aaron-pm

Filsafat Politik

Filsafat politik memberikan wawasan mendasar tentang kehidupan bersama manusia secara politis. Di dalamnya dibahas persoalan-persoalan filosofis politis yang mendasar seperti apa itu negara dan kekuasaan, mengapa manusia bernegara, bagaimana konstitusi negara yang baik, bagaimana hubungan antara keadilan, kesamaan dan kebebasan dalam kondisi modernitas. Berikut ini pemaparan mengenai dua tema pokok dalam filsafat politik, yaitu mengenai Hak-hak Asasi Manusia dan konsep kebebasan.

Hak-hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi manusia mendahului Negara dan sistem hukum positif. Asal-usul konsepnya dapat ditelusuri sampai pada tradisi Yahudi-Kristiani, Filsafat Yunani Romawi dan Teori-teori Kontrak Sosial. Lewat institusionalisasi dalam beberapa dokumen sejarah, hak-hak asasi manusia akhirnya menjadi norma yang efektif untuk menata hubungan di antara bangsa-bangsa beradab. Universalitas hak-hak asasi manusia pada intensi dasariahnya adalah untuk melindungi manusia dari peristiwa peristiwa negatif.

Hak-hak asasi manusia (HAM) mendahului negara dan sistem hukum positif. Ini karena hak-hak asasi manusia tidak diberikan oleh negara, tetapi melekat pada manusia sebagai manusia. Maka, hak-hak ini juga mendahului hukum positif. HAM melekat pada manusia semata-mata sebagai manusia, bukan karena macam-macam hal seperti suku, agama, keanggotaan dalam masyarakat, dsb. HAM itu pra-negara, pra-positif. HAM mendasari negara, bukan sebaliknya negara mendasari HAM.

Asal-usul konsepnya dapat ditelusuri sampai pada tradisi Yahudi-Kristiani, filsafat Yunani-Romawi dan teori-teori kontrak sosial. Pada tradisi Yahudi Kristiani, benih-benih pengakuan terhadap HAM terdapat dalam konsep manusia sebagai citra Allah (imago Dei, Kej. 1:26-27). Paham ini mendasari suatu nilai intrinsik seorang individu. Manusia sebagai citra Allah, setiap orang memilikinya, termasuk juga para budak. Konsep citra Allah merupakan suatu nilai pada dirinya sendiri, bahwa setiap manusia sama di hadapan Tuhan. Agama Kristen memandang nilai diri manusia sebagai suatu tujuan yang terletak di luar kekuasaan negara. Manusia tidak hanya “tujuan diri bagi dirinya (Selbstzweck für sich)” saja, melainkan “tujuan diri itu sendiri (Selbstzweck schlechthin).” Nantinya, oleh Kant konsep ini disekulerkan sebagai konsep martabat manusia.

Pada tradisi Yunani-Romawi, kita mengenal konsep Aristoteles mengenai hukum kodrat. Pada filsafat Stoa, terdapat gagasan mengenai dignitas melalui partisipasi semua manusia pada logos ilahi, yaitu kosmos rohaniah dan religius yang di dalamnya kebebasan dan kesetaraan berkuasa di antara manusia. Bahkan para budak pun berpartisipasi dalam kodrat logos ilahi tersebut. Pada Abad Pertengahan, Thomas Aquinas menyatakan mengenai adanya tatanan yang melampaul hukum positif. Setiap hukum positif seharusnya sesuai dengar “kodrat manusia yang melampaui negara, yang tidak berubah sebagai bagian dari tatanan dunia ilahi tersebut. “Kodrat manusia ini dikenali melalui asas asasnya yang sesuai dengan “kodrat”.

Sementara itu, dari teori-teori kontrak sosial, kita mendapati bahwa konsep keadaan asali (state of nature) mendasari pemikiran bahwa hak hidup, hak milik, dan hak kebebasan itu pra-negara. Teori-teori kontak sosial meneruskan ide tentang ruang bebas-negara bagi individu. Kekuasaan negara yang legitimasinya diperoleh dari individu (Locke) atau dari rakyat (Rousseau) tidak hanya merupakan ancaman bagi “kodrat” manusia, melainkan kekuasan itu juga memiliki kewajiban untuk mengamankan hak-hak kodrati yang sudah tersedia di dalam keadaan asali. Apabila kewajiban ini diabaikan, berakhirlah juga kepatuhan para warga negara, sehingga manusia kembali ke keadaan pra kontrak Kesewenangan dibatasi melalui respek terhadap manusia. Pada Kant, martabat manusia ditandai dengan kemampuan untuk bertindak rasional dan bertanggungjawab. Dari pemaparan ini kita melihat, baik tradisi Yahudi-Kristiani, filsafat Yunant-Romawi maupun teori-teori kontrak sosial, semua memuat tendensi dan menerima eksistensi hak-hak pra-positif, yaitu hak-hak asasi manusia.

