Etika
Etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika bukan ajaran moral, yaitu ajaran yang mengatakan bagaimana kita harus hidup. Etika adalah ilmu yang mau mengerti mengapa kita kita harus mengikuti ajaran tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan ajaran moral tertentu. Etika berusaha mengerti menapa atau atas dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu. Singkatnya, etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Berikut ini akan diuraikan dua teori etika modern yang amat berpengaruh, dan juga akan diuraikan permasalahan seputar suara hati.
Etika Utilitarianisme dan Deontologi
Etika Utilitarianisme dan Etika Deontologis Immanuel Kant merupakan dua teori etika normatif modern yang amat berpengaruh. Etika Deontologis Immanuel Kant dapat mengatasi kelemahan Etika Utilitarianisme dan lebih mampu menjamin keberlakuan mutlak keadilan serta hak asasi manusia. Selain itu, etika Kant juga memberi dasar yang kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral. Kendati begitu, teori itu juga tidak lepas dari beberapa kelemahan yang pantas dikritik.
Utilitarianisme Klasik
Utilitarisme klasik, sebagaimana dikemukakan Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873), dapat diringkaskan dalam tiga pernyataan berikut.
- Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi akibat-akibatnya (consequences).
- Dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang dihasilkan.
- Kesejahteraan atau kebahagiaan semua orang sama pentingnya.
Bagi utilitarisme klasik, yang baik tidak berbeda dengan yang benar. Tindakan yang benar adalah tindakan yang baik, dan yang baik itu adalah kebahagiaan, sebagai satu-satunya yang diinginkan, sebagai tujuan akhir. Utilitarisme klasik ini selanjutnya disebut utilitarisme-tindakan, yang memiliki persoalan berkaitan dengan keadilan dan hak-hak individual. Para pembela utilitarisme kemudian mengajukan utilitarisme-peraturan. Di sini, tindakan-tindakan individual tidak lagi diadili dengan prinsip utilitas, tetapi dengan menipertanyakan dulu perangkat aturan mana yang paling haik menurut sudut pandang utilitarisme (kebahagiaan terbesar).
Etika Deontologi Immanuel Kant
Etika Deontologi Immanuel Kant tidak menilai moralitas suatu tindakan dari akibat-akibatnya, melainkan dari apa yang diwajibkan secara kategoris. Prinsip ini disebut imperatif kategoris. Kant mengatakan, “Bertindaklah hanya menurut kaidah dengan mana Anda dapat sekaligus menghendaki supaya kaidah itu berlaku sebagai hukum universal.” Prinsip ini nierumuskan prosedur untuk memutuskan apakah suatu tindakan itu secara moral diijinkan atau tidak. Ketika mempertimbangkan suatu tindakan, Anda perlu bertanya aturan mana yang akan diikuti (sebagai kaidah tindakan), lalu bertanya apakah Anda akan menerima aturan itu untuk diikuti oleh setiap orang sepanjang waktu (sebagai hukum universal). Jika jawabannya “ya,” aturan tersebut dapat diikuti dan tindakan tersebut boleh dilakukan secara moral. Jika jawabannya “tidak,” aturan tersebut tidak boleh diikuti dan tindakan tersebut secara moral tidak diperbolehkan.
Bagi Kant, menjadi pelaku moral berarti mengarahkan perilaku dengan hukum-hukum universal, yaitu aturan-aturan moral yang berlaku tanpa kekecualian dalam segala waktu, misalnya aturan yang melarang orang berbohong. Prinsip universalitas ini adalah prinsip yang pertama. Prinsip kedua terkait dengan martabat manusia yang harus dihormati. Formulasinya adalah sebagai berikut. “Bertindaklah sedemikian sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan, entah dalam dirimu sendiri atau orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana”.
