Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan. ‘Epistemologi’ berasal dari kata episteme (pengetahuan) dan logos (perkataan, pikiran, ilmu). Gejala pengetahuan merupakan salah satu objek kajian yang terus menyibukkan filsafat. Berikut uraian tema-tema penting dalam epistemologi, yaitu (1) bagaimana mempertanggung jawabkan klaim kebenaran pengetahuan, atau yang sering disebut sebagai masalah pembenaran (the problem of justification), dan (2) mengenai perbedaan antara Sosiologi Pengetahuan dan Epistemologi Sosial.
Masalah Pembenaran (Justifikasi)
Salah satu pokok bahasan penting dalam Epistemologi adalah tentang bagaimana mempertanggungjawabkan klaim kebenaran pengetahuan atau disebut juga masalah pembenaran (problem of justification). Secara umum, dapat dibedakan adanya empat teori pembenaran (theories of justification), yaitu: Fondasionalisme, Koherentisme, Internalisme dan Eksternalisme.
Pembenaran (justification) yang dimaksudkan di sini bukan “rasionalisasi” (yang bersifat peyoratif), tetapi merupakan upaya pertanggung-jawaban rasional atas klaim kebenaran dari kepercayaan atau pendapat yang dipegang. Upaya ini mengantarkan kita pada empat teori pembenaran (theories of justification).
Fondasionalisme
Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan—agar dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional—perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, yang tak dapat diragukan kebenarannya, dan yang tidak memerlukan koreksi lebih lanjut. Para penganutnya meyakini bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan langsung dan tak diragukan tentang prinsip-prinsip pertama atau proposisi dasar yang jelas pada dirinya. Prinsip-prinsip pertama itu langsung dapat dimengerti dan mencukupi untuk dijadikan dasar bagi bangunan pengetahuan. Menurut mereka, pembenaran pengetahuan itu bersifat hierarkis, dan digambarkan sebagai bangunan gedung bertingkat yang selalu menuntut adanya suatu fondasi yang kokoh untuknya.
Ada dua versi Fondasionalisme, yaitu versi ketat dan versi longgar atau moderat. Versi ketat menuntut suatu fondasi pembenaran pengetahuan yang tidak dapat keliru, tidak dapat diragukan dan tidak dapat dikoreksi, di mana hubungan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan lain berdasarkan suatu implikasi logis atau induksi dari kepercayaan dasar tersebut. Mereka yang termasuk penganut fondasionalisme versi ketat ini adalah: (a) Epistemolog Rasionalis: Descartes, Leibniz dan Spinoza. (b) Epistemolog Empiris: Locke, Berkeley, dan Hume. (c) Epistemolog Logis: Russell, Ayer dan Carnap.
Persoalannya, tuntutan versi ketat ini dalam prakteknya sulit atau bahkan mustahil dapat terpenuhi. Oleh karena itu, muncul fondasionalisme versi longgar yang mengatakan bahwa suatu kepercayaan dapat disebut kepercayaan dasar dan menjadi fondasi pembenaran pengetahuan, kalau secara intrinsik probabilitas atau kementakan kebenarannya tinggi. Jadi, tidak menuntut bahwa suatu kepercayaan dasar haruslah tak dapat keliru, tak dapat diragukan, dan tak memerlukan koreksi kembali, juga bahwa hubungan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan lain tidak perlu dalam bentuk implikasi logis atau induksi penuh.
Pokok yang hendak dikemukakan oleh penganut teori ini adalah harus ada suatu kepercayaan dasar yang dapat dijadikan sebagai fondasi pembenaran, karena tanpa itu akan terjadi penarikan argumen mundur terus-menerus (Infinite regression, ad infinitum). Harus ada titik berhenti pada kepercayaan dasar, yaitu kepercayaan yang kebenarannya sudah jelas dengan sendirinya. Teori pembenaran ini erat kaitannya dengan teori kebenaran korespondensi dan pandangan tentang kenyataan yang disebut realisme.
Ada beberapa persoalan dalam teori pembenaran fondasionalisme: Pertama, untuk fondasionalisme ketat, tuntutan tak dapat keliru, jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan dengan hubungan dalam bentuk implikasi atau induksi penuh hampir mustahil. Kalau tuntutannya demikian, pengetahuan yang benar menjadi hampir tidak ada. Orang menjadi skeptis dengan kenyataan dunia luar, persepsi, kepercayaan berdasarkan ingatan, induksi, dan usaha memperoleh kebenaran lainnya. Sementara itu, fondasionalisme versi moderat kurang memberi dasar yang kuat bagi klaim kebenaran pengetahuan yang kita perlukan. Terlebih lagi, karena cukup banyak memberikan konsensi terhadap kebenaran koherentisme, versi ini menjadi tidak berbeda dengan koherentisme moderat.