Lewat Institusionalisasi dalam berbagai beberapa dokumen sejarah, hak-hak asasi manusia akhirnya menjadi norma yang efektif untuk menata hubungan di antara bangsa-bangsa beradab. HAM adalah konsep yang sama sekali modern, belum masuk ke dalam kosa kata politis sampai abad ke-17. Padahal, ide martabat manusia yang terbentuk lama melalui sejarah pemikiran di atas tidak akan memiliki dasar realpolitik kecuali dijangkarkan di dalam konstitusi. Proses penjangkaran ke dalam konstitusi atau institusionalisasi merupakan proses pemberlakuan (dan pengakuan) HAM oleh suatu lembaga. Dalam sejarah, proses ini muncul di negara-negara di mana keamanan politis Individu terancam oleh absolutisme negara. Proses tersebut kemudian menghasilkan dokumen-dokumen sejarah yang membicarakan mengenai ethos kebebasan universal dan kesahihan universal dari HAM. Berikut beberapa dokumen tersebut beserta pokok-pokoknya yang menonjol:

  1. Magna Charta Libertatum (1215). Dokumen ini menggoncang “cengkraman kekuasaan Norman” di Inggris. Para penguasa di Inggris dituntut untuk memperhatikan hak-hak warganya.
  2. Habeas Corpus Act (1679). Dokumen ini memperjuangkan jaminan kebebasan personal dan menganggap penahanan semena-mena sebagai sesuatu yang mengingkari kebebasan.
  3. Virginia Bill of Rights (12 Juni 1776) dan American Declaration of Independence (4 Juli 1776). Kedua dokumen ini mengandung ajaran John Locke mengenai hukum kodrat. Di dalamnya dinyatakan bahwa semua manusia pada kodratnya adalah bebas, otonom, dan memiliki hak-hak tertentu sejak lahir, antara lain hak atas hidup dan hak untuk mengejar kebahagiaan. Negara dan sistem hukum tidak dapat memaksa manusia untuk menyerahkan kebebasan itu. Bahkan, negara atau pemerintahan harus menjamin agar hak-hak tersebut terpenuhi.
  4. Déclaration des droits de l’homme et du citoyen (1789). Dokumen ini mengandung Teori Kontrak Sosial Jean-Jacques Rousseau dan ajaran Montesquieu mengenai pembagian kekuasaan (dokumen-dokumen Prancis).
  5. Deklarasi Umum HAM (1948). Dokumen ini menjadikan HAM diakui secara global. Deklarasi ini penting karena merupakan tanggapan dan perlawanan atas pelecehan HAM di zaman modern, misalnya pemusnahan massal orang Yahudi oleh Nazi Jerman, Perang Dunia I dan II, dsb.

Melalui dokumen-dokumen di atas, ide pra-HAM mengenai martabat manusia dirumuskan ke dalam bahasa hukum. Misalnya, dalam Virginia Bill of Rights dituliskan: “Semua manusia menurut kodratnya sama bebas dan otonom dan memiliki hak-hak tertentu sejak kelahirannya. Mereka tidak dapat memaksa anak cucu mereka lewat persetujuan sekalipun saat berdirinya negara untuk menyerahkan hak-hak itu, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, dan kemungkinan memperoleh dan memelihara harta milik, dan atas kebahagiaan serta hak untuk meraih dan memperoleh keamanan” (pasal 1). Lahirnya dokumen-dokumen di atas menunjukkan bahwa orang dapat sepakat bahwa HAM harus diberlakukan melalui instrumen hukum positif agar ada jaminan terhadap perlindungannya, dan dengan demikian bangsa-bangsa menjadi beradab.

Walaupun institusionalisasi HAM sudah dilakukan, pemenuhan janji-janji HAM belum terjadi. Bahkan abad kita ini, di mana-mana terjadi persoalan penindasan, persoalan perbudakan, fasisme, rasisme, juga ekses-ekses dari modernitas. Padahal, manusia perlu dilindungi dari berbagai macam hal yang membahayakan kesejahteraan kehidupannya. Oleh karena itu, PBB yang didirikan sesudah PD II merasa berkewajiban untuk memaklumkan DUHAM (Deklarasi Universal Hak hak Asasi Manusia) ke seluruh dunia. Untuk pertama kalinya, dirumuskanı martabat manusia, nilai person manusia dan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Selain hak-hak pembelaan diri klasik, muncul hak-hak atas prestasi prestasi sosio-kultural negara, larangan diskriminasi, larangan penyiksaan, hak atas suaka dan kebebasan untuk nengikat tali perkawinan.

