki selama hidup. Namun, kematian itu juga membuat hidup manusia bermakna.
Manusia menjadi otentik dengan menerima dan mengakui kematiannya. Manusia itu sudah tahu bahwa dia harus mati dan harus menerima kenyataan itu. la menjadi sadar bahwa kematian tetap akan ia jalani sendiri tanpa partisipasi orang lain. Saat-saat kematian tidak diketahui sehingga manusia hanya menantikan kematian. Dengan tahu bahwa manusia itu mati, manusia dapat merencanakan hidup agar bermakna (bertujuan baik). Bila tidak ada mati, manusia akan terus maju tanpa makna. Hidup akan bermakna bila ada mati. Dengan kematian, manusia dapat melihat keseluruhan hidupnya, merangkum keseluruhan hidupnya sehingga bermakna. Akan tetapi, harus diakui bahwa bagi manusia yang mati, dunia menjadi tidak enak lagi dihuni karena manusia (mati) tidak bisa lagi mengolah dunia.
Pandangan Jean-Paul Sartre
Sartre melihat kematian sebagai faktor yang menciptakan absurditas dalam kehidupan manusia. Kematian yang sifatnya mendadak dan menimpa siapa pun itu membuat orang merasa frustrasi dan tanpa arti. Kematian menyingkirkan semua makna kehidupan, demikian ungkapan Sartre. Pandangan ini tidak terlepas dengan pemikiran Sartre mengenai eksistensi manusia sebagai being-for-itself. Kematian tidak dapat diintegrasikan ke dalam perencanaan eksistensi manusia. Ia bukan dimensi konstitutif eksistensi manusia. Manusia, dengan kebebasan eksistensial yang dimilikinya, bukanlah pengada yang berjalan menuju kematian, apalagi menantikan atau mengharapkan kematian.
Kematian adalah realitas yang datang dari luar, yang secara radikal mematahkan eksistensi manusia yang terarah kepada dan dalam kebebasan. Walaupun demikian, kematian toh tidak terelakkan. Semua manusia pun dalam kondisi yang sama, yaitu terkutuk untuk mati. Ia adalah faktor eksternal yang menciptakan absurditas dalam kehidupan manusia sebagai being-for-itself (makhluk sadar dan bebas, yang juga berarti tidak sempurna). Meskipun demikian, Sartre menolak bunuh diri sebagai solusi atas absurditas ini. Bunuh diri adalah juga absurditas. Lebih baik hidup di masa sekarang dengan membuat berbagai pengalaman, sejauh itu dimungkinkan oleh kebebasan.
Dalam pemikiran Sartre, kematian adalah sesuatu yang datang dari luar dan memotong eksistensi manusia. Kematian menjadikan kebebasan manusia menjadi tak bermakna (mubazir) sehingga hidup manusia hancur dan tak ada artinya. Kematian adalah fakta yang datang dari luar, tidak melekat secara inheren dalam diri manusia. Kematian adalah sesuatu yang menjadikan hidup manusia di dunia tidak mungkin lagi. Kematian membuat hidup manusia sia-sia. Kematian membuat manusia tidak otentik, memotong manusia sebagai subjek yang bebas. Kebebasan manusia adalah tak terbatas, namun jika mati, hidup menjadi konyol (absurd).
Pandangan Albert Camus
Sebagaimana Sartre, Camus melihat kematian juga sebagai faktor yang menciptakan absurditas dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, ia mengemukakannya dengan alasan yang berbeda. Camus memikirkan mengenai relevansi eksistensi tentang absurditas dan konsekuensi dari absurditas tersebut. Kehidupan itu absurd dan manusia harus menghadapinya secara emosional dan intelektual.
Absurditas hidup manusia paling terlihat saat kita mengkontemplasikan berlalunya waktu. Di satu sisi kita hidup untuk masa depan (membuat rencana-rencana, menatap masa depan di mana rencana-rencana itu akan terwujud), di sisi lain berlalunya waktu juga berarti berlalunya kehidupan kita, dan akhir dari masa depan. Maka, apa yang kita rindukan persis menjadi apa yang kita tolak. Itulah juga fakta atau realitas kematian. Ia membuat kita merasa bahwa tak satu pun dari keinginan kita dan usaha kita mempunyai makna.
Mungkin untuk sementara waktu manusia dapat menyingkirkan kesadaran akan kematian, yaitu dengan menenggelamkan diri dalam anonimitas kehidupan modern. Akan tetapi, pada saatnya, kondisi sebenarnya dari eksistensi akan muncul dengan kejamnya. Kematian akan nampak sebagai alienasi fundamental dari eksistensi manusia. Kalau demikian, apa yang dapat dilakukan? Jawaban Camus adalah: berusahalah sedapat mungkin hidup tanpa pengharapan, tetapi juga tanpa terjatuh ke dalam keputusasaan radikal. Menurutnya, ada kebahagiaan, kegembiraan dan ketenangan dalam menghayati kehidupan dengan kesadaran akan absurditas.
