Filsafat Ketuhanan
Filsafat ketuhanan adalah pemikiran filosofis tentang Tuhan. Sebagaimana filsafat sebagai ilmu, di dalam Filsafat Ketuhanan manusia memastikan, menata dan mengembangkan pengetahuannya berkaitan dengan “Tuhan” secara objektif dan sistematik, bukan dari sudut-sudut tertentu, melainkan secara mendasar. Dengan menyingsingnya masa Pencerahan (Aufklarung), filsafat menjadi kritis terhadap agama, bahkan kemudian setelah tahap ateisme, para filsuf diam-diam sepakat bahwa filsafat tidak dapat berbicara tentang Tuhan. Di pihak lain, orang beragama pun kelihatan menolak pemikiran rasional tentang Tuhan, menganggapnya sebagai tidak bermanfaat. Namun demikian, orang yang percaya kepada Tuhan sesungguhnya ditantang untuk mempertanggungjawabkan keyakinannya akan Tuhan secara rasional, karena kepercayaan akan Tuhan baginya adalah kebenaran yang menjadi dasar seluruh hidupnya. Di situlah filsafat Ketuhanan tetap relevan, yaitu sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban. Berikut akan diuraikan dua tema penting terkait dengan usaha rasional tersebut, yaitu berkenaan dengan suara hati sebagai petunjuk akan adanya Allah dan kajian mengenai ateisme modern.
Suara Hati Sebagai Petunjuk Adanya Allah
Kenyataan bahwa manusia memiliki kesadaran moral, atau dengan kata lain memiliki suara hati, sering dikatakan merupakan petunjuk paling kuat akan adanya Allah. Jelaskanlah anggapan itu!
Kenyataan bahwa manusia memiliki kesadaran moral, dengan kata lain suara hati, sering dikatakan sebagai petunjuk paling kuat akan adanya Allah. Suara hati (conscience) merupakan tempat manusia bersentuhan dengan realitas ilahi, demikian kata John Henry Newman (1801-1890). Menurutnya, dalam suara hati kita menyadari bahwa kita berkewajiban mutlak untuk melakukan yang baik dan yang benar dan, dan juga sebaliknya, yaitu menolak yang tidak baik dan tidak benar. Suara hati bagaikan panggilan dari suatu realitas personal yang berkuasa atas diri kita yang kalau kita mengikutinya akan membuat kita merasa bernilai, aman dan sedia untuk menyerah. Sebelumnya, Immanuel Kant telah menyatakan bahwa kesadaran moral manusia (kewajiban untuk melakukan yang baik dan benar) hanya dapat dimengerti dengan pengandaian (postulat) akan adanya Allah. Kesadaran moral merupakan tempat paling utama manusia bertemu dengan dasar eksistensinya, yaitu Allah. Franz Magnis-Suseno memberikan uraian singkat bagaimana kesadaran moral manusia menunjuk pada Allah sebagai berikut:
- Manusia itu berkesadaran moral (mempunyai suara hati).
- Dalam kesadaran moral, manusia sadar bahwa ia mutlak wajib untuk memilih yang benar.
- Kesadaran itu berakar dalam hati nurani, yaitu dalam kesadaran di dasar hati kita bahwa kita wajib secara mutlak untuk memilih yang baik, jujur, adil dan menolak yang sebaliknya.
- Kesadaran akan kewajiban mutlak ini tidak berasal dari dunia luar dan juga tidak dari diri kita sendiri.
- Melainkan, kesadaran itu kita sadari langsung sebagai jawaban terhadap suatu tuntutan dari sebuah realitas yang kita hadapi, yang dari padanya kita tidak dapat lari, di mana sikap kita terhadapnya menentukan mutu kita sebagai manusia.
- Realitas itu bersifat mutlak, personal dan suci dan itulah yang kita sebut Allah.
Hubungan Suara Hati dan Kesadaran Moral
Kesadaran moral merupakan kesadaran bahwa perbuatan kita bisa bernilai baik atau buruk. Yang menjadi acuan dalam penilaian ini adalah martabat kita sebagai manusia. Kualitas kita sebagai manusia tergantung dari apakah kita memilih yang baik atau yang buruk itu. Suara hati adalah kesadaran moral dalam situasi konkret. Dikatakan konkret karena kesadaran itu mengajak kita pada situasi tertentu untuk memilih antara melalukan yang benar atau yang tidak benar, sekaligus mengetahui bahwa kita tidak boleh melakukan yang tidak benar. Ada tiga sifat yang biasa dibawa oleh suara hati:
- Mutlak: ia muncul dan berlaku tanpa tergantung pada perasaan senang-tidak senang, untung-rugi, dsb.