Etika Deontologis Immanuel Kant dapat mengatasi kelemahan Etika Utilitarianisme dan lebih mampu menjamin keberlakuan mutlak keadilan serta hak asasi manusia. Ada sesuatu yang tetap tidak boleh dilakukan, entah apa pun alasannya. Misalnya, bahwa kita tidak boleh membunuh orang yang tidak bersalah, meskipun itu demi kesejahteraan orang yang lebih banyak Etika deontologis menunjukkan adanya hal yang mutlak yang tidak dapat dibatalkan walaupun demi tujuan-tujuan yang baik. Menurut Kant, nilai manusia mengatasi segala harga. Inilah kesimpulan objektif mengenai tempat manusia dalam kerangka hal-hal atau barang-barang lain. Ada dua alasan mengapa manusia mengatasi segala harga. Pertama, hanya manusia yang memiliki keinginan dan tujuan. Hal-hal lain memiliki nilai bagi manusia sejauh pada hubungannya dengan rencana-rencana manusia. Kedua, manusia mempunyai nilai intrinsik, yaitu martabat, karena manusia adalah pelaku rasional, artinya pelaku bebas yang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, menempatkan tujuan-tujuannya sendiri dan menuntun perilakunya dengan akal budi. Karena nilai manusia mengatasi segala harga inilah bagi Kant manusia harus diperlakukan selalu sebagai tujuan, dan tidak pernah hanya sebagai sarana. Di sinilah teori etika ini lebih mampu menjamin keberlakuan keadilan dan hak-hak asasi manusia.
Gagasan Kant memberi dasar yang kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral. Jika Anda dapat mengartikan suatu hal sebagai alasan untuk suatu kasus, Anda juga harus menerimanya sebagai alasan dalam kasus yang lain yang serupa dengan kasus yang pertama. Misalnya, pikiran bahwa Anda tidak boleh membakar hutan karena hal itu akan merusak harta orang dan membuat orang-orang terbunuh. Jika ada kasus lain di mana harta rusak dan orang-orang terbunuh, Anda harus menerima hal itu sebagai alasan untuk tidnakan dalam kasus itu jugn. Tidaklah baik mengatakan bahwa Anda menerima alasan-alasan itu pada suatu saaat, tetapi tidak untuk seterusnya. Tidaklah baik mengatakan bahwa orang-orang lain harus menghormati Anda, tetapi Anda sendiri tidak harus menghormati orang-orang lain. Alasan-alasan moral yang sahih mengikat semua orang pada setiap waktu. Inilah tuntutan untuk konsistensi. Kant benar dalam anggapannya bahwa tak seorang pun yang rasional yang mampu menyangkalnya.
Meskipun memberikan dasar yang kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral, teori etika Kant tidak lepas dari beberapa kelemahan yang pantas dikritik. Pertama, gagasan bahwa aturan moral ditaati tanpa pengecualian sulit dipertahankan. Kita dapat membayangkan bahwa ada lingkungan tertentu di mana mengikuti aturan justru akan mengakibatkan hasil yang mengerikan. Misalnya, aturan dan kewajiban untuk tidak berbohong, Ilustrasi yang sering dikemukakan untuk mengkritisi aturan atau kewajiban mutlak untuk tidak berbohong adalah mengenai “Si Pembunuh yang Bertanya.” Apakah kita harus memberitahukan kepadanya apa yang benar, padahal dengan berkata jujur kita akan membuat seseorang terbunuh? Kedua, adanya konflik antara aturan-aturan. Misalnya, jika kedua aturan ini, yaitu “berbohong itu salah” dan “mengijinkan pembunihan atas orang-orang yang tak bersalah juga salah,” diterima secara mutlak, mana yang harus ditaati?
Pokok-pokok Lain
Apa yang dimaksud dengan teori Etika Normatif?