Kedua, pembedaan bahkan pemisahan secara tegas antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan bukanlah tanpa kesulitan. Apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar kebenarannya tidak selalu sudah jelas dengan sendirinya pada setiap orang, baik itu berkaitan dengan tingkat probabilitasnya maupun bahwa masyarakat umum telah menganggapnya sebagai kebenaran. Dalam kenyataan, apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar ternyata merupakan penyimpulan dari kepercayaan-kepercayaan yang lain. Seperti kata Wufrid Sellars, apa yang diklaim sebagai sesuatu yang sudah terberikan dalam pengalaman inderawi sebagai tak mungkin keliru adalah mitos belaka.
Ketiga, argumen penarikan mundur terus menerus yang dijadikan alasan harus adanya fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan yang lain bukanlah argumen konklusif. Suatu kepercayaan tidak melulu bersifat hierarkis sehingga harus ada fondasi supaya kepercayaan dapat diterima kebenarannya. Dapat saja suatu kepercayaan terbentuk karena adanya alasan yang saling mendukung antara kepercayaan yang satu dengan kepercayaan yang lain. Inilah yang yang dikemukakan oleh Koherentisme.
Koherentisme
Menurut Koherentisme, semua kepercayaan mempunyai kedudukan epistemik yang sama, sehingga tidak memerlukan pembedaan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan. Suatu kepercayaan sudah dapat dipertanggungjawabkan kalau kepercayaan itu koheren atau konsisten dengan seluruh sistem kepercayaan yang selama ini diterima kebenarannya. Gambaran dasar dari teori pembenaran ini adalah sebuah sistem jaringan yang terbuat dan memperoleh kekuatannya dari pelbagai kepercayaan yang saling mendukung. Suatu sistem jaringan kepercayaan dapat dibenarkan, jika komponen kepercayaan yang membentuknya koheren dan konsisten satu sama lain sebagai suatu pengertian yang holistik. Teori pembenaran ini erat kaitannya dengan teori kebenaran koheren atau teori keteguhan dan pandangan tentang kenyataan yang disebut idealisme. Para filsuf yang memegang teori pembenaran ini adalah Hegel, Bradley (modern); Wilfrid Sellars, W. V. Quine dan Laurence Bonjour (kontemporer).
Koherentisme juga dapat dibedakan menjadi koherentisme ketat dan moderat. Sebagai syarat agar suatu sistem jaringan kepercayaan dianggap koheren, koherentisme ketat menuntut komponen kepercayan yang membentuk sistem jaringan kepercayaan harus konsisten satu sama lain, dan secara logis saling mengimplikasikan. Sedangkan koherentisme moderat menuntut konsistensi dari komponen-komponen yang membentuk sistem jaringan kepercayaan, tetapi tidak perlu secara logis harus mengimplikasikan.
Koherentisme juga dibedakan antara yang bersifat linear (yang membentuk suatu lingkaran pembenaran dan yang tampaknya tidak dapat menghindari kesulitan penarikan mundur terus menerus), dan yang bersifat holistik (di mana kepercayaan—yang dipersoalkan dasar pertanggungjawabannya—ditempatkan dalam keseluruhan sistem kepercayaan yang berlaku). Dalam koherentisme holistik, pembenaran penarikan kesimpulan yang menjadi kepercayaan tidak dibenarkan berdasarkan suatu kepercayaan dasar yang sudah pasti tidak dapat keliru, tetapi dibenarkan berdasarkan koherensinya dengan kesimpulan-kesimpulan lain yang ditarik dari pelbagai kejadian yang ada.
Setidaknya ada empat keberatan terhadap teori pembenaran koherentisme: Pertama, argumen isolasi atau alasan untuk berkeberatan terhadap koherentisme karena teori pembenaran ini seperti mengisolasi diri dari kenyataan dunia luar. Pembenaran dalam teori ini pada akhirnya menyangkut perkara relasi antar-proposisi-proposisi dalam sistem yang dipercayai dan tidak ada kaitannya dengan bagaimana proposisi-proposisi tersebut sesungguhnya me.ujuk kenyataan dunia luar atau tidak. Argumen isolasi kadang juga disebut kebneratan berdasarkan kemungkinan adanya sistem tandingan yang sama-sama kolieren secara internal
Kedua, keberatan karena tidak adanya masukan dari dunia luar. Koherentisme melulu terdiri dari serangkaian kepercayaan yang secara internal saling berhubungan dan saling mendukung tetapi tidak mempunyai tolok ukur untuk nienilai seberapa jauh kepercayaan itu merujuk kepada kenyataan sesungguhnya di dunia luar.