- Universal: ia muncul dan membawa keyakinan pada setiap orang bahwa “orang lain seharusnya juga berbuat yang sama seperti yang aku lakukan dalam situasi konkret.
- Rasional: kemunculannya dapat dipertanggungjawabkan.
Suara hati itu berkaitan dengan hati nurani. Keterkaitan itu dapat dijelaskan sebagai berikut: suara hati sesungguhnya masih dapat keliru ketika suatu pertimbangan moral yang baru muncul dan membuat kita mempertanyakan atau meragukan apa yang sebelumnya kita pandang sebagai kewajiban moral. Dalam situasi tersebut, nalar akan ikut digunakan untuk membantu kita menimbang-nimbang, namun kita juga harus mengakui bahwa nalar kita juga bisa keliru. Akan tetapi, pada situasi konkret di dalam lubuk hati kita tetap ada dorongan untuk terarah pada pilihan yang baik, jujur, dan adil daripada memilih yang jahat, tidak jujur, tidak adil, dst. Dorongan pada keterarahan itulah yang disebut sebagai hati nurani. Suara hati, sebagai kesadaran moral dalam situasi konkret, berakar pada hati nurani itu.
Suara Hati sebagai Petunjuk Paling Kuat Akan Adanya Allah
Hati nurani selalu mendorong kita untuk secara mutlak selalu memilih yang baik dan benar, serta menolak yang berlawanan darinya. Persoalannya adalah dari mana dorongan yang mutlak itu berasal? Dorongan itu tidak mungkin berasal dari realitas di luar diri manusia (alam, orang lain, masyarakat) karena tuntutan apa pun dari luar selalu dapat dipertanyakan oleh suara hati, apakah memang sesuai atau tidak dengan hati nurani. Sejauh tidak bertentangan dengan hati nurani, barulah tuntutan itu kemudian dapat kita ikuti. Dengan kata lain, dorongan atau tuntutan itu selalu sudah kalah terhadap suara hati. Dorongan itu juga tidak mungkin berasal dari diri manusia sendiri karena jika manusia dapat mewajibkan diri, ia juga dapat mencabut kewajiban itu. Padahal, tuntutan atau dorongan moral itu bersifat mutlak dan pasti. Ketika tuntutan atau dorongan moral itu muncul, kita langsung berhadapan dengan tuntutan mutlak itu.
Kita sering ingin menghindar, tetapi langsung sadar bahwa kita salah dan tak bisa lepas. Kita tidak dapat menghindar darinya. Suara hati kita sadari sebagai suara yang tidak dapat kita cabut begitu saja, tetapi langsung kita hadapi tanpa dapat kita hindari, seakan-akan tuntutan itu tidak peduli apakah kita senang dengannya atau tidak. Oleh karena itu, tuntutan mutlak ini membawa indikasi bahwa suara itu dari luar diri kita, bahkan dari luar lingkungan kita, dari luar dunia. Suara itu transenden. Suara itu mutlak karena melampaui segalanya dan tak dapat diguncangkan oleh segala apa pun. Dalam suara hati, kita berhadapan dengan realitas transenden.
Ateisme Modern
Salah satu teori tentang Ateisme modern ditemukan dalam pandangan L.A. Feuerbach (1804-1872) tentang agama sebagai proyeksi. Bertolak dari ajaran Feuerbach ini, Karl Marx (1818-1883) mengajarkan agama sebagai opium masyarakat. Kedua pandangan ini pantas dievaluasi.
Pandangan L.A. Feuerbach
Salah satu teori tentang Ateisme modern ditemukan dalam pandangan L.A. Feuerbach (1804-1872) tentang agama sebagai proyeksi. Pandangan ini disebut teori ateisme modern karena merupakan teori yang menyangkal keberadaan Allah dalam argumentasi yang rasional, artinya memiliki pendasaran yang ilmiah.