Universalitas hak-hak asasi manusia tidak terletak pada gambaran manusia yang tersirat di dalamnya, melainkan pada intensi dasariahnya untuk melindungi manusia dari peristiwa-peristiwa negatif. Ide HAM Barat yang tampak pada model Prancis, Ainerika dan DUHAM dari PBB tidak mempersoalkan gambaran manusia. Maksudnya, HAM yang dimaklumkan itu berlaku untuk setiap manusia tanpa kecuali dan sahih untuk setiap lingkungan kultural tanpa mengindahkan gambaran manusia di dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda. Jadi, intensi dasarlah bahwa HAM itu diinstitusionalisasikan lebih ditujukan agar tidak terjadi kembali pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM, sebagaimana telah terjadi dan kemudian melahirkan dokumen-dokumen tentang HAM di atas. Namun demikian, apabila dicermati lebih dalam, kita dapat menemukan gambaran manusia yang tercermin di dalam ide HAM Barat Dalam ide HAM Barat, tergambar manusia sebagai individu yang bebas, setara dan menentukan dirinyasendiri. Ini adalah konsep individualisme, suatu konsep tentang manusia yang terbentuk lewat sekularisasi dan individualisasi. Inilah gambaran di mana individu dimuliakan, bukan kosmos yang sakral atau kelompok yan mendominasi individu.

Pokok-pokok Lain

  • Apa maksudnya HAM mendahului negara dan hukum positif?

Terlebih dulu harus dipahami apa itu HAM. HAM merupakan hak-hak yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia. Hak tersebut melekat pada dirinya sejak ia lahir, bukan pemberian dari masyarakat atau komunitasnya. Oleh karena itu, hak tersebut tidak dapat dipisahkan dari manusia itu. Asalnya adalah tradisi liberal Barat. Pemahaman liberal Barat memandang HAM sebagai hak yang sudah ada pada diri manusia sebelum negara ada. Dengan demikian, HAM mendahului negara dalam arti negara tidak menganugrahi warganya dengan HAM. Tanpa negara pun manusia sudah memiliki hak-hak asasinya sejak lahir. Sementara itu, sistem hukum juga berbeda dari HAM. Karena HAM itu sudah dimiliki manusia sejak lahir, adanya HAM bukanlah karena diatur atau diberikan oleh sistem hukum. Oleh karena itu, hukum positif juga dibuat sesuai dengan kriteria yang mendukung HAM, bukan untuk memaksa manusia agar menyerahkan hak-hak asasi mereka kepada pihak lain.

  • Bagaimana asal-usul HAM dalam tradisi Yahudi-Kristiani, Filsafat Yunani-Romawi, dan teori Kontrak Sosial?

Di dalam tradisi Yahudi-Kristiani, setiap manusia dilihat sebagai citra Allah (imago Dei). Manusia menyadari keistimewaan ini dengan memahaminya melalui pewahyuan di dalam Kitab Suci. Dengan dapat memahami pewahyuan Allah itu sendiri manusia juga istimewa. Dengan pandangan tersebut, tradisi Yahudi Kristiani mengakui bahwa setiap manusia memiliki nilai intrinsik (nilai yang dikandung dalam diri) yang menjadikannya berharga sebagai manusia. Tidak satu kekuasaan duniawi pun yang dapat memberi nilai intrinsik itu kepada. manusia. Dengan demikian, martabat manusia tidak dapat dijadikan sarana bagi makhluk lain untuk mencapai tujuannya, tetapi merupakan tujuan yang harus dicapai oleh diri manusia itu sendiri. Lebih lanjut lagi, pandangan tradisi Yahudi Kristiani ini dikembangkan oleh Thomas Aquinas lewat Teori Hukum Kodratnya.

Tuntutan Teori Hukum Kodrat dari Thomas Aquinas adalah setiap orang seharusnya diperlakukan seturut martabatnya sebagai manusia, juga memiliki kewajiban moral untuk memperlakukan sesamanya sebagai manusia. Alasannya bertitik tolak dari pandangan Kristiani mengenai manusia, yaitu (1) manusia adalah citra dan gambar Allah (imago Dei), (2) manusia adalah pribadi, (3) manusia memiliki suara hati yang bebas. Oleh karena tiga gambaran mengenai manusia itulah perlakuan terhadap manusia sebagai manusia dijadikan prinsip moral yang harus dipegang.