Ketiga, keberatan berdasarkan alasan penarikan mundur terus menerus tanpa batas. Menurut koherentisme, setiap kepercayaan tertentu mesti memperoleh pembenaran empirisnya dari koherensinya dengan keseluruhan sistem tersebut. Ini membuatnya tetap jatuh ke dalam kelemahan penarikan mundur terus menerus tanpa batas, mengandalkan apa yang masih perlu dibuktikan kebenarannya.
Keempat, keberatan berkenaan dengan kenyataan bahwa bukan hanya koherensi tidak mencukupi. tetapi bahkan dalam situasi tertentu, suatu kepercayaan dapat dibenarkan tanpa harus koheren dengan kepercaaan-kepercayaan lain sebelumnya yang sudah dianggap benar, Misalnya, setiap revolusi dalam perkembangan pengetahuan selalu memuat unsur penerimaan sebagai benar apa yang sesungguhnya tidak koheren dengan sistema kepercayaan salama ini yang diterima sebagai benar. Keberatan keempat ini mempertanyakan pula keniscayaan perlunya konsistensi sebagai dasar pembenaran. Keberatan ini sering disebut paradoks lotere: “orang pertama yang membeli loetre kemungkinan akan kalah,” tetapi “orang pertama yang membeli lotre kemungkinan juga akan menang.” Bukanlah kedua pernyataan tersebut tidak konsisten, tetapi sama-sama dibenarkan?
Internalisme
Internalisme adalah pandangan bahwa orang selalu dapat menentukan apakah kepercayaan atau pendapat yang ia miliki dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau tidak dengan melakukan introspeksi diri. Para penganut internalisme percaya bahwa manusia, sebagai makhluk rasional, secara prima facie mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan secara rasional apa yang ia percayai. Selanjutnya, karena keharusan untuk memberi pertanggungjawaban rasional diterima kemungkinannya, maka manusia pun memiliki akses ke persyaratan yang menentukan apakah suatu kepercayaan yang la pegang dapat dibenarkan atau tidak.
Internalisme garis keras, seperti pemikiran Platon, yakini bahwa pikiran manusia yang terlatih baik dapat memiliki akses kognitif introspektif yang tidak dapat keliru, misalnya dalam hal intuisi akal budi akan Idea. Demikian juga Descartes meyakini bahwa manusia mempunyai gagasan yang begitu jelas dan terpilah-pilah sehingga tidak mungkin dapat diragukan lagi kebenarannya. Sementara itu, internalisme garis lunak tidak memandang bahwa manusia secara introspektif pasti memiliki akses kognitif yang tidak dapat keliru. Pandangan ini hanya menuntut alasan terbaik yang tersedia untuk suatu pembenaran. Jadi, tidak harus didasari oleh kepercayaan yang harus pasti dan tidak dapat diragukan lagi, tetapi cukuplah bahwa suatu alasan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Ada beberapa persoalan yang dapat diajukan sebagai keberatan terhadap teori Internalisme. Yang sering menjadi persoalan adalah klaimnya bahwa manusia memiliki akses introspektif langsung terhadap sesuatu yang menjamin kebenaran dari suatu kepercayaan atau pendapatnya, apalagi kalau itu dipercaya sebagai tidak dapat keliru. Pertanyaannya, sungguhkah apa yang kita yakini secara pribadi sebagai benar—meskipun kita melihat dengan mata kepala sendiri atau dengan intuisi akal budi yang begitu jelas dan terpilah-pilah—secara objektif selalu benar? Kasus halusinasi, misalnya, dapat membut orang seperti betul-betul melihat sesuatu atau seseorang yang sebenarnya tidak ada di hadapannya.
Eksternalisme
Berlawanan dengan internalisme yang menekankan syarat-syarat psikologis internal dalam subjek sebagai syarat pembenaran pengetahuan, kaum eksternalis lebih menekankan faktor-faktor eksternal, yaitu: (1) dapat diandalkan atau tidaknya proses pemerolehan pengetahuan yang terjadi, (2) berfungsi tidaknya secara normal dan semestinya sarana-sarana wajar kita untuk mengetahui, dan juga (3) bagaimana lingkungan, sejarah, dan konteks sosial mempengaruhi proses pemerolehan pengetahuan. Itu semua menjadi faktor penentu dibenarkan atau tidaknya suatu kepercayaan atau pendapat.