Bagaimana pandangan ini diuraikan akan kita mulai dengan kritik Feuerbach terhadap Filsafat Hegel. Feuerbach mengkritik Hegel yang memberi kesan seakan-akan yang nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan), sedangkan manusia (yang kelihatan) hanyalah wayangnya. Padahal, yang nyata tak terbantahkan justru manusia yang kelihatan. Sehingga, bukan manusia itu pikiran Allah, melainkan Allah adalah pikiran manusia. Menurut Feuerbach, filsafat Hegel justru menunjukkan kemenangan agama atas rasionalitas.
Kritik Feuerbach atas Hegel di atas mengandaikan bahwa pengalaman inderawi manusia lah realitas yang tak terbantahkan, dan bukan pikiran spekulatifnya. Realitas manusia inderawi adalah kepastian yang tidak dapat dibantah karena langsung menyatakan diri. Dengan dasar itu, mengenai Allah, bukanlah Allah yang menciptakan manusia, melainkan sebaliknya Allah adalah ciptaan angan-angan manusia. Maka, agama hanyalah sebuah proyeksi manusia: Allah, malaikat, surga, neraka, tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya merupakan gambar-gambar yang dibentuk manusia tentang dirinya sendiri, sebagai angan-angan manusia tentang hakikatnya sendiri. Hanya, manusia kemudian lupa bahwa angan-angan tersebut adalah hasil ciptaannya sendiri.
Agama adalah penyembahan manusia terhadap hasil ciptaannya sendiri, tanpa manusia menyadarinya. Yang sebenarnya hanyalah angan-angan lalu dianggap memiliki eksistensinya sendiri sehingga manusia takut kepadanya dan menghormatinya sebagai Allah. Dengan demikian, manusia manusia menyatakan keseganannya terhadap hakikatnya sendiri. Di sinilah agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Menurut Feuerbach, hakikat ilahi bukan lain adalah hakikat manusia, atau lebih tepat, hakikat manusia yang dipisahkan dari batas-batas manusia individual yang nyata dan jasmani, yang lalu diobjektifkan (artinya dipandang dan dipuja sebagai makhluk lain yang berbeda dari padanya).
Bagi Feuerbach, sebenarnya agama mempunyai nilai positif karena merupakan proyeksi hakikat manusia. Dalam agama, manusia dapat melihat dia yang kuasa, kreatif, baik, berbelas kasihan, dapat saling menyelamatkan, dsb. Celakanya, manusia lupa bahwa proyeksi itu adalah dirinya sendiri, menganggapnya memiliki eksistensinya sendiri, bahkan jauh lebih hebat (mahakuasa, mahabaik, maha-adil, mahatahu) sehingga manusia takut dan menyembahnya. Di situlah manusia menjadi lumpuh. Bukan merealisasikan hakikatnya, manusia menjadi pasif, mengharapkan berkah dari padanya, berdoa kepadanya. Agama dengan demikian mengasingkan manusia.
Pandangan Karl Marx
Bertolak dari ajaran Feuerbach, Karl Marx (1818-1883) mengajarkan agama sebagai opium rakyat jelata atau “candu masyarakat.” Ajaran ini sering diartikan seakan-akan Marx menuduh agama menyesatkan dan menipu rakyat, bahkan lebih lanjut agama sebagai ciptaan kelas-kelas atas untuk menenangkan rakyat tertindas. Akan tetapi, ucapan Marx ini sebenarnya untuk menanggapi kritik agama Feuerbach. Marx setuju dengan kritik Feuerbach, tetapi menurutnya Feuerbach berhenti di tengah jalan. Benar bahwa agama adalah angan-angan manusia, tetapi Feuerbach tidak bertanya mengapa manusia melarikan diri ke khayalan daripada mewujudkan diri dalam kehidupan nyata. Jawaban Marx adalah karena kehidupan nyata, yaitu struktur kekuasaan dalam masyarakat, tidak mengizinkan manusia untuk mewujudkan kekayaan mereka. Manusia melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata menindasnya. Jadi, agama sebenarnya merupakan protes manusia terhadap keadaannya yang terhina dan tertindas.