Di dalam filsafat Yunani-Romawi, penghargaan yang tinggi pada manusia dapat ditemukan dalam gagasan filsafat Stoa mengenai martabat manusia. Manusia memiliki niartabat lewat partisipasi mereka pada Logos ilahi, yaitu kosmos rohaniah dan religius yang di dalamnya terdapat kebebasan dan kesetaraan. Oleh karena itu, kepada siapapun manusia harus berbuat baik. Perempuan berhak diperlakukan setara dengan laki-laki, hak-hak budak dihormati, bahkan musuh juga berhak untuk memperoleh pengampunan. Setiap batasan harus diatasi dan seluruh umat manusia harus dirangkul tanpa kecuali; umat manusia membentuk semacam persaudaraan universal yang merangkul seluruh umat manusia.

Di dalam teori Kontrak Sosial, pendapat beberapa filsuf berikut dapat dijadikan acuan:

  1. Thomas Hobbes melihat “hak alamiah manusia” sebagai tadanya kendala dari luar bagi manusia (=kebebasan) sehingga ia dapat menggunakan kekuasaannya sendiri sekehendaknya untuk memelihara dirinya (hak kedaulatan).
  2. John Locke akan mengatakan bahwa keadaan alamiah manusia adalah situasi kebebasan sepenuh-penuhnya untuk mengatur tindakan-tindakan mereka, serta memakai milik pribadi mereka tanpa perlu minta izin atau tergantung pada kehendak orang lain (hak milik)
  3. Jean-Jacques Rousseau memandang kebebasan sebagai lepasnya manusia dari struktur-struktur yang membelenggu sehingga ia dapat terlibat di dalam komunitasnya. Setiap orang menjadi tidak bebas dan diperbudak bukan karena sejak awal dilahirkan demikian, melainkan karena masuk ke dalam struktur yang membelenggu.

Dalam hal ini, memang benar bahwa hukum diperlukan agar dengan kebebasan yang ia miliki, setiap manusia tidak berusaha menghilangkan kebebasan orang lain. Akan tetapi, lebih dari itu, kekuasaan negara memiliki kewajiban untuk mengamankan hak-hak kodrati yang sudah tersedia di dalam keadaan asali manusia. Bila kewajiban ini diabaikan, kepatuhan manusia terhadap kekuasaan negara itu berakhir dan manusia kembali pada keadaan alamiahnya (keadaan sebelum ada kontrak).

  • Apa itu institusionalisasi HAM? Apa maksudnya HAM akhirnya menjadi norma yang efektif bagi bangsa beradab?

Harus diakui bahwa HAM merupakan konsep modern dan belum umum dibicarakan sebelum abad 18. Gagasan martabat manusia kiranya tidak memiliki dasar bila tidak dilembagakan pada suatu konstitusi atau pasal-pasal aturan tertentu. Dengan kata lain, melalui institusionalisasi HAM pada pasal-pasal suatu konstitusi atau aturan, gagasan HAM diimplementasikan secara praktis dan politis (memengaruhi kebijakan yang berlaku bagi banyak orang). Institusionalisasi HAM itu dapat dilihat dalam bentuk dokumen atau deklarasi yang melindungi dan menjunjung tinggi HAM (lihat di atas). Dengan institusionalisasi, HAM menjadi norma yang efektif bagi bangsa beradab. Artinya, institusionalisasi menjadi dasar bagi pelaksanaan HAM sehingga dapat “dipaksakan” bagi bangsa-bangsa yang ingin diakui sebagai bangsa beradab.

  • Apa maksudnya klaim universalitas HAM?

Pertama: HAM menjadi suatu cara untuk hidup bersama, yang di dalamnya martabat manusia tanpa kecuali diangkat dan diperjuangkan sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh manusia lain.

Kedua: jangan lupa bahwa HAM juga dapat disebut universal karena diperoleh dari kesepakatan atau persetujuan banyak orang. Artinya, hak-hak yang terangkum dalam gagasan HAM didasarkan pada kesepakatan, dari karena kesepakatan itu pula dapat diubah, baik itu ditambah (hak-hak manusia yang sebelumnya tidak diakui menjadi mendapat pengakuan sebagai HAM) maupun dikurangi (hak-hak manusia yang sebelumnya disepakati sebagai HAM menjadi tidak lagi diakui dalam kesepakatan yang baru).