Masalah pokok dalam teori etika normatif adalah bagaimana kita mempertanggungjawabkan secara rasional penilaian dan putusan moral kita. Pada dasarnya, penilaian dan putusan moral dapat dipertanggungjawabkan secara rasional apabila didasarkan atas prinsip dan norma moral yang sehat Maka dari itu, permasalahannya adalah, manakah prinsip dan norma moral yang sehat yang dapat dijadikan acuan dan dasar pertanggungjawaban tersebut? Inilah pertanyaan pokok yang dihadapi oleh etika normatif. Hanya saja, ternyata tidak ada kesepahaman mengenai bagaimana menjawab pertanyaan tersebut. Akibatnya, ada beberapa teori etika normatif dalam sejarah filsafat Barat. Secara garis besar, teori-teori etika normatif dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori:
- Teori-teori Konsekuensialis: Kelompok teori ini menilai baik-buruk dan benar-salahnya tindakan manusia berdasarkan dari konsekuensi atau akibatnya, yaitu apakah perbuatan tersebut secara keseluruhan membawa akibat baik lebih banyak daripada akibat buruknya ataukah sebaliknya. Kelompok teori ini juga disebut sebagai teori-teori etika teleologis karena merujuk pada tujuan dari tindakan yang bersangkutan. Contoh: etika egoisme, eudaimonisme, dan utilitarisme.
- Teori-teori Non-Konsekuensialis: Kelompok teori ini menilai baik-buruk dan benar-salahnya tindakan manusia. tanpa memperhatikan konsekuensi dari tindakan tersebut, melainkan berdasarkan sesuai-tidaknya suatu tindakan dengan hukum atau standar moral. Kelompok teori ini juga dikenal dengan teori-teori etika deontologis karena menekankan konsep kewajiban (deon) moral yang harus ditaati oleh manusia sebagai makhluk rasional. Contoh: etika deontologis Kant.
Apa yang dimaksud dengan teori Etika Utilitarisme?
Etika utilitarisme, yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan J.S. Mill (1806-1873), adalah teori etika yang menekankan prinsip manfaat atau kegunaan sebagai prinsip moral yang paling dasariah. Suatu tindakan dilnilai berguna kalau akibat secara keseluruhan dari tindakan tersebut dengan memperhitungkan semua pihak yang terlibat serta tidak membeda-bedakan membawa akibat baik berupa keunduntan atau kebahagiaan yang semakin besar bagi semakin banyak orang. Semboyannya adalah “The greatest good to the greatest number.”
Ada dua macam etika utilitarisme:
- Utilitarisme Tindakan: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga setiap tindakanmu itu menghasilkan akibat-akibat baik yang lebih besar di dunia daripada akibat buruknya.” Utilitarianisme tindakan sulit diterima, karena mudah disalahgunakan untuk membenarkan tindakan yang melanggar hukum.
- Utilitarisme Peraturan: “Bertindaklah selalu sesuai dengan kidah-kidah yang penerapannya menghasilkan akibat baik yang lebih besar di dunia ini daripada akibat buruknya.” Utilitarianisme peraturan lebih dapat diterima.
Kelemahan Utilitarisme adalah sulitnya menentukan nilai kebaikan dari suatu akibat. Bentham menanggapi kelemahan ini dengan menjabarkan 7 dimensi hedonic calculus (penilaian kuantitatif), sementara Mill menambahkan unsur kualitas. Selain itu, penerapan Utilitarianisme mungkin bertentangan dengan prinsip keadilan.
Apa yang dimaksud dengan Etika Deontologis?
Etika deontologis, yang dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804), ajalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevan tuntuknya. Para penganut teori ini meyakini bahwa norma moral itu mengikat secara inutlak dan tidak tergantung pada apakah akibat dari ketaatan tersebut menguntungkan atau tidak. Dalam buku Kritik atas Rasio Praktis, Kant berpendapat bahwa nilai moral (baik-buruknya tindakan) tidak terletak pada hasil tindakan, tetapi pada sesuatu dalam kesadaran subjek moral yang disebutnya “maksim.” Maksim berbeda dengan asas: asas-asas bersifat objektif dalam rasio praktis makhluk rasional, sedangkan maksim bersifat subjektif dalam kehendak.