The foundation of irreligious criticism is: Man makes religion, religion does not make man. Religion is, indeed, the self-consciousness and self-esteem of man who has either not yet won through to himself, or has already lost himself again. But man is no abstract being squatting outside the world. Man is the world of man—state, society. This state and this society produce religion, which is an inverted consciousness of the world, because they are an inverted world. Religion is the general theory of this world, its encyclopaedic compendium, its logic in popular form, its spiritual point d’honneur, its enthusiasm, its moral sanction, its solemn complement, and its universal basis of consolation and justification. It is the fantastic realization of the human essence since the human essence has not acquired any true reality. The struggle against religion is, therefore, indirectly the struggle against that world whose spiritual aroma is religion.
Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people.
The abolition of religion as the illusory happiness of the people is the demand for their real happiness. To call on them to give up their illusions about their condition is to call on them to give up a condition that requires illusions. The criticism of religion is, therefore, in embryo, the criticism of that vale of tears of which religion is the halo.
Source: Marx, K. 1976. “Introduction to A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right.” In Marx/Engels Collected Works (MECW), v. 3. New York.
Karena agama adalah ilusi manusia tentang keadaannya, maka kritik tidak boleh berhenti pada agama, melainkan harus diarahkan pada keadaan sosial-politik yang mendorong manusia ke dalam agama. Kesimpulan Marx, “Kritik surga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik.” Yang dibutuhkan bukan kritik agama, melainkan revolusi. Agama akan menghilang dengan sendirinya apabila manusia dapat membangun dunia yang memungkinkan manusia mengembangkan hakikatnya secara nyata dan positif.
Evaluasi
Kritikan atas Feuerbach
Apakah benar bahwa agama tidak lebih dari proyeksi manusia? Memang harus diakui, bahwa dalam agama-agama ditemukan unsur-unsur yang mencerminkan cita-cita, prasangka, dan emosi manusia. Banyak hal dipercayai dan dilakukan atas nama agama tetapi sebenarnya tidak ditemukan dalam wahyu asli agama yang bersangkutan karena merupakan interpretasi yang miring atau tambahan kontekstual kemudian. Juga adanya institusionalitas dalam agama-agama yang terjadi di kemudian hari. Semua itu merupakan unsur manusiawi yang merupakan proyeksi manusia. Masalahnya, apakah agama melulu proyeksi manusia? Pertanyaan ini tidak terjawab dan terbuktikan melalui argumentasi Feuerbach. Bahwa agama-agama mengandung proyeksi manusia tidak membuktikan (atau berarti) bahwa agama tidak lebih dari sekadar proyeksi. Bagaimana kebenaran mengenai agama pada dirinya sendiri, apakah Allah itu ada atau tidak, ternyata tidak masuk atau tidak tersentuh dalam kritik agama Feuerbach.
Lebih dari hal di atas, pengakuan Allah sebagai proyeksi manusia (bahwa Allah Mahakuasa, Mahabaik, dst., adalah proyeksi dari manusia yang berkuasa, yang baik, dst.), menyisakan pertanyaan dari mana manusia mendapat subjek atau pembawa sifat-sifat terasing “ke-maha-an” atau “ketakberhinggaan” Allah yang tidak ada pada diri manusia tersebut. Dalam lingkup pengalaman kita, tidak ada yang tak berhingga, tidak ada yang maha-baik, maha-kuasa, atau pun maha bijaksana. Jadi tidak mungkin bahwa unsur ke-maha-an atau ketakberhinggaan tersebut merupakan proyeksi hakikat manusia. Tindakan manusia merentangkan hati dan pikiran ke arah Yang Tak Berhingga hanya mungkin kalau manusia mempunyai suatu pengalaman yang sungguh-sungguh tentang Yang Tak Berhingga tersebut. Allah dapat dipikirkan hanya jika kita secara nyata tersentuh oleh realitas-Nya.
Kalau ternyata Allah itu ada, kritik Feuerbach bahwa agama mengasingkan manusia justru bermasalah. Kalau Allah Pencipta segala yang ada di dunia itu ada, maka menghormati dan menyembah Allah tentu tidak mungkin menjauhkan manusia dari dirinya sendiri. Karena diri manusia sendiri berdasar pada Allah, maka ia justru akan menemukan diri apabila ia menemukan Allah. Maka, kalau ada Allah, beragama adalah sikap manusia yang paling tepat, paling masuk akal dan paling akan membantu manusia dalam merealisasikan hakikatnya sebagai manusia.