Ketiga: Universalitas HAM terutama menyangkut intensi dasarnya, yaitu untuk menjaga umat manusia agar tidak jatuh pada pengalaman pengalaman buruk yang menghina martabat kemanusiaan. Prioritas pada intensi ini menjadi penting karena pada kenyataannya bisa muncul banyak gambaran manusia, terlebih lagi dalam iklim multikultur dewasa ini. Ini merupakan solusi yang diajukan Pak Franky untuk menghadapi pertentangan antara DUHAM dan DUHAMIS yang bertitik tolak pada gambaran manusia yang berbeda. Oposisi di antara keduanya sebenarnya tidak perlu dilakukan: alih-alih berselisih paham mengenai “bagaimana gambaran manusia yang seharusnya mendasari deklarasi HAM?”, adalah jauh lebih baik apabila kedua deklarasi tersebut sama-sama berusaha untuk menjawab “apa yang dapat dilakukan untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran HAM di masa mendatang?”

Konsep Kebebasan

Konsep kebebasan yang dimiliki oheh para filsuf, seperti Hobbes, Locke, dan Kant, berbeda dari konsep kebebasan yang dimiliki oleh para filsuf, seperti Rousseau, Tocqueville dan Hannah Arendt. Kedua tradisi besar itu juga menjadi akar perdebatan antara liberalisme dan komunitarianisme, khususnya dalam pandangan mereka tentang manusia dan identitasnya. Model demokrasi deliberatif mencoba mendamaikan kedua arti kebebasan itu lewat konsep diskursus praktis.

Konsep Kebebasan Negatif vs. Positif

Konsep kebebasan yang pertama, yang dipahami para filsuf seperti Hobbes, merupakan hak-hak liberal klasik. Kebebasan di sini merupakan kebebasan negatif (freedom from), yaitu tidak adanya hambatan-hambatan. Beranjak dari konsep state of nature yang tanpa kendali, Thomas Hobbes memahami kebebasan sebagai right of nature di mana kebebasan dimiliki setiap orang untuk mempergunakan kekuasaannya sendiri sekehendaknya untuk memelihara dirinya (self-preservation). Kebebasan akhirnya didefinisikan sebagai “tiadanya segala kendala atau penghalang dari luar.” Sementara itu, John Locke (dengan state of nature-nya yang bukan tanpa kendali) memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk memakai hak milik pribadinya, tetapi ia tidak memiliki kebebasan untuk menghancurkan dirinya sendiri atau makhluk lain yang dimilikinya. Selanjutnya, konsep kebebasan Immanuel Kant termasuk di dalam konsep kebebasan negatif ini ketika ia mengatakan bahwa kesewenang-wenangan seseorang dibatasi oleh kesewenang-wenangan orang lain.

Konsep kebebasan yang kedua, yang dinyatakan para filsuf seperti Jean-Jacques Rousseau, merupakan kebebasan positif (freedom for). Dalam konsep kebebasan ini, kita sebagai kelompok memposisikan diri sebagai collective self determination, Kebebasan positif ini lebih tua dan kuno, berbeda dengan kebebasan negatif yang baru kemudian. Kebebasan Rousseau digolongkan ke dalam kebebasan positif dengan konsepnya mengenai volunte generale. Konsep ‘partisipasi’ Tocqueville atau konsep ‘legislasi’ Hannah Arendt juga memandang kebebasan dari segi positif. Hannah Arendt mengatakan, “Bebas berarti tidak menaklukkan maupun tidak ditaklukkan … Bebas berarti bebas dari ketidaksamaan yang melekat pada segala hubungan penaklukan, yaitu bergerak di dalam sebuah ruang yang di dalamnya tak ada penaklukkan maupun ditaklukkan.” Bagi Arendt, kesetaraan merupakan hakekat sebenarnya dari kebebasan.

Liberalisme vs. Komunitarianisme

Kebebasan positif ataupun negatif, kedua tradisi besar tentang konsep kebebasan itu lah yang menjadi akar perdebatan antara Liberalisme dan Komunitarianisme, khususnya dalam pandangan mereka tentang manusia dan identitasnya.

Konsep kebebasan negatif dari para filsuf seperti Hobbes, Locke, dan Kant adalah dasar bagi Liberalisme. Aliran liberalisme menekankan soal kebebasan dan kesamaan manusia sebagai individu dalam hal memiliki kesempatan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Bagi liberalisme, hukum dan negara menjadi institusi yang mengabdi kepentingan manusia. Dengan begitu, para penganut liberalisme memandang manusia sebagai individu yang lepas dari kelompoknya (unencumbered self). Unencumbered self mengacu pada pengertian mengenai individu sebagai subjek yang universal dan abstrak, yaitu dilepaskan dari konteks masyarakat dan kebudayaan konkret. Jika individu diabstraksi dengan menyingkirkan ciri-ciri konkret yang berasal dari komunitasnya, kita akan mendapatkan suatu “gambaran manusia pada umumnya.”