Ajaran pokok teori etika deontologis Kant:
- Kemurnian motivasi: “Bertindaklah bukan hanya sesuai dengan kewajiban moral, melainkan juga demi kewajiban moral tersebut.” Yang sungguh-sungguh baik adalah kehendak baik.
- Imperatif Kategoris: “Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui keinginan Anda sendiri dapat menjadi sebuah Hukum Alam yang Universal.”
- Hormat terhadap pribadi: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga Anda selalu memperlakukan umat manusia -entah di dalam pribadi Anda maupun di dalam pribadi setiap orang lain-sebagai tujuan, bukan sebagai sarana.”
Kekuatan teori etika deontologis:
- Memberikan dasar kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral Kant menekankan bahwa prinsip moralitas bisa diturunkan secara apriori dari akalbudi murni dan tidak ditentukan oleh objek tindakan, akibat tindakan, maupun kepentingan-kepentingan subjek pelaku. Penilaian mora, menurut Kant, bukanlah perkara selera atau perasaan bepala, melainkan berdasarkan suatu prinsip yang masuk akal Oleh karena itu, pertanggungjawaban moral selalu dapat diuji secara intersubjektif.
- Memberikan tolak ukur yang perlu dan penting untuk menilai moralitas suatu tindakan, yakni prinsip universalitas.
- Menjamin otonomi dan keluhuran martabat manusia Etika deontologis Kant menekankan peran manusia sebagai tujuan setiap tindakan dan bukan sebagai sarana.
Kelemahan teori etika deontologis:
- Tidak ada ruang bagi dilema moral dan tidak memberi solusi ketika hal itu terjadi. (Solusi W.D. Ross: saat terjadi dilema moral, norma moral yang berlaku adalah prima facie.)
- Kemutlakan norma tanpa sama sekali mengindahkan akibat tindakan, sulit diterima.
- Imperatif Kategoris Kant melulu formal sehingga tidak membantu mengerti kewajiban mana yang secara kontkret mengikat seorang pelaku moral.
Suara Hati
Salah satu pokok bahasan penting dalam Etika Umum/Dasar adalah tentang suara hati. Suara hati tidak sama dengan apa yang oleh Sigmund Freud disebut super ego. Meski kita tidak pernah boleh bertindak melawan suara hati, namun keputusan suara hati harus dapat kita pertanggungjawabkan dengan mengacu pada norma-norma objektif. Suara hati kita juga perlu terus dididik atau dikembangkan, baik secara kognitif, afektif maupun konatif.
Suara hati adalah kesadaran tentang apa yang menjadi kewajiban manusia berhadapan dengan masalah konkret yang dihadapinya. Merujuk pada Magnis-Suseno, ada tiga lembaga normatif yang mengajukan norma-norma (apa yang harus dianggap baik atau tidak) kepada kita:
- Masyarakat, yaitu semua orang dan lembaga yang berpengaruh pada hidup kita: keluarga/orang tua, sekolah/para guru, agama, tempat kerja, negara.
- Superego, yaitu perasaan moral spontan sebagai hasil integrasi dan pembatinan perintah-perintah, nilai-nilai dan larangan.
- Ideologi, yaitu segala macam ajaran tentang makna kehidupan, tentang nilai-nilai dasar dan tentang bagaimana manusia barus hidup dan bertindak.
Suara hati berbeda dengan ketiga lembaga normatif ini. Berhadapan dengan pendapat masyarakat dan tuntutan ideologi, manusia menjadi sadar, bahwa ia tidak boleh mengikuti pendapat moral mereka begitu saja, melainkan harus memastikan sendiri apa yang sebenarnya merupakan kewajiban dalam situasi yang sedang dihadapinya. Secara moral, akhirnya kita sendirilah yang harus memutuskan apa yang akan kita lakukan. Di sinilah juga suara hati berbeda dengan superego. Akan tetapi, ternyata dua istilah ini sering disamakan, baik dalam masyarakat maupun oleh sementara alirani psikologi. Bagaimana perbedaan ini dijelaskan?