Kritikan atas Karl Marx
Kritik agama Marx merupakan tantangan bagi agama-agama, tetapi yang khas adalah bahwa baginya agama menunjuk pada ketidakberesan keadaan dalam masyarakat. Kritik Marxisme bahwa agama melumpuhkan perlawanan kelas-kelas tertindas sehingga menguntungkan kelas-kelas atas juga perlu ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Tidak jarang agama menjadi sekutu para penghisap dan penindas. Akan tetapi, ada dua pertanyaan terkait dengan kritik Karl Marx sendiri:
Benarkah agama pada hakikatnya merupakan pelarian? Dalam kenyataan, profil orang beragama yang otentik menunjukkan bahwa pencarian akan Allah bukan hanya tidak mengasingkan manusia, tetapi justru mengembangkan identitas dan hakikat dirinya yang positif.
Benarkah agar dapat mengembangkan diri sebagai makhluk sosial dan politik manusia harus berhenti tunduk terhadap Allah? Dalam praksisnya, agama justru sering kali mendorong para penganutnya untuk membangun masyarakat yang mengayomi mereka yang miskin dan lemah, sehingga tercipta masyarakat yang positif, damai, saling menghormati, melawan ketidakadilan, dan juga penindasan terhadap mereka yang tidak berdaya.
Pada akhirnya, pola kritik agama Feuerbach dan Marx menunjukkan apa yang disebut sebagai reduksionalisme. Mereka mereduksi atau mengembalikan sebuah fenomena A (dalam hal ini, hal percaya pada Allah) pada suatu realitas B (dalam hal ini, soal realisasi diri). Jadi yang dicari kebenarannya bukan gagasan pengakuan akan Allah, tetapi apa-apa yang disangkakan ada di balik atau di belakang gagasan mengenai pengakuan akan Allah tersebut. Kebenaran tentang ada atau tidaknya Allah pun sebenarnya tidak tersentuh dengan pola kritik yang demikian.
Pokok-pokok Lain
Apa yang dimaksud dengan ateisme modern?
Ateisme adalah pandangan yang menolak adanya Tuhan. Ia bukan saja tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, melainkan percaya bahwa Tuhan tidak ada. Dengan argumen-argumennya, paham ini menegasi adanya Tuhan. Ateisme modern dibedakan dengan ateisme lainnya atas dasar argumennya: ia tidak mendasarkan pandangannya pada pernyataan bahwa Tuhan hanyalah objek kepercayaan takhayul, melainkan mengasalkannya pada kesadaran manusia.
Namun demikian, harus diakui pula bahwa tak jarang umat beragama juga bertanggung jawab atas timbulnya ateisme. Sebab, “hanya di mana Tuhan diwartakan dan dipercaya secara begitu radikal, maka di situ Dia bisa juga dinegasi secara radikal.” (Gerhard Ebeling) . Berdasarkan cara penghayatannya, ateisme modern dapat dibagi ke dalam 2 kelompok:
- Ateisme Praktis: Pandangan ini merupakan sikap hidup indiferen dan tidak menghiraukan hal-hal religius. Seorang ateis praktis barangkali memang percaya sungguh pada Tuhan dan tidak mempersoalkan keberadaan-Nya, namun dalam praktik hidupnya ia melakukan segala sesuatu seolah-olah tidak ada Tuhan.
- Ateisme Teoretis: Pandangan ini secara terang-terangan dan lugas menyangkal adanya Tuhan dan berusaha juga mempertanggungjawabkan keyakinannya dengan mengajukan argumentasi-argumentasi.
Berdasarkan argumentasinya, Ateisme Teoretis dapat dibagi lagi ke dalam 4 kelompok:
- Ateisme Humanistik: Kelompok ini memandang adanya Tuhan sebagai ancaman dan penindasan terhadap manusia. Oleh karena itu, demi kemanusiaannya, manusia harus menolak adanya Tuhan. Contoh: Nietzsche, Sartre.
- Ateisme Sosial-Politis: Kelompok ini menganggap iman kepada Tuhan hanyalah dampak dari ketidakberesan dalam masyarakat. Tuhan lalu dipandang sebagai gejala yang menunjuk pada suatu ‘penyakit dalam masyarakat. Oleh karena itu, agar orang mau menghadapi penyakitnya dan menyembuhkannya, Tuhan harus ditolak. Contoh: Marx.