Konsekuensi dari penghayatan akan absurditas adalah sikap berontak (revolt) atau konfrontasi terus menerus antara diri manusia dan kegelapannya. Itulah hal yang memberikan kebebasan dalam hidup, dan akhirnya juga kebahagiaan. Albert Camus menolak bunuh diri sebagai reaksi terhadap absurditas kehidupan. Menyelesaikan masalah ketidakberartian hidup dengan mengarahkan hidup ke masa depan juga merupakan solusi semu. Orang memang tidak dapat mengatasi ketidakberartian, tetapi manusia dapat memperoleh kebahagiaan dalam ketidakberartian, yaitu dengan mengkontemplasikan ketidakberartian tersebut. Ketika kita sadar akan absurditas hidup, kita mencapai suatu kemenangan atas absurditas.
Dalam pemikiran Camus, kematian membuat hidup menjadi absurd. Manusia masuk ke dalam kehidupan yang rutin. Hidup juga menjadi absurd bila manusia mengkontemplasikan berlalunya waktu: di satu sisi, kita memikirkan diri kita sebagai “yang akan menjadi sesuatu” (dengan kata lain hidup untuk masa depan), namun di sisi lain berlalunya waktu juga berarti semakin dekat akhir kehidupan kita. Segala nilai menjadi absurd karena akan berlalu. Kematian merupakan suatu fakta kehidupan, membuat kita merasa bahwa keinginan dan usaha kita tidak memiliki makna.
Tetapi, Camus menolak tindakan bunuh diri—tindakan yang dilakukan ketika seseorang kehilangan makna hidup. Baginya, tindakan tersebut justru mencerminkan kebertundukan manusia pada absurditas kematian. Alih-alih bunuh diri, manusia seharusnya memberontak (revolt) dengan cara menjalani hidup dengan sehabis-habisnya. Sama seperti Sisipus yang menjalani hukumannya, Sartre mengajak kita membayangkan bahwa Sisipus menjalaninya dengan gembira (“one must imagine Sisyphhus happy”). Dengan begitu, kegembiraan Sisipus dapat dikatakan bentuk pemberontakan terhadap hukuman yang dijatuhkan kepadanya, yaitu kehidupan tanpa maknaâsama seperti kita harus memberontak terhadap hidup kita yang absurd karena kematian.
Nilai-nilai Edukatif Kematian
Para filsuf di atas memiliki pemaparan berbeda tentang kematian, tetapi refleksi mereka sama-sama mengantarkan pada “hidup dalam kesadaran akan kematian.” Kita dapat belajar dari kematian bukan pada kematian itu sendiri. Tidak ada yang dapat ‘dipelajari’ atau ‘diketahui’ dari kematian karena kita tidak pernah dapat tahu apa-apa tentang kematian. Pelajaran dapat kita ambil dengan memperhatikan bagaimana manusia menghadapi kematian. Di situlah kita dapat mengambil nilai-nilai edukatif dari kematian. Berikut beberapa pelajaran yang kita dapat dari kematian.
Kesadaran akan kematian mendorong manusia melakukan sesuatu untuk menunda kematian yang tak terelakkan. Kesadaran akan kematian membuat manusia terdorong untuk memperbaiki kondisi hidup, dan membuat kebaikan lebih banyak. Dengan itu, manusia berkembang menciptakan kebudayaan dan peradaban dunia yang lebih manusiawi, kebutuhan pokok manusia tercukupi, serta ditegakkannya keadilan. Manusia berjuang melawan penyakit, ketidakadilan, dan berbagai bentuk alienasi. Manusia membuat struktur-struktur yang menunda ancaman kematian dan yang memungkinkannya hidup lebih manusiawi di dunia ini. Terakhir, manusia terdorong untuk memaknai hidupnya.
Kesadaran akan kematian juga mengharuskan kita untuk mempertanyakan makna pekerjaan manusia di dunia. Barang-barang duniawi nilainya terbatas. Makna fundamental eksistensi manusia tidak dapat merupakan akumulasi dari kekayaan pribadi yang dipergunakan untuk kepentingan pribadi. Pada saat kematian segala sesuatu akan ditinggalkan. Kematian mengajarkan bahwa harta yang dipergunakan untuk kepentingan pribadi semata-mata merupakan kesia-siaan. Sekaligus, memberikan terang bahwa semua barang kebudayaan hanya bermakna jika dipergunakan untuk meningkatkan martabat sesama. Seperti dikatakan Levinas, barang-barang tidak memanifestasikan diri sebagai sesuatu yang harus ditumpuk, tetapi sebagai sesuatu yang harus diberikan.