Salah satu bentuk Eksternalisme adalah Reliabilisme, sebagaimana dianut Alvin Goldman. Menurutnya, kepercayaan seseorang bahwa sesuatu adalah P dibenarkan bila kepercayaan itu dihasilkan oleh suatu proses pengetahui yang dapat diandalkan (Reliable Cognitive Process), misalnya oleh penglihatan sendiri dengan daya penglihatan yang normal. Namun, realibilisme ini dikritik oleh Alfin Platinga menganggap bahwa paham ini tidak memadai karena dapat saja suatu proses kognitif sama-sama wajar dan dapat diandalkan, tetapi tetap membawa pada hasil pengetahuan yang berbeda. Sehingga, kewajaran proses kognitif saja tidak cukup menjadi pembenaran pengetahuan. Lagipula, bagaimana kita dapat menentukan proses mana yang wajar, dan apa saja ukurannya?
Karena masalah-masalah itu, Platinga memberikan rumusan yang lebih rinci, yaitu bahwa pembenaran pengetahuan harus berdasarkan: (i) daya-daya kognitif yang berfungsi semestinya sesuai dengan (ii) desain atau rancang bangun daya kognitif tersebut dalam lingkungan yang sesuai, di mana (iii) desain tersebut adalah desain yang baik yang mengarahkan pada kebenaran. Konsep desain Platinga yang mendasari berfungsi dengan semestinya daya-daya kognitif dalam menciptakan organ-organ tubuh manusia dapat diberi tafsiran teistik (rencana ilahi dalam penciptaan), dapat pula dimengerti secara alami. Akan tetapi, Platinga sendiri berpendapat bahwa naturalisme metafisis yang menjelaskan perkembangan kesadaran dan pemikiran manusia hanya secara alami berdasarkan proses evolusi yang aksidental akan tetap gagal menjelaskan soal fungsi semestinya dari daya-daya kognitif manusia. Baginya, epistemologi naturalis seperti itu mengandaikan antropologi supernaturalistik.
Eksternalisme yang dikembangkan oleh Platinga di atas pun tidak lepas dari kritikan: Pertama, adanya desain tidak menjamin bahwa daya-daya kognitif kita akan selalu berfungsi semestinya. Misalnya, penglihatan kita sering mengecoh, penciuman kita tidak setajam penciuman anjing, pendengaran kita tidak mampu menangkap frekuensi suara yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Implikasi dari kenyataan bahwa proses kognitif kita tidak sempurna dapat ditafsirkan sebagai argumen untuk melawan kesempurnaan atau kemahakuasaan Dia yang mendesain keberadaan kita. Lagi pula, teori evolusi tampaknya lebih mudah diterima, yaitu bahwa daya-daya kognitif ini adalah soal penyesuaian dan penyelaran diri non-teleologis demi tetap dapat bertahan hidup, daripada langsung menyimpulkan tentang desain Sang Pencipta.
Kedua, rancang bangun atau desain bukan merupakan syarat mutlak untuk jaminan fungsi yang semestinya. Kalau A dan B sama-sama melihat C, akan sangat aneh dan kontraintuitif kalau lalu dinyatakan bahwa hanya A yang sungguh atau dibenarkan melihat C, hanya karena A memang didesain untuk berfungsi demikian sementara B tidak.
Ketiga, Platinga menolak pandangan internalisme yang menganut deontologisme epistemologis, yaitu paham bahwa kitu memiliki kewajiban epistemologis untuk memperjanggungjawabkan secara rasional klaim kebenaran pengetahuan kita untuk dapat dibenarkan. Padahal, unsur kewajiban ini—yang pertama-tama berarti suatu pembenaran subjektif—sesungguhnya amat relevan bagi diperolehnya pembenaran objektif atas pengetahuan.
Pokok-pokok Lain
Apa yang dimaksud dengan “pembenaran?”
Istilah ‘pembenaran’ dalam bahasa Indonesia dapat mempunyai dua arti. Arti pertama, yang bersifat peyoratif, adalah menganggap benar apa yang sebenarnya salah. Dalam hal ini, ‘pembenaran’ sama dengan rasionalisasi. Arti kedua adalah melakukan pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenaran kepercayaan atau pendapat yang dipegang. Yang digunakan dalam diskursus ini adalah pembenaran dalam arti yang kedua.
Apa yang dimaksud dengan Fondasionalisme?
Fondasionalisme pada dasarnya menyatakan bahwa pertanggungjawaban rasional atas suatu klaim kebenaran harus dilakukan di atas suatu fondasi yang: (1) kokoh yang jelas dengan sendirinya, (2) tidak dapat diragukan kebenarannya, dan (3) tidak memerlukan koreksi lebih lanjut.