Suara Hati vs. Superego
Istilah superego diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939) yang mengidentifikasikan unsur-unsur utama dalam kesadaran manusia sebagai Id, Ego dan Superego. Id adalah semua kecenderungan irrasional yang muncul dari kedalaman diri kita dan menghadapkan kita dengan tuntutan-tuntutan mereka, yaitu segala dorongan, nafsu, naluri dan insting. Superego adalah perasaan bersalah yang kita rasakan apabila kita melakukan hal-hal yang terlarang. Ego adalah “aku” yang sadar, subjektivitas kita, pusat kesadaran dan keinginan kita. Ego ini adalah diri kita sendiri, yang selalu bertindak berhadapan dengan dorongan Id dengan pengawasan dari Superego.
Dari penjelasan di atas, superego lebih merupakan perasaan bersalah (yang sifatnya otomatis, tanpa pertimbangan terlebih dahulu). Superego mirip sensor atau pengawas bagi tindakan-tindakan dan kesadaran kita sebagai Ego. Bentuk pengawasan atau sensor ini tergantung pada pendidikan seseorang semasa kecilnya.
Suara hati, di pihak lain, tidak melulu soal rasa bersalah, tetapi suatu kesadaran seseorang untuk memilih yang sesuai dengan tanggung jawabnya. Sementara superego menghendaki kita memilih hal yang membebaskan kita dari rasa bersalah, dorongan suara hati justru seringkali memunculkan rasa bersalah, yaitu ketika kita melakukan hal yang kita anggap benar tetapi merugikan orang lain. Kesadaran moral bukan semata-mata perasaan, tetapi suatu pengertian yang sifatnya objektif dan bertanggungjawab. Berbeda dengan suara hati, Superego tidak mempedulikan tepat tidaknya suatu tindakan dari sudut tanggung jawab ini.
Jadi, keputusan suara hati harus dapat dipertanggungjawabkan dengan mengacu pada norma-norma objektif. Mengambil contoh diperbolehkan atau tidak seorang siswi SMA yang hamil di luar nikah untuk menggugurkan kandungannya, ada kebenarar, objektif di situ. Mana yang benar dari dua pilihan, yaitu boleh atau tidak, dapat diperiksa dan diperdebatkan dengan argumentasi yang objektif. Masing-masing pendapat harus memiliki pertanggungjawaban rasional. Maka, yang dituntut dari suatu keputusan suara hati adalah rasionalitasnya (tanpa harus jatuh ke dalam rasionalisme yang menuntut pembuktian akan segala sesuatunya), yaitu bahwa keputusan moral tersebut harus kita buka terhadap tantangan dan sangkalan dan harus didukung oleh argumen-argumen yang objektif. Di sinilah diperlukan informasi, pertimbangan yang relevan, termasuk juga pendapat pihak lain.
Dari kenyataan bahwa suara hati itu terkait dengan situasi konkret dan melibatkan pertimbangan-pertimbangan rasional manusia, suara hati (meskipun berlaku universal-maksudnya hanya satu pendapat yang benar dan mesti diberlakukan, universalitas dalam pemahaman Kant) tetap dapat keliru. Di sinilah suara hati perlu dididik atau dikembangkan dari tiga sudut, yaitu secara kognitif, afektif, dan konatif:
- Dalam dimensi Kognitif, pendidikan suara hati akan melibatkan usaha untuk bersedia terus menerus belajar guna meningkatkan pengetahuan dan pengertian moral kita. Untuk ini diperlukan sikap terbuka terhadap macam-macam pertimbangan serta kemungkinan perlunya perubahan padangan.
- Berkenaan dengan dimensi Afektif, pendidikan suara hati bermaksud menumbuhkan citarasa moral atau kepekaan hati terhadap apa yang memang baik atau secara objektif bernilai, apa yang pantas dicita-citakan dalam hidup dan apa yang jahat dan perlu dihindari.