- Ateisme Penderitaan: Kelompok ini menolak adanya Tuhan dengan bertitik tolak pada fakta bahwa manusia mengalami penderitaan di dunia ini. Contoh: Hume.
- Ateisme Saintifik: Kelompok ini berpendapat bahwa kepercayaan kepada Tuhan tidak dapat didamaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sains dan teknologi.
Jelaskan pandangan Feuerbach tentang agama sebagai proyeksi!
Alam material adalah kenyataan terakhir, demikian pandangan Feuerbach. Manusia menjadi sadar diri dengan membedakan dirinya dari dasar terakhir itu. Hal itu berarti bahwa selain mampu membedakan dirinya dari Alam, manusia juga mampu merefleksikan hakikatnya sendiri, yaitu rasio, kehendak, dan perasaan. Rasio, kehendak, dan perasaan ini dapat idealisasikan sampai tak terhingga, sehingga menjadi sesuatu yang disebut “Allah.”
Dalam agama Kristen, idealisasi itu jelas: Allah dipahami sebagai Yang Mahatahu (rasio sempurna), Yang Mahabaik (kehendak sempurna), dan Kasih (hati sempurna). Apa yang disebut sebagai hakikat Allah tidak lain daripada hakikat manusia yang sudah dibersihkan dari macam-macam keterbatasan atau ciri individualnya, lalu dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia. Dengan mengasalkan hakikat Allah pada hakikat manusia, Feuerbach memandang teologi tak lain daripada antropologi belaka.
Dalam hal inilah ta menyatakan bahwa Tuhan adalah proyeksi, yaitu bahwa Allah tak lain daripada hakikat manusia yang diabsolutkan dan diobjektifkan. Proyeksi ini terjadi karena manusia membenturkan hakikat yang diidealkannya dengan fakta bahwa diri mereka serba terbatas. Hasil proyeksinya itu lalu dipandang sebagai sebuah kenyataan otonom yang berdiri di luar dirinya, dan memandang entitas otonom tersebut memandang manusia sebagai objeknya. Akhirnya, mereka meletakkan dirinya lebih hina dari hasil proyeksinya sendiri.
Feuerbach mengkritik semua proses ini yang membuat manusia justru terasing dari dirinya sendiri: ia tidak lagi mengenali bahwa Allah yang diagungkannya itu tak lain dari hakikat idealnya sendiri. Walaupun sebagai individu terbatas, Feuerbach berpendapat bahwa manusia sebagai keseluruhan umat manusia (Gattung) adalah hebat dan tak terbatas. Oleh karena itu, Tuhan harus dicoret agar manusia terlepas dari alienasinya dan kembali berusaha merengkuh hakikat yang diidealkannya.
Akhirnya, manusia harus menolak kepercayaan pada Allah yang mahakuasa, mahabaik, maha-adil, dan mahatahu, agar ia sendiri bisa kuat, baik, adil, dan berpengetahuan (Homo homini Deus).
Ambivalensi agama menurut Feuerbach:
- Aspek Positif: Manusia mengenali dirinya yang ideal melalui pengenalan akan Tuhan.
- Aspek Negatif: Manusia teralienasi dari sifat-sifatnya yang di-idealkan.
Bagaimana pendapat Marx tentang pemikiran Feuerbach?
Pada dasarnya Marx setuju atas pandangan Feuerbach bahwa manusia mengasingkan diri dalam agama. Persoalan Tuhan sudah diatasi Feuerbach dengan semboyannya “homo homini Deus.” Namun demikian, Marx berpendapat bahwa Feuerbach masih terlalu abstrak Manusia yang dipersoalkan Feuerbach yaitu Gattung–adalah suatu entitas yang sama sekali tidak konkret. Menurut Marx, itu hanyalah mengganti nama pada entitas yang sama: dari yang semula bernama “Tuhan,” Feuerbach menggantikannya dengan nama “Gattung.” Itulah sebabnya, Marx menyebut Feuerbach sebagai seorang “ateis saleh.” Marx lalu menuntut supaya manusia dipandang sebagai sebuah realitas konkret. Pertanyaan mendasar yang diajukan Marx adalah mengapa manusia mengasingkan dirinya dalam agama?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu diingat kembali sistem filsafat Marx yang dikenal dengan nama “materialisme sejarah.” Dalam sistem tersebut, Marx membagi realitas masyarakat ke dalam dua bagian: (1) basis atau suprastruktur, yaitu kegiatan ekonomi; serta (2) bangunan atas atau superstruktur, yaitu hukum, politik, ideologi, filsafat, seni, agama. Menurut Marx, basis menentukan bangunan atas. Atas dasar sistem ini, maka Marx memandang agama sebagai sebuah gejala sosial dengan sifat-sifat berikut: Di satu sisi, agama merupakan tanda adanya ketidakberesan sosial di tengah masyarakat. Di sisi lain, agama meninabobokkan masyarakat sehingga mereka lari dari masalah sosial yang mereka miliki.