Menurut para fondasionalis, pembenaran pengetahuan memiliki struktur hierarkis: beberapa kepercayaan dipahami sebagai sudah jelas dengan sendirinya sehingga tidak memerlukan pembenaran lain—itu disebut kepercayaan dasar; sedangkan kepercayaan-kepercayaan lain hanya bisa dibenarkan berdasarkan kepercayaan dasar tersebut sebagai fondasinya. Hubungan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan bersifat asimetris, karena kepercayaan dasar merupakan dasar pembenaran bagi kepercayaan simpulan. Selain itu, kaum fondasionalisme—terutama fondasionalisme empiris—juga meyakini kepastian kebenaran dari apa yang secara perseptual terberi dalam pengalaman langsung. Alasan pokok bagi para fondasionalis mengapa harus ada suatu kepercayaan dasar adalah untuk menghindari regressio ad absurdum (penarikan kesimpulan tak terhingga). Seandainya itu terjadi, kepercayaan dasar tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, yang lalu berakibat juga pada kepercayaan-kepercayaan simpulan lain yang diturunkan darinya.
Dari sifatnya Fondasionalisme dapat dibagi dua:
-
Fondasionalisme Ketat: Kepercayaan dasar haruslah (1) tak dapat keliru, yaitu apabila ketika dipegang, dan diikuti, kepercayaan tersebut secara niscaya tidak akan membawa pada kekeliruan; (2) tak dapat diragukan, yaitu apabila dipandang mustahil untuk meragukan kebenarannya; serta (3) tak dapat atau tidak perlu dikoreksi, kepercayaan dasar secara niscaya tidak dapat ditemukan alasan yang masuk akal untuk menganggapnya salah ataupun ada pembetulannya. Contoh: Descartes, Leibniz, Hume, Locke, dan Carnap.
-
Fondasionelisme Moderat: Menganggap tuntutan fondastonalisme ketat pada kenyataannya mustahil dipenuhi. Apa yang dalam sejarah filsafat pernah diklaim sebagai kepercayaan yang kebenarannya begitu jelas dengan sendirinya, ternyata dalam perjalanan waktu menjadi terbukti sebaliknya. Oleh karena itu, syarat bagi kepercayaan dasar menurut fondasionalisme moderat cukuplah bahwa kepercayaan tersebut secara intrinsik memiliki probabilitas kebenaran yang tinggi. Relasi antara kepercayaan dasar dan kepercayaan turunan juga tidak perlu dalam bentuk implikasi logis atau induksi penuh. Cukuplah kalau penyimpulan dalam bentuk penjelasan terbaik dapat diberikan berdasarkan kepercayaan dasar.
Kekuatan Fondasionalisme adalah menekankan penjangkaran empiris pada pengalaman sebagai sumber pengetahuan kita tentang dunia ini dan pembenarannya. Ini secara intuitif terasa paling dekat dengan pengertian umum mengenai pertanggung-jawaban kalim kebenaran. Kalau disuruh mempertanggungjawabkan, orang pasti langsung mencari alasan yang masuk akal untuk mendasari klaimnya.
Kelemahan Fondasionalisme adalah hampir mustahil untuk dapat terpenuhi secara ketat. Dalam kenyataan, sulit memisahkan secara tegas antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan. Regressio ad absurdum tidak secara niscaya harus dihindari. Bisa saja ada alasan yang saling mendukung antara kepercayaan yang satu dengan yang lain tanpa harus jatuh ke lingkaran setan.
Apa yang dimaksud dengan Koherentisme?
Berbeda dengan Fondasionalisme, Koherentisme memandang semua kepercayaan itu setara, sehingga tidak perlu ada pembedaan antara kepercayaan dasar dengan kepercayaan simpulan. Suatu kepercayaan itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya kalau ia koheren atau konsisten dengan keseluruhan sistem kepercayaan yang selama ini diterima kebenarannya. Kalau fondasionalisme dapat dianalogikan dengan sebuah rumah bertingkat, koherentisme analog dengan sebuah jaring di mana setiap kepercayaan saling mendukung satu sama lain. Yang menjadi sasaran pengujian atau pertanggungjawaban rasional bukanlah kepercayaan masing-masing secara individual, tetapi seluruh sistem jaringan kepercayaan. Contoh: Hegel, Bradley, Wilfird Sellars,dan W.V. Quine.
Koherentisme juga dapat dibagi dua menurut sifatnya:
- Koherentisme Ketat (Hegel, Bradley) menuntut kebenaran itu konsisten dan secara logis saling mengimplikasikan.
- Koherentisme Lunak (Bonjour) menuntut kebenaran konsisten, namun tidak perlu secara logis saling mengimplikasikan.