- Dalam dimensi Konatif, pendidikan moral bermaksud membangun kehendak atau tekat moral. Ada kemungkinan bahwa sikap dan kesadaran moral kita dalam situasi konkret menjadi bengkok (tidak lagi tepat), bukan karena pengetahuan dan pemahaman kita kurang atau keliru, tetapi karena kehendak kita kurang kuat (istilah Aristoteles: akrasia, artinya kelemahan kehendak). Kehendak yang kuat dalam moralitas ini dapat dibangun dengan melatihkannya.
Pokok-pokok Lain
Apa yang dimaksud dengan Etika Dasar atau Etika Umum?
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos,” yang secara harafiah berarti “adat kebiasaan”, “watak,” atau “kelakuan manusia.” Dalam hidup sehari-hari, setidaknya ada 3 arti kata etika:
- Etika dalam arti sistem nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan hidup atau pedoman penilaian baik-buruknya perilaku manusia, baik secara individual maupun komunal. Contoh: “Etika Jawa, “Etika Protestan” (Max Weber).
- Etika dalam arti kode etik, yaitu sekumpulan norma dan nilai moral yang wajib diperhatikan oleh pemegang profesi tertentu. Contoh: “etika kedokteran”, “etika jurnalistik”.
- Etika dalam arti ilmu yang melakukan refleksi kritis dan sistematis tentang moralitas. Arti yang ketiga inilah yang digunakan untuk merujuk pada etika sebagai cabang ilmu filsafat. Walaupun secara etimologis memiliki makna yang sama, terdapat perbedaan pemaknaan atas Istilah “etika” dan “moral”. “Etika” digunakan untuk menyebut ilmu dan prinsip-prinsip dasar penilaian baik-buruknya perilaku manusia sebagai manusia; sedangkan “moral” digunakan untuk menyebut aturan dan norma yang lebih konkret bagi penilaian tersebut.
Dengan begitu, dapat dibedakan antara objek material dan objek formal dari Etika. Objek material etika adalah tingkah laku atau tindakan manusia sebagai manusia (actus humanus, bukan actus hominis), dan objek formal etika adalah segi baik-buruk atau benar-salahnya tindakan tersebut berdasarkan norma moral.
Dalam Etika, ada tiga bentuk pendekatan:
- Pendekatan Deskriptif, yaitu memaparkan apa yg secara faktual terjadi.
- Pendekatan Normatif-Preskriptif, yaitu membahas apa yang seharusnya dilakukan.
- Pendekatan Analitis-Metaetis, yaitu menganalisa terminologi-terminologi yang dipakai dalam diskursus moral.
Etika memiliki dua cabang besar:
- Etika Umum/Dasar: menyajikan beberapa pengertian dasar dan mengkaji beberapa permasalahan pokok dalam filsafat moral, seperti suara hati, kebebasan-tanggung jawab, teori etika normatif, serta relativisme moral.
- Etika Khusus: membahas beberapa permasalahan moral dalam bidang bidang khusus, seperti etika sosial, etika biomedis, etika bisnis, etika lingkungan hidup.
Apa yang dimaksud dengan Suara Hati? Apa bedanya dengan Superego Freudian?
Suara hati (conscientia, Lat) secara etimologis berarti “mengetahui bersama” atau “turut mengetahui.” Dalam hidup sehari-hari, suara hati merupakan instansi yang turut mengetahui atau menjadi saksi sekaligus hakim bagi perbuatan-perbuatan moral manusia. Secara ringkas, dapat dirumuskan bahwa suara hati adalah kesadaran moral manusia dalam situasi konkret. Sebagai sebuah kesadaran, suara hati mengandaikan adanya pertimbangan akalbudi dan bukan sekedar ungkapan perasaan spontan belaka. Suara hati menjadi pedoman atau pegangan moral manusia saat ia harus mengambil keputusan untuk bertindak.