Evaluasi atas pandangan Feuerbach
Pandangan Feuerbach memiliki keunggulan dari banyaknya contoh kasus. Dalam kenyataan, memang bukan hal yang baru bahwa orang beragama, khususnya para pemimpinnya, mengklaim berbuat ini-itu atau memerintahkan para pengikutnya untuk melakukan sesuatu atas nama Tuhan, padahal sebenarnya semua itu merupakan pantulan dari kehendaknya sendiri (misal: untuk berkuasa, untuk mendominasi, hidden needs).
Tetapi, pemikiran Feuerbach tentang Homo Homini Deus dan Gattung dapat dipertanyakan secara radikal: Manusia manakah bisa berfungsi sebagai “Allah” bagi manusia lain? Manakah ukuran bagi manusia? Lagipula, perjalanan sejarah umat manusia justru menunjukkan yang sebaliknya: bukankah manusia masa depan idaman Feuerbach malahan terbukti menjadi monster bagi sesamanya (contoh: Perang Dunia I dan 2, Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki)?
Kekeliruan antara fungsi dengan hakikat Teori Proyeksi yang diajukan Feuerbach memang menjelaskan bagaimana fungsi agama bagi manusia. Akan tetapi, teori tersebut justru tidak menyentuh pertanyaan mendasar mengenai hakikat agama, yaitu Tuhan yang disembah dalam agama itu. Justru karena yang dibicarakan adalah fungsi agama, maka ateisme yang diajukan Feuerbach ini sama sekali tidak menyentuh pertanyaan dasariah mengenai apakah Allah itu pada dirinya sendiri ada atau tidak.
Menurut Feuerbach, proyeksi dilakukan karena hakikat ideal manusia terbentur pada keterbatasannya. Pertanyaannya: dari manakah manusia memperoleh konsep kesempurnaan yang tercermin dalam kata “maha-” yang dialamatkannya pada Tuhan itu? Kalau manusia sanggup mengenal Tuhan sebagai “Yang Maha-“, padahal ia sendiri sama sekali tidak mempunyai pengalaman inderawi tentang-Nya, maka nyatalah bahwa argumentasi Feuerbach yang mau mengembalikan gejala agama pada soal psikologis dan inderawi melulu memuat kontradiksi dalam dirinya sendiri.
Evaluasi atas pandangan Marx
Pemikiran Marx mengenai penyalahgunaan agama Marx dapat didukung. Memang benar bahwa agama dapat disalahgunakan. Alih-alih menghadapi persoalannya di dunia, sering kali manusia justru lari kepada agama. Pandangan naif mengenai nasib, misalnya, dapat digolongkan ke dalam penyalahgunaan ini.
Kritik Marx mendorong agama untuk berkontribusi secara nyata dalam kehidupan manusia. Kritik Marx bahwa agama adalah candu pada dasarnya merupakan reaksi atas cara keberagamaan sebagian umat yang seolah cuci tangan atas masalah dunia ini. Dengan beramal, misalnya, seorang koruptor lalu merasa sudah membersihkan dirinya dan akan kembali melakukan kejahatan yang sama. Lebih dari itu, agama seharusnya juga terlibat dalam kehidupan sosial.
Fungsi dan hakikat dari Basis atau Bangunan Atas dalam pemikiran Marx Keliru. Pada kenyataannya bisa ada relasi yang timbal balik.
Bahan Rujukan
- Franz Magnis-Suseno. Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
- S.P. Lili Tjahjadi. “Ateisme Modern.” Disampaikan sebagai salah satu materi mata kuliah Sejarah Pemikiran Modern di STF Driyarkara. (Sebagai Pembanding)