Koherentisme secara umum dapat diilustrasikan dengan usaha seorang detektif untuk memecahkan suatu kasus. Dari berbagai kejadian dan petunjuk kunci yang berbeda-beda, sang detektif berusaha untuk memberi penjelasan yang koheren tentang kasus yang terjadi. Berikut beberapa kritik terhadap koherentisme:
- Yang pertama adalah adanya pengisolasian diri dari kenyataan dunia. Teori pembenaran ini hanya berkutat pada relasi antar proposisi dalam sistem yang dipercayai tanpa terlalu mempedulikan apakah proposisi-prosisi tersebut sungguh-sungguh merujuk pada kenyataan dunia luar atau tidak. Selain itu, teori pembenaran ini tidak dapat menjelaskan fenomena adanya beberapa sistem tandingan yang masing-masing sama-sama koheren secara internal, tetapi tidak kompatibel satu sama lain. Contoh: dukun vs dokter.
- Kedua, tidak adanya masukan dari dunia luar. Teori pembenaran ini tidak mempunyai tolok ukur untuk menilai seberapa jauh kepercayaan itu merujuk ke kenyataan sesungguhnya di dunia luar.
- Ketiga, risiko terjebak penarikan mundur terus-menerus tanpa batas. Prosedur pertanggungjawaban rasional yang diajukan koherentisme cenderung untuk selalu mengandalkan apa yang masih perlu dibuktikan kebenarannya.
- Keempat, yang benar ternyata tidak harus selalu koheren. Contoh: revolusi sains.
Apa yang dimaksud dengan Internalisme?
Kedua teori pembenaran yang telah disebutkan sebelumnya pada dasarnya menganut internalisme. Internalisme mengandaikan orang selalu dapat menentukan dengan introspeksi, apakah kepercayaan atau pendapatnya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional atau tidak. Pandangan ini memandang manusia sebagai makhluk rasional yang secara prima facie mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan secara rasional apa yang ia percayai atau apa yang menjadi pendapatnya. Manusia melalui rasionya memiliki akses kognitif ke bukti atau evidensi bahwa kepercayaan atau pendapatnya memang benar. Dengan introspeksi, manusia bukan hanya dapat mengetahui apa yang ia percayai, melainkan juga mengapa ia mempercayainya.
- Internalisme ketat: Pikiran manusia yang terlatih dengan baik dapat memiliki akses kognitif introspektif yang tak dapat keliru. Contoh: Plato, Descartes.
- Internalisme moderat: Tidak mungkin manusia memiliki akses kognitif yang dapat salah. Oleh karena itu, supaya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, suatu kepercayaan cukuplah memiliki alasan yang masuk akal bagi orang yang memiliki kondisi psikologis yang sehat.
Kaum internalis dewasa ini hanya menuntut supaya orang dapat memberi alasan terbaik yang tersedia baginya, entah dari perspektif fondasionalisme maupun koherentisme. Internalisme menuntut adanya tanggung jawab dari subjek penahu untuk sungguh-sungguh berupaya mencari kebenaran. Tanggung jawab epistemik ini setara dengan tanggung jawab moral: sebagaimana dalam moral manusia secara prima facie kewajiban untuk memaksimalkan perbuatan baik dan meminimalkan tindakan jahat, demikian pula secara epistemis manusia wajib memaksimalkan jumlah kepercayaan yang benar dan meminimalkan kepercayaan yang salah. Walaupun tetap dapat keliru, secara epistemik tetap dapat dibenarkan kalau setelah berusaha sekuat tenaga dan kemampuan ternyata pada akhirnya kepercayaan dan pengetahuan yang kita peroleh dan kita pegang secara objektif keliru. Tetapi, masih perlu dikritisi bahwa sungguhkah kita mempunyai akses kognitif introspektif langsung seperti itu?
Apa yang dimaksud dengan Eksternalisme?
Berlawanan dengan internalisme yang menkankan syarat-syarat psikologis internal dalam subjek penahu sebagai syarat pembenaran pengetahuan, teori pembenaran eksternalisme lebih menekankan proses penyebaban dari faktor faktor eksternal, seperti: dapat diandalkan tidaknya proses pemerolehan pengetahuan yang terjadi, berfungsi tidaknya secara normal dan semestinya sarana-sarana wajar kita untuk mengetahui, bagaimana konteks sosial-historis mempengaruhi proses pemerolehan pengetahuan
Alvin Goldman memperkenalkan reliabilisme yang mensyaratkan adanya proses mengetahui yang dapat diandalkan (reliable cognitive process). Alvin Plantinga menolak reliabilisme karena paham ini ia anggap tidak mencukupi. Sebab, menurutnya, proses kognitif yang wajar dan dapat diandalkan dapat sekaligus membawa ke pengetahuan yang benar maupun yang salah. Lagipula, reliabilisme tidak memberi acuan untuk menentukan mana proses kognitif yang wajar dan yang tidak Bagi Plantinga, epistemologi naturalistik memerlukan antropologi adikodrati. Oleh karena itu, Plantinga memberi dua syarat: (1) adanya rancang bangun dari daya daya kognitif dan (2) berfungsinya daya-daya tersebut sesuai dengan rancang bangunnya. Dimasukkannya unsur ‘rancan bangun’ mengandalkan adanya suatu desain metafisis atau adikodrati atas manusia.