Sementara itu, Superego adalah internalisasi atas perintah-perintah, larangan-larangan, dan nilai-nilai moral yang menurut Freud berasal dari didikan orang tua (atau orang lain di sekitar kita). Dengan demikian, batin kita sendiri mengumandangkan tuntutan-tuntutan masyarakat kepada kita, pertama-tama tuntutan orang tua, kemudian lembaga-lembaga masyarakat lainnya. Dalam ilmu psikologi, superego dipahami sebagai perasaan moral spontan di mana ia menyatakan diri dalam perasaan malu dan bersalah yang muncul secara otomatis ketika seseorang melanggar norma-norma yang telah dibatinkan tersebut. Yang khas bagi superego adalah bahwa perasaan-perasaan itu juga muncul apabila tidak ada orang lain yang menyaksikan pelanggaran kita.
Secara singkat, perbedaan Superego dan Suara Hati adalah:
a. Superego bersifat tidak sadar dan otomatis. Suara Hati bersifat sadar.
b. Superego bekerja di ranah perasaan atau emosi. Suara Hati bekerja di ranah rasionalitas.
c. Tuntutan Superego berasal dari luar (keluarga, masyarakat) dan menindas subjek. Suara Hati berasal dari dalam diri dan mendorong subjek untuk bertindak.
Bagaimana kemutlakan suara hati dapat dijelaskan?
Suara hati pertama-tama bersifat mutlak, artinya apa yang ditegaskan olehnya tetap tidak dapat ditawar-tawar keberlakukannya. Manusia mungkin dapat mengabaikannya, namun teguran suara hati tetap tidak dapat dibungkam oleh pertimbangan-pertimbangan yang sepintas dirasa menguntungkan. Selain itu, kemutlakan suara hati juga tampak dari kenyataan bahwa teguran yang diutarakannya tidak dapat diajak berdamai melalui rasionalisasi si subjek atas tindakannya. Namun demikian, suara hati tidak serta-merta identik dengan suara Tuhan.
Di satu sisi, kemutlakan suara hati memang menjadi petunjuk adanya Tuhan sebagai Yang Mutlak. Sebab, apa yang mutlak tidak dapat berasal dari manusia yang secara ontologis bersifat kontingen. Namun di sisi lain, suara hati diungkapkan dalam kesadaran manusia yang adalah pengada terbatas sehingga dapat keliru. Yang mutlak dalam suara hati adalah tuntutannya, sedangkan isi kewajibannya tidaklah secara mutlak benar.
Bagaimana suara hati dapat dipertanggungjawabkan? Dengan cara apa suara hati dapat dididik?
Karena suara hati mengandaikan akal budi, maka ia juga bersifat rasional. Penilaian yang dilakukan oleh suara hati selalu didasarkan pada argumen-argumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dengan pernyataan tersebut, maka di sini hendak ditolak pandangan emotivisme moral yang menyatakan bahwa penilaian moral pada hakikatnya merupakan masalah perasaan belaka sehingga tidak dapat ditentukan benar-salahnya secara objektif. Oleh karena itu, suara hati juga dapat diuji kebenarannya secara intersubjektif karena didasarkan atas prinsip yang berlaku umum.
Pendidikan suara hati harus mencakup tiga dimensi:
- Kognitif: dalam bentuk belajar, menambah pengetatuan, memperluas cakrawaia, supaya berpikiran terbuka, dan menjauhkan diri dari dogmatisme.
- Afektif: dalam bentuk melatih kepekaan hati, pemberian teladan, kisah-kisah mengenai tokoh-tokoh bermoral.
- Konatif: dalam bentuk pembiasaan atau mati raga.
Bahan Rujukan
- Franz Magnis-Suseno. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
- James Rachels. Filsafat Moral. Penerj. A. Sudiarja. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
- J. Sudarminta. Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat STF Driyarkara, 2010.