Sementara itu, pandangan mengenai kebebasan positif dari para filsuf seperti Rousseau, Tocqueville, dan Arendt menjadi dasar bagi Komunitarianisme. Menurut aliran komunitarianisme, komunitas atau kelompok masyarakat dipandang penting dalam pembentukan individu. Oleh karena itu, manusia memperoleh kebebasan dan hak-haknya justru ketika ia Hidup dan bertindak di dalam dan bersama komunitas. Dalam pandangan ini, subjek atau individualitas berasal dari keanggotaan dalam suatu komunitas yang terbentuk melalui tradisi-tradisi dan nilai-nilai kultural. Misalnya, bahwa saya adalah orang Jawa, orang Katolik, mahasiswa STF, dll. Dalam konteks masyarakat liberal, individu yang disebut “unencumbered self” ini toh bagian dari suatu komunitas juga. Mereka adalah komunitas orang-orang liberal! Jadi, tidak ada subjek-subjek tanpa konteks. Menurut kaum komunitarian, manusia dalam pandangan liberalisme berada dalam bahaya kehilangan rasa “kekitaan,” yaitu makna kebersamaan yang sangat penting bagi kehidupan sosial.

Masalah Identitas dalam pandangan Liberalisme dan Komunitarianisme

Liberalisme dan komunitarianisme persis berbeda di dalam pandangan mengenai identitas manusia. Bagi liberalisme, identitas manusia individu harus ditonjolkan, bahkan negara atau hukum didirikan untuk mengabdi kepentingan manusia. Pemikiran tersebut lahir dari latar belakang sejarah berupa perlawanan terhadap kekuasaan absolut dalam pemerintahan monarki pada abad 17-18. Untuk melawan kekuasaan itu, hak-hak asasi manusia individual ditonjolkan sebagai hak yang tidak dapat dikekang oleh negara. Individu terlepas dari ikatan terhadap otoritas dan kelompok. Memang benar bahwa setiap individu konkret berasal dari latar belakang konteks kebudayaan atau masyarakat tertentu. Akan tetapi, bila diabstraksi dengan menyingkirkan ciri-ciri konkret yang berasal dari konteks komunitasnya, individu itu akan muncul dengan gambaran sebagai “manusia universal.” Individu ini terutama memiliki ciri universal, yaitu mampu memilih tujuan-tujuan menurut preferensi individualnya.

Sementara itu bagi komunitarianisme, keyakinan liberalisme bahwa aspek individu harus ditonjolkan dan dilepaskan dari kelompoknya menjadi keprihatinan yang mendalam. Alasannya adalah pengutamaan terhadap aspek individu dilihat tidak saja berakibat emansipasi (persamaan hak) seperti yang diyakini liberalisme, tetapi juga berisiko mencerabut individu itu dari komunitas tempat ia bertumbuh. Individu yang bebas menurut komunitarianisme adalah individu yang dapat mempertahankan identitasnya hanya di dalam konteks komunitas (sosio kultural) yang menjadi tempat ia tumbuh dan berkembang. Bagi komunitarianisme yang meyakini pentingnya komunitas atau kelompok di dalam pembentukar manusia, tercerabutnya manusia indiv!du dari kelompoknya membuatnya kehilangan identitas kolektif, yang juga mencakup rasa dimiliki oleh suatu kelompok

Demokrasi Deliberatif

Model demokrasi deliberatif mencoba mendamaikan kedua arti kebebasan itu lewat konsep diskursus praktis. Melalui konsep demokrasi deliberatif, terjadi pendamaian. Penjelasannya adalah sebagai berikut. Teori demokrasi deliberatif menunjuk pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan. Pertanyaan yang dilontarkan: bagaimana keputusan-keputusan politis diambil, dan dalam kondisi kondisi manakah aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa, sehingga para warganegara mematuhi aturan-aturan itu?

Jadi, demokrasi deliberatif meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif. Alasan-alasan yang bagus untuk sebuah keputusan politis haruslah diuji secara publik sedemikian rupa sehingga alasan-alasan tersebut diterima secara intersubjektif oleh semua warganegara dan tidak menutup diri dari kritik dan revisi yang diperlukan (Lih. FBH, 2009:128-129). Dari situ, kita dapat memahami bahwa dalam demokrasi deliberatif meniscayakan diskursus. Teori diskursus yang dimaksudkan merupakan teori yang memperjelas praktik-praktik negara hukum yang sudah ada dan mendorong pembukaan kanal-kanal komunikasi politis di dalamnya. Dalam demokrasi deliberatif, semua tipe diskursus praktis beroperasi, yaitu di dalam formasi opini dan aspirasi secara demokratis agar secara publik alasan-alasan bagi peraturan politis dapat diuji.