Kritikan terhadap Eksternalisme adalah:
- Pertama, sungguhkah daya-daya koggnitif kita selalu berfungsi sebagaimana mestinya seperti yang dipikirkan Plantinga? Kalau daya-daya kognitif kita memang didesain untuk berfungsi semestinya, mengapa begitu banyak kelemahannya?
- Kedua, apakah sebuah rancang desain merupakan suatu syarat mutlak untuk adanya jaminan bahwa daya-daya kognitif akan berfungsi semestinya?
- Ketiga, deontologisme epistemologis dalam internalisme yang ditolak oleh eksternalisme (Platinga) pada kenyataannya tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Sosiologi Pengetahuan dan Epistemologi Sosial
Baik Sosiologi Pengetahuan maupun Epistemologi Sosial sama-sama mengkaji dimensi sosial pengetahuan dan keduanya dapat saling memperkaya wawasan kita tentang pengetahuan. Namun, keduanya perlu dibedakan satu sama lain. Ada tiga pendekatan dalam Epistemologi Sosial: (1) peranan kondisi sosial bagi pemerolehan pengetahuan, (2) pengaturan sosial kegiatan memperoleh, menggunakan dan menyebarluaskan pengetahuan, dan (3) sifat dasar pengetahuan kolektif.
Epistemologi Sosial merupakan kajian konseptual dan normatif atas dimensi sosial pengetahuan, yaitu mengkaji dampak kondisi sosial (hubungan, kepentingan, peran dan lembaga-lembaga sosial) terhadap kajian konseptual dan normatif pengetahuan. Pertanyaan pokok yang diajukan adalah (1) apakah kondisi sosial secara hakiki mempengaruhi pemerolehan, pertanggungjawaban dan penyeberluasan pengetahuan?, dan (2) sejauh mana hal-hal tersebut berpengaruh? Hasil kajian Epistemologi Sosial memberi pemahaman bahwa ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia bukan hanya produk kegiatan individu dalam suatu kekosongan sosial. Kegiatan mengetahuai manusia selalu berada di dalam konteks sosial, budaya dan sejarah tertentu. Kondisi sosial pada gilirannya mempengaruhi pemerolehan, pertanggungjawaban dan penyerbarluasan ilmu pengetahuan. Sehingga, ilmu pengetahuan juga dapat dilihat sebagai suatu pengetahuan sosial atau pengetahuan publik yang melibatkan upaya bersama.
Epistemologi Sosial memiliki kesamaan dengan Sosiologi Pengetahuan, yaitu sama-sama mengkaji dimensi sosial dari pengetahuan, yaitu bagaimana hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial berpengaruh pada penierolehan dan penyebarluasan pengetahuan. Lalu, di mana letak perbedaannya? Martin Kusch mengatakan:
“Most social epistemologists recognise that social epistemology is closely related to the sociology of knowledge. But different authors conceive differently of this relation. Some suggest that the sociology of knowledge is a purely descriptive and empirical enterprise, whereas social epistemology is purely conceptual, and, at least in part, a normative endeavour. Other social epistemologists see the two fields as inseparable.” (MK, 1998).
Dari situ, kurang lebih kita dapat melihat perbedaannya: (1) kalau epistemologi sosial bersifat konseptual dan normatif, sosiologi pengetahuan bersifat empiris-faktual-deskriptif; dan (2) Kalau sosiologi pengetahuan mengkaji dimensi sosial pengetahuan dengan menggunakan perangkat ilmu-ilmu sosial yang empiris sehingga bersifat sosiologis, epistergologi sosial sifatnya filosofis.
Pokok-pokok Lain
Apa yang dimaksud dengan Epistemologi Sosial?
Epistemologi Sosial adalah cabang epistemologi yang mempelajari (1) karakter epistemis setiap individu yang muncul dari relasi mereka dengan yang lain, dan (2) karakter pelstemis kelompok-kelaompok atau sistem-sistem sosial (epistemic properties of individuals that arise from their relations to others, as well as epistemic properties of groups or social systems). Contoh: perpindahan perngetahuan dari satu orang ke orang lainnya.
Dimensi sosial dari Epistemologi Sosial adalah: (1) Berfokus pada langkah-langkah atau jalan-jalan sosial menuju pengetahuan (It focuses on social paths or routes to knowledge); (2) Tidak memandang subjek hanya sebagai orang per orang (It doesn’t restrict itself to believers taken singly); (3) Memandang entitas kolektif maupun bersama sebagai agen potensial pengetahuan (Instead of restricting knowers to individuals, social epistemology may consider collective or corporate entities as potential agents).