Kematian mendorong manusia meneruskan hidupnya dengan mempertahankan kesinambungan keturunan, demi diwarisinya nilai-nilai kebudayaan yang dianutnya. Anak atau keturunan adalah manusia yang lebih besar dari karya material kebudayaan apapun. Kematian dengan begitu juga mengajak manusia untuk meneruskan kehidupannya sendiri dan memberikan cinta kasih kepada sang anak. Pada anak harus dinyalakan kepribadian dan cinta kasih, melalui kata-kata yang diucapkan dan melalui cinta kasih yang diberikan.
Kematian mengajarkan tentang keterbatasan manusia. Manusia sadar bahwa kehidupan adalah pemberian dari “Yang Lain.” Manusia dapat merealisasikan eksistensinya, namun juga harus sadar bahwa eksistensinya bersandar pada pemberian “Yang Lain” tersebut. Kematian membuat Anda sadar bahwa manusia terbatas dan bukan dasar dari keseluruhan hidupnya, karena tidak menguasai seluruh kehidupannya. Pengakuan keterbatasan manusia adalah tanda bahwa ada sesuatu yang lain yang menjadi dasar fundamental. Maka, ada implikasi psikologis untuk menerima keterbatasannya, manusia harus memilih. Ada optio fundamentalis (pilihan dasar) saat menghadapi kematian, yaitu antara mengakui kemandirianku di atas yang lain atau mengakui keterbatasan (tergantung pada yang lain yang memberi hidup). Saat hidup, orang bisa mengatakan bahwa ia mandiri, namun saat mendekati kematian, orang mau tak mau mengakui bahwa ia tergantung pada yang lain.
Kematian menisbikan segala peran dan status sosial manusia. Kematian mengajarkan kesamaan absolut semua manusia, karena semua akan mengalami pengalaman maut yang sama. Semua akan kembali menjadi debu. Di hadapan kematian, semua manusia sama-sama miskin. Di sini kematian mengajarkan bahwa peran sosial adalah pelayanan untuk meningkatkan martabat yang lain dan untuk mengembangkan kebersamaan.
Kematian mengalahkan egoisme dan kesombongan. Kehendak untuk berkuasa dan keharusan akan dominasi. Kematian mengundang kita untuk bersikap toleran dalam berhadapan dengan yang lain, memberi tempat pada yang lain, karena tidak ada yang mutlak dalam komunitas manusia.
Kematian memberikan kepada manusia suatu makna totalitas. Ini bukan berarti bahwa kematian merupakan bab terakhir sebuah buku yang telah selesai. Kematian mematahkan dan mengancam, maka pada dirinya ia bukan pemenuhan atau totalitas. Akan tetapi, kematian memberikan makna totalitas karena: (1) sebagai horizon kesadaran manusia, ia memungkinkan manusia melihat seluruh hidupnya secara keseluruhan, dan (2) sebagai akhir dari segala kemungkinan, kematian menghambat kita untuk mengubah makna hidup dan perjalanan hidup kita. Dengan kematian, segala kemungkinan habis (tak lagi ada, kebebasan menjadi tidak berdaya untuk mengubah orientasi atau realisasi eksistensi). Akhirnya, dengan kematian, manusia bisa melihat hidupnya sebagai suatu totalitas; suatu kalimat yang punya titik, punya akhir, dan dengan demikian punya makna.
[//]: # Sartre memang memandang kematian sebagai absurditas karena kematian mematahkan semua usaha eksistensial manusia untuk membentuk dirinya. Namun baginya, bunuh diri adalah sebuah tindakan yang lebih absurd lagi: dengan tindakan itu, manusia justru mengalah pada kematian. Dengan kebebasannya sendiri, manusia melalui tindakan bunuh diri malahan menghancurkan semua rencana eksistensinyaâsuatu hal yang jauh lebih absurd daripada kematian. Menurut Sartre, manusia harus mengisi waktunya dengan terus berproses untuk menjadi dirinya sendiri, sama seperti dalam mitos Tantalus.
Bahan-bahan Rujukan
- Louis Leahy. Siapakah Manusia?: Sintesis Filosofis tentang Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
- M. Sastrapratedja, SJ. Filsafat Manusia. Jakarta: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila STF Driyarkara, 2010.
- Tjaya, Thomas Hidya. Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain, Jakarta: KPG, 2018.