Untuk sampai pada diskursus semacam ini, setiap manusia (warga negara) perlu diandaikan memiliki kebebasan dalam pengertian liberal manupun komunitarian. Tanpa kebebasan liberal, tidak mungkin terjadi diskursus. Akan tetapi, perlu diketahui pula bahwa kebebasan yang diperlukan tidak hanya kebebasan individual (self-determination), tetapi juga kebebasan kolektif (collective self-determination), karena tidak ada individu tanpa konteks. ini hanya efektif jika diinstitusionalisasikan dalam suatu komunitas. Oleh karena itu, dalam demokrasi deliberatif (hukum positif), kedua kebebasan ini sifatnya komplementer (saling melengkapi).

Konsep Kebebasan dalam pemikir-pemikir filsafat politik

Konsep kebebasan dipahami secara berbeda-beda oleh para tokoh pemikir besar. Perbedaan itu terlihat dalam pemikiran Hobbes, Locke, Kant, Rousseau, Tocqueville, dan Hannah Arendt. Keenam pemikir tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut sifat dasar kebebasan, yaitu kebebasan Negatif (Hobbes, Locke, Kant) dan kebebasan Positif (Rousseau, Tocqueville, dan Hannah Arendt). Berikut akan diuraikan pemikiran keenam tokoh besar tersebut.

Konsep Kebebasan Negatif

Hobbes memahami kebebasan sebagai hak kodrati manusia, dengan mengatakan bahwa kebebasan merupakan tiadanya kendala dari luar diri manusia sehingga setiap orang dapat menggunakan kekuasaannya sendiri sekehendaknya untuk memelihara dirinya. Persoalannya adalah dengan kebebasan itu, manusia menjadi makhluk rasional yang menjadi egois radikal (mengejar kepentingan diri tanpa batas). Oleh karena itu, hak kodrati itu diatur dengan tatanan hukum kodrat sehingga hak itu tetap bisa terwujud dan tidak malah ditiadakan oleh orang lain. Fakta yang dipegang dalam hal ini adalah orang lain juga bebas seperti diriku.

Mirip dengan Hobbers, Locke juga memahami kebebasan sebagai keadaan alamiah manusia. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan sepenuh-penuhnya untuk mengatur tindakan tindakan mereka, serta memakai milik pribadi mereka tanpa perlu minta izin atau tergantung pada kehendak orang lain. Sama seperti Hobbes, kebebasan itu juga diatur dengan tatanan hukum kodrat sehingga setiap orang mengalami situasi kesamaan, tidak seorangpun dapat merugikan hidup, kesehatan, serta kepunyaan orang lain.

Sementara itu, Kant memahami kebebasan dalam dua arti yaitu kebebasan Eksternal dan kebebasan Internal. Kebebasan Eksternal berarti kebebasan dipandang sebagai kesanggupan seseorang untuk bertindak terlepas dari kuasa di luar dirinya. Sementara kebebasan Internal adalah kemampuan seseorang untuk bertindak sesuai dengan hukum yang ia buat sendiri dan pada saat yang sama dapat berlaku secara universal universal (ingat etika Deontologis Kant).

Dengan kata lain, menurut Kant, tindakan yang bebas bukan berarti dilakukan seseorang tanpa ikatan dengan hukum apapun (eksternal), melainkan justru dilakukan dan dapat dipertanggungjawabkan dengan mengikatkan diri pada hukum yang ia buat sendiri (internal, dengan bebas). Dengan demikian, tindakannya yang bebas itu akan sesuai dengan kebebasan setiap orang.

Kesimpulannya: kebebasan menurut Hobbes, Locke, dan Kant merupakan kebebasan negatif, yaitu kesanggupan seseorang untuk mengatur tindakan tindakan mereka lepas dari hambatan-hambatan di luar diri orang tersebut. Hukum ditujukan supaya orang lain tidak meniadakan kebebasan yang dimiliki orang tersebut dan ia sendiri tidak meniadakan kebebasan orang lain.

Konsep Kebebasan Positif

Berbeda dari pemikir-pemikir di atas, Rousseau memandang kebebasan sebagai lepasnya manusia dari struktur-struktur yang membelenggu sehingga ia dapat terlibat di dalam komunitasnya. Menurutnya, setiap orang terlahir bebas. Orang kemudian menjadi tidak bebas karena masuk ke dalam struktur-struktur masyarakat yang membelenggu.