Ada tiga cabang atau pendekatan Epistemologi Sosial: Pendekatan pertama adalah dengan melihat peranan kondisi sosial bagi pemerolehan pengetahuan tiap individu. Pendekatan ini mempertanyakan dan meneliti pengetahuan pada tataran individual, dan memeriksa apakah kondisi sosial mempengaruhi kondisi-kondisi pengetahuan pada tataran individual.
Pendekatan kedua adalah dengan melihat pengaturan sosial dalam tindakan mengetahui. Cabang kedua ini mengkaji pengaruh sistem atau organisasi sosial terhadap kerja kognitif, baik di antara individu maupun kelompok Individu. Secara khusus, pendekatan ini menelaah ditribusi pengetahuan yang optimal serta profil usaha dan tanggung jawab kognitif dalam masyarakat. Pertanyaannya: “Bagaimana seharusnya tugas-tugas, tanggung jawab, dan previlese kognitif didistribusikan di antara para penahu? Dengan cara apa pendistribusian ini bergantung pada relasi sosial?”
Pendekatan ketiga adalah dengan melihat sifat dasar pengetahuan kolektif. Pendekatan ini mengkaji apakah sifat dasar suatu pengetahuan selalu merupakan penjumlahan pengetahuan dari para anggota kelompok atau lebih dari itu. Pertanyaannya: “Apakah pengetahuan dimiliki oleh kelompok individu, komunitas, atau kah institusi? Apakah pengethauan kolektif tersebut hanyalah semata-mata penjumlahan pengetahuan tiap anggotanya, ataukah sebenarnya lebih dari itu? Kalau ya, dalam hal apa pengetahuan bergantung pada relasi sosial?”
Apa yang dimaksud dengan Sosiologi Pengetahuan?
Sosiologi Pengetahuan berpendapat bahwa masyarakat turut mempengaruhi struktur pengalaman manusia dalam pembentukan ide-ide, konsep-konsep, dan sistem-sistem pemikiran. Lebih jauh lagi, mengingat bahwa kehidupan sosial terkait erat dengan kehidupan kesadaran dan kemampuan reflektif manusia, kita tidak dapat menunjuk manusia tanpa sekaligus menunjuk-meminjam istilah Arthur Child, yaitu “sifat sosial intrinsik dari pikiran” (the intrinsic sociality of mind). Pengetahuan dipandang sebagai sebuah kebudayaan dan banyak tipe pengetahuan berkomunikasi serta melambangkan makna-makna sosial (seperti mengenai kuasa dan kenikmatan, keindahan dan kematian, kebaikan dan bahaya). Sebagai bentuk kebudayaan yang kuat, pengetahuan juga membentuk makna dan menciptakan praksis dan objek sosial yang sepenuhnya baru. Sosiologi pengetahuan memeriksa bagaimana objek perhatian publik muncul, yaitu bagaimana masalah-masalah sosial dijelaskan dan fungsi-fungsi yang dimainkan pengetahuan partikular dalam proses ini. Contoh Pemikir: Marx, Durkheim, Mannheim, dan Mead.
Jika dibandingkan, apa kesamaan dan perbedaan Epistemologi Sosial dan Sosiologi Pengetahuan? Pada titik mana mereka saling memperkaya?
Kesamaan epistemologi sosial dengan sosiologi pengetahuan adalah bahwa keduanya sama-sama mengkaji pengaruh sosial dalam dan untuk pengetahuan. Sementara itu, perbedaan keduanya adalah:
a. Sosiologi Pengetahuan kajiannya bersifat Deskriptif-Faktual, Epistemologi Sosial kajiannya bersifat Normatif-Konseptual;
b. Sosiologi Pengetahuan mempertanyakan “Bagaimana lingkungan sosial mempengaruhi pengetahuan manusia?”, Epistemologi Sosial mempertanyakan “Apakah pengetahuan merupakan sifat subjek penahu yang terisolir dari keadaan sosial (dan dalam arti apa terisolir)? Atau, keadaan sosial juga merupakan unsur konstitutif dari pengetahuan manusia?”;
c. Sosiologi Pengetahuan memberikan data-data empiris-faktual bagi epistemologi sosial untuk direfleksikan. Epistemologi Sosial memberikan landasan konseptual atas sosiologi pengetahuan. Mengkritisi konsep-konsep yang sering diandaikan oleh sosiologi pengetahuan, serta memberi kerangka normatif untuk mengevaluasi sosiologi pengetahuan. Pada titik inilah Sosiologi Pengetahuan dan Epistemologi Sosial saling memperkaya.
Bahan-bahan Rujukan
- J. Sudarminta. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
- Martin Kusch. “Social Epistemology.” University of Cambridge.