Tocqueville memahami kebebasan bukan sebagai kesamaan kondisi kondisi sosial di dalam masyarakat (orang yang satu tidak lebih istimewa daripada yang lain). Kesamaan kondisi-kondisi sosial itu bahkan dapat membahayakan kebebasan karena membuat seseorang tidak gampang diyakinkan oleh orang-orang lain, serta membuatnya tidak siap untuk mengakui salah satu dari mereka sebagai pemimpin. Kebebasan justru berarti memampukan setiap orang untuk menciptakan masyarakat demokratis, yaitu masyarakat yang dapat membiarkan massa atau opini umum untuk memimpin diri mereka.

Hannah Arendt memahami konsep ‘bebas’ sebagai tidak menaklukkan maupun tidak ditaklukkan, serta bebas dari ketidaksamaan yang muncul akibat dari penaklukan. Kebebasan berarti setiap orang mampu melakukan tindakan bersama dan menciptakan kekuasaan melalui tindakan bersama tersebut. Kebebasan ini hidup di dalam ruang publik, yang menjadi tempat orang-orang bergaul dengan bertindak dan berbicara satu sama lain. Kesimpulannya: kebebasan menurut Rousseau, Tocqueville, dan Arendt merupakan kebebasan positif, yaitu kesanggupan setiap orang untuk melakukan sesuatu. Dalam hal ini, kebebasan seseorang memampukannya untuk berpartisipasi di dalam komunitasnya, melakukan tindakan bersama, dan menjadi bagian dari masyarakat demokratis.

Pokok-pokok Lain

Apakah demokrasi deliberatif itu? Dikatakan bahwa Liberalisme dan Komunitarianisme didamaikan oleh konsep Diskursus Praktis. Apa maksudnya? Pada aspek apa perlu kebebasan positif? Pada aspek apa perlu kebebasan negatif?

Demokrasi deliberatif merupakan bentuk demokrasi yang mendesak masyarakat membuka ruang-ruang dan saluran komunikasi politis dengan tujuan mencapai kesepahaman (konsensus) di dalam masyarakat mengenai suatu persoalan. Tindakan komunikatif mendapat tekanan penting di dalam model demokrasi ini, yaitu sebagai suatu tindakan rasional dalam bentuk diskursus praktis yang berorientasi pada kesepahaman bersama. Dengan kata lain, diskursus praktis merupakan suatu cara bagi masyarakat untuk berkomunikasi secara rasional dalam rangka mencari kesepahaman bersama. Di dalam diskursus praktis ini, setiap anggota masyarakat dapat saling berbicara untuk menganalisis norma-norma yang mengatur hidup keseharian mereka.

Persis pada pokok diskursus praktis inilah konsep demokrasi deliberatif dari Habermas mencoba mendamaikan liberarisme dan komunitarianisme. Ada unsur liberalisme ketika Habermas merumuskan identitas manusia di dalam diskursus praktis. Identitas manusia yang berdiskursus bagi Habermas tidak terlalu dilekatkan pada suatu komunitas tertentu. Identitas individu tidak diturunkan langsung dari identitas suatu kelompok.

Akan tetapi, ada pula unsur komunitarianisme yang dimuat, yaitu bahwa kepentingan-kepentingan individual baru dapat diabstraksi menjadi kepentingan bersama setelah melalui proses komunikasi dengan orang lain. Melalui proses komunikasi itu pula para individu itu membangun identitas mereka; melalui komunikasi mereka sadar akan identitas dan kepentingan mereka yang berbeda, namun mendapat pengakuan dari orang-orang lain. Dengan kata lain, Habermas membentuk suatu pemahaman baru mengenai tempat terbentuknya identitas manusia, yaitu komunikasi. Di dalam diskursus praktis, kebebasan positif diperlukan, dalam arti setiap individu dapat memperoleh kebebasan untuk mengernbangkan partisipasinya di dalam diskursus itu. Kebebasan negatif juga diperlukan di dalam diskursus praktis, dalam arti setiap individu harus dibebaskan dari aturan aturan atau hukum yang memaksa, apalagi dari tindak kekerasan yang dapat menghalangi mereka berdiskursus dan berkomunikasi.

Bahan-bahan Rujukan

  1. F. Budi Hardiman. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanistus, 2009.
  2. F. Budi Hardiman. Filsafat Politik (Silabus 2014). Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2014.
  3. F. Budi Hardiman. Hak-hